NovelToon NovelToon
KEISHAKA : You'Re My Melody

KEISHAKA : You'Re My Melody

Status: tamat
Genre:Tamat / cintapertama / Anak Kembar / Murid Genius / Teen School/College / Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Ziadaffi Ulhaq

Dia, lelaki dengan prestasi gemilang itu tidak sesempurna kelihatannya. Sayang sekali kenapa harus Nara yang menyaksikan rumitnya. Namanya Yesha, menyebalkan tapi tampan. Eh? Bukan begitu maksud Nara.

Dia, gadis ceroboh yang sulit diajak bicara itu sebenarnya agak lain. Tapi Yesha tidak tahu bahwa dia punya sisi kosong yang justru membuat Yesha penasaran tentang sosoknya. Namanya Nara, tapi menurut Yesha dia lebih cocok dipanggil Kei. Tidak, itu bukan panggilan sayang.

Jatuh cinta itu bukan salah siapa. Pada akhirnya semesta berkata bahwa rumitnya bisa dipeluk dengan hangat. Dan kosongnya bisa dipenuhi dengan rasa.

Oh, tenang saja. Ini hanya masalah waktu untuk kembali bersama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziadaffi Ulhaq, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

SAMA RESEKNYA

KONTRAS dengan keadaan dirumah Nara yang runyam, dirumah Yesha lelaki itu sibuk memetik gitar di balkon kamarnya, bersenandung menyanyikan beberapa lagu yang terlintas dikepalanya. Mata lelaki itu menatap menerawang pada langit yang kini sedang menurunkan jutaan air hujan. Gemericik suaranya sejenak membuat Yesha tertegun. Ia menaruh gitarnya, membenahi duduk lalu mengeluarkan ponsel.

Melihat hujan membuat wajah Nara tiba tiba melintas dibenak Yesha. Tidak tahu juga apa alasannya.

Yesha membuka roomchat Nara, menggernyit. Pesannya belum dibalas. Kemana gadis itu?

Lima menit. Masih tidak dibalas.

Yesha menaruh ponsel dimeja yang ada tepat disisi kanannya. Ia masuk kedalam kamar, membuka kulkas kecil yang ada disalah satu sisi kamarnya yang sedikit lebih besar dari ruang kelasnya disekolah. Lelaki itu mengambil sebuah eskrim yang belum ia makan, eskrim pemberian dari Nara tadi. Lantas ia kembali ke balkon, duduk di tempat sebelumnya.

Tangan Yesha bergerak membuka bungkusan eskrim, menyenandungkan lagu yang melintas dibenaknya.

Ting!

Kepala Yesha sontak menoleh pada ponselnya. Sebuah pesan tersangkut disana.

Yesha menyambar benda pipih itu, sementara sebelah tangannya memegang eskrim, mulai menikmatinya. Membaca pesan balasan Nara membuat Yesha menggenyit. Gadis itu betulan sedang sedih? Ibu jari Yesha bergerak mengetik balasan kurang dari satu menit.

Senyum samar Yesha tersungging tanpa sadar. Setelahnya ia tidak mengharapkan balasan lagi dan beralih membuka Instagram. Ibu jarinya bergerak menggulir layar yang menunjukkan akun Instagram Nara. Yesha memperhatikan lama setiap postingannya satu persatu. Hanya ada sepuluh. Rata rata menunjukkan foto gadis itu yang sedang tersenyum manis pada kamera, di tempat tempat yang indah. Nara punya selera berfoto yang bagus, harus Yesha akui itu.

Dibenak Yesha saat ini melintas wajah gadis itu. Ketika dia menatap Yesha dengan kesal—yang justru terlihat lucu. Ketika dia tertidur diperpustakaan. Ketika dia dengan bingung memegang payung didepan makam bunda Yesha. Ketika dia menangis di halte. Ketika Nara tertawa, atau tersenyum padanya. Ketika Yesha melihat kedua pipinya yang memerah karena salah tingkah. Hei, sejak kapan Yesha berani memikirkan semua itu? Tersenyum karena Nara? Mustahil.

Yesha termangu. Gemericik hujan menemani pikirannya yang melayang layang. Yesha tidak pernah semudah itu jatuh cinta pada seseorang. Lantas apa yang sedang Yesha rasakan sekarang?

Lelaki itu membuka WhatsApp, tepatnya grupnya bersama teman temannya.

...***...

Hari minggu tidak menjadi alasan orang orang berhenti pergi ke perpustakaan. Karena saat Nara datang tepat pukul satu siang saat ini banyak orang yang berlalu lalang didalam sana. Justru lebih ramai. Mungkin memanfaatkan waktu libur, sebagian orang memilih membaca.

Tapi Nara datang kesini bukan untuk membaca. Melainkan kembali mengerjakan tugas Seni Rupa nya yang belum rampung. Walaupun ia tidak yakin Yesha akan datang tepat waktu. Karena sejak tadi pagi lelaki itu tidak membalas pesan Nara. Mendadak sulit dihubungi. Entahlah dia sedang apa Nara tidak begitu peduli. Yang Nara pedulikan saat ini adalah tugasnya. Tapi mari berpikir positif, percaya saja Yesha akan datang.

Nara celingukan. Berjalan diantara lorong buku menuju tempat sebelumnya ia duduk bersama Yesha. Sesampainya di meja panjang dengan kursi berderet itu, baru saja Nara bermaksud duduk ditempat Yesha, matanya melihat sebuah ukiran tepat satu jengkal didekat nama Yesha.

‘NaraRese’

Nara berdecih, ia memutar bola matanya sebal. “Resek teriak resek.” Ia menggerutu—tapi tetap duduk ditempat yang sudah Yesha tandai.

Gadis itu menyimpan tas selempangnya serta kanvas didalam paperbag diatas meja, menutupi tanda namanya yang menyebalkan. Dimana Yesha? Lihat saja kalau dia datang. Nara sudah menyiapkan kalimat sepanjang rel kereta api untuk memprotes perbuatannya. Dasar menyebalkan. Bagaimana kalau ada orang yang sungguhan mengira Nara yang resek? Awas saja. Nara akan langsung menimpuknya saat lelaki itu tiba.

Tapi dua jam kemudian Yesha tak kunjung datang.

Nara sampai dua kali ke toilet. Tiga kali berganti buku bacaan. Dan ratusan kali menghela napas serta menoleh kebelakang. Kemana sih Yesha? Nara betulan kesal sekarang. Lima kali Nara menghubunginya tapi tak satupun diangkat. Sembilan pesan Nara juga tidak ada satupun yang dibalas. Lihat kan? Siapa yang resek sebenarnya disini.

Nara turun dari bangku tinggi. Dengan langkah besar, wajah terlipat, dan sangat kesal ia beranjak meninggalkan perpustakaan. Kalau tidak bisa datang minimal Yesha mengabari. Atau membalas pesan Nara. Bukannya menghilang seperti ditelan bumi seperti ini. Kenapa para lelaki di hidup Nara ini sedang menyebalkan semua sih? Reno dan Yesha. Benar benar membuat emosi Nara nyaris meledak.

Baru saja Nara belok hendak meninggalkan lantai enam. Alangkah kesalnya ia saat tiba tiba bertabrakan dengan si cowok resek itu. Nara hampir meneriakinya jika tidak ingat ini ditempat umum. Akhirnya tangan gadis itu mengambil alih, Nara refleks memukul Yesha tanpa perasaan tepat di lengannya. Tidak peduli lelaki itu mengaduh keras.

“ADUH, APAAN SIH?”

Nara melotot. Itu pertanyaan macam apa? “HEH HARUSNYA GUE YANG NANYA! LO APA APAAN NGANGGURIN GUE DUA JAM—”

“Berisik anjir! Malu maluin lo.” Yesha menarik siku Nara, membekap mulutnya yang sudah seperti toa pengumuman.

Nara balas mencubit perut Yesha dengan sebal, membuat lelaki itu kali ini langsung meringis menahan sakit, berjongkok memegangi perutnya.

“Gak usah pegang pegang!” Nara ngamuk, ia kesal sekali. “Lo kemana aja sih? Kalau mau telat tuh kabarin gue minimal! Jadi gue gak perlu nungguin lo disana DUA JAM kayak orang linglung! Kan, bales chat gue bisa! Hape lo kemana sih? Bikin emosi aja lo!” Nara mencerocos, mengeluarkan semua unek unek didalam hatinya yang ia tahan selama dua jam.

Reaksi normalnya adalah Yesha akan langsung membalas omelan Nara. Atau membawa gadis itu menjauh dari keramaian agar mereka bebas bertengkar. Tapi tidak. Yesha bahkan tidak bangkit dari lantai. Malah terdengar semakin kesakitan. Nara menatapnya bingung. Ekspresi marahnya berangsur hilang, berubah jadi cemas. Memang cubitannya sesakit itu ya?

Nara berjongkok, menatap Yesha yang masih menunduk memegangi perut. “Lo kenapa deh? Melilit?”

Yesha mendongak pada Nara, wajahnya pucat, terlihat kesakitan. Lelaki itu menunjukkan telapak tangan yang sebelumnya ia gunakan untuk memegangi perut bagian kirinya yang dicubit Nara. “Puas lo?”

Nara membelalak.

Darah.

Bergegas Nara mendekat, membantu Yesha berdiri. “Aduh, darah dari mana itu? Kok lo bisa berdarah gitu sih? Emang gue nyubit lo sampai berdarah?” Nara panik. Ia menatap Yesha semakin cemas. Terlebih saat berdiri, Nara dengan jelas dapat melihat kaus putih yang dikenakan Yesha berubah merah. Darah segar merembes bahkan menodai kemeja yang melapisi kausnya. Belepotan di tangan kanan Yesha yang masih berusaha menahan darahnya keluar semakin banyak.

Yesha masih menahan sakit, kini mereka sudah duduk di bangku umum untuk sementara. Nara segera berlari pada kios didepan perpustakaan, membeli sebotol air minum dan tisu basah serta tisu kering, lantas berlari lagi menghampiri Yesha. Astaga, Nara super panik sekarang, Aduh, bagaimana kalau Yesha kenapa napa? Bodoh sekali Nara tiba tiba mencubitnya begitu saja. Yesha bisa celaka. Nara merutuki dirinya dalam hati.

“Sha, lo nggak apa apa?” Nara membukakan minum, menyodorkannya pada Yesha yang pucat. “Minum dulu.”

Yesha menegak air didalam botol hingga tersisa setengah, lalu menyerahkannya kembali pada Nara. “Gue berdarah. Lo nggak liat?” Kata Yesha setengah kesal.

“G-gue minta maaf, gue gak tahu.” Balas Nara sungguh sungguh, ia benar benar merasa bersalah. Ia membuka tisu—yang segera diambil sebanyak mungkin oleh Yesha untuk menahan pendarahan di perutnya.

“Gak usah marah marah dulu, kan, bisa, emosi mulu lo yang diduluin, gue juga punya alasan kenapa gue telat kesini.”

“Gue minta maaf. Kita ke rumah sakit aja ya? Lo luka—”

“Gue baru pulang dari sana.” Sela Yesha ketus. “Lo bikin jahitannya kebuka lagi—ah sialan, sakit anjir.”

Jahitan? Nara menatap Yesha cemas. Sungguh, Nara benar benar khawatir terjadi sesuatu yang lebih serius karena dirinya.

Yesha susah payah mengeluarkan ponsel dari saku, menekan satu dua kali sebelum merapatkan benda pipih itu pada telinga. Dia menelepon seseorang, “Pak, Yesha di perpustakaan kota, jahitannya kebuka lagi…aduh, iya, tolong jemput, sekarang juga.”

Tak lama Yesha bicara, telepon lantas ditutup.

Nara menelan ludah. Tidak tahu harus berkata apalagi selain minta maaf.

“Ra.”

“Ya? Lo butuh apalagi?”

Yesha menggeleng, “Anter gue pulang ya.”

Tanpa berpikir dua kali, Nara mengangguk cepat. Ia tidak mau Yesha kenapa napa.

...***...

“Lo serius secengeng itu?”

Diujung kasur sana Nara menutup matanya dengan tangan. Bukan hanya karena malu sendiri melihat Yesha bertelanjang dada, melainkan kedua matanya basah. Sejak tadi susah payah menahan agar tidak terisak. Ia menangis, takut Yesha marah.

Dokter yang sedang mengobati lagi luka di perut Yesha menoleh sekilas, terkekeh melihat Nara. Pria paruh baya dengan garis rahang tegas itu adalah Dokter Dion, Dokter pribadi keluarga Yesha.

Setibanya Yesha dan Nara dirumah besar Yesha setelah dijemput supir, para pembantu Yesha kompak memanggil Dokter Dion setelah ikut panik melihat Tuan Muda mereka terluka. Supir yang mengantar mereka dan Nara membantu memapah tubuh Yesha naik ke lantai dua—dengan lift yang sempat membuat Nara termangu. Ada lift juga dirumah ini? Nara sudah nyaris berseru tidak percaya melihat ada rumah sebesar ini ditengah kotanya, dan melihat ada lift juga didalamnya, Nara sudah berkali kali berdecak kagum.

“Jangan nangis, Ra.”

“Lo marah sama gue…” Cicit Nara, suaranya bergetar.

Jika situasinya berbeda, Yesha sudah tertawa sekarang. Tapi sayang perutnya sakit sekali, “Gue nggak marah.”

“T-tapi nanti lo kenapa napa gara gara gue...”

Yesha menghela napas, “Gue nggak apa apa. Liat. Emang lukanya separah itu, Dok?” Tanyanya pada Dokter Dion.

Yang ditanyai menggeleng, “Jahitannya cuma lepas dikit, nggak ada luka serius kok.”

Nara menyeka pipi, menatap Yesha dan Dokter Dion bergantian. “Beneran?”

“Iya, Ra.”

“Yesha beneran nggak apa apa, Dok?”

Dokter Dion mengangguk, “Lukanya bakal membaik tiga hari lagi, sekarang sekarang jangan banyak bergerak aja. Selain itu, Yesha baik baik aja.”

Nara masih tertegun, menatap tidak yakin pada Dokter Dion yang sedang membalut luka diperut Yesha dengan perban.

Yesha tersenyum lebar. Memang ada ya manusia selucu ini didunia?

“Nah, kalau ada apa apa, Yesha bisa langsung panggil saya aja ya. Saya sarankan kamu jangan terlalu banyak beraktivitas selama tiga hari kedepan, walaupun lukanya kecil, tapi saya jamin kamu bakal sering kesakitan kalau terlalu banyak aktivitas.” Dokter Dion selesai membebat luka Yesha, membenahi peralatannya.

Yesha mengangguk. “Iya, Dok. Tadi Yesha terpaksa harus naik ke lantai enam, udah gitu ada yang nyubit lagi, sakit banget.” Sindirnya terang terangan.

Nara cemberut, merasa bersalah.

Dokter Dion tertawa kecil. Tahu apa yang dimaksud Yesha. “Yasudah kalau begitu saya pamit, semoga cepat sembuh ya, Yesha.”

“Terima kasih, Dok.”

“Sama sama.”

Dokter Dion balik kanan, meninggalkan kamar Yesha.

Sisalah Yesha dan Nara sekarang. Yesha yang dalam posisi berbaring perlahan beranjak duduk, membuat Nara refleks mendekat, membantunya menemukan posisi nyaman. Setelahnya Nara berdiri menatap Yesha, lalu memalingkan wajah. Yesha yang tidak pakai baju kenapa Nara yang malu sih lihatnya?

“G-gue ambilin baju ya?” Tawar Nara. Melihat Yesha bertelanjang dada sejak satu jam lalu tetap saja tidak membuat Nara terbiasa.

“Nggak usah.” Tolak Yesha.

“Lo nggak akan pake baju?”

“Nggak mau.”

Nara berdecak. Berarti sekarang ia harus pamit pulang atau tetap berada disini tapi terus menatap pada tembok. Nara belum mendengar luka Yesha itu karena apa, atau minta maaf dengan benar pada lelaki itu, tapi melakukannya sambil menatap tembok memangnya tidak akan terasa aneh?

“Lo kenapa bisa ada luka sobek disitu sih?” Tanya Nara penasaran.

“Lo mau tahu kenapa?” Yesha justru balik bertanya.

Nara mengangguk—pada tembok.

“Sini dong liatnya, lo mau ngomong sama gue apa sama tembok?”

“Lo gila ya? Kata gue juga lo pake baju dulu apa susahnya?”

“Tinggal liat sini apa susahnya?”

“Lo, kan—”

“Kenapa sih emangnya? Gue makin ganteng ya kalau kayak gini?”

Nara melotot, “Pede lo!”

“Sinian makanya.” Yesha menarik tangan Nara.

Dan Nara berseru tertahan. Tubuhnya jatuh terduduk ke sisi kasur dan hampir saja menimpa tubuh Yesha. Nara melotot, bergegas menarik tubuhnya yang begitu dekat dengan lelaki itu. “Apaan sih?” Protes Nara.

Yesha menyeringai, “Katanya mau dengerin cerita gue?”

“Y-ya, ngomong aja gak usah tarik tarik!” Nara gugup setengah mati. “Udah g-gue bilang gue gak suka dipegang pegang sama lo.”

“Oh ya?” Tanya Yesha dengan tatapan iseng. Bukannya melepaskan tangan Nara, ia justru semakin mengeratkan genggamannya pada tangan mungil gadis itu.

“Lepas ish!”

“Kalau gue bilang nggak mau?”

“Gue cubit lagi perut lo!” Nara mengancam.

Mana takut Yesha dengan ancaman itu. Ia justru mengangguk, “Cubit aja, nanti yang nangis bukan gue ini.”

“Yesha!” Wajah Nara sudah merah padam, berusaha melepaskan tangannya. “Lepas atau gue pulang?”

“Kan, tangannya dipegangin gue, mana bisa pulang?”

Sial. Benar juga. Nara menghembuskan napas kesal. Pasrah, capek juga terus melawan Yesha yang tidak mau kalah ini. Jelas jelas tenaganya lebih besar dari Nara walau dalam kondisi terluka begini. Akhirnya Nara diam, membiarkan Yesha menggenggam tangannya.

Yesha menyeringai menang.

“Jadi lo kenapa sebenernya?” Tanya Nara akhirnya.

“Luka.” Jawab Yesha singkat.

Nara memutar bola matanya jengah, “Gue juga tahu, dodol! Maksudnya kenapa bisa luka gini?”

“Ke gores pecahan kaca yang di Gimnasium. Nggak sengaja.”

Ke gores? Goresan kaca apa yang bisa menimbulkan luka sedalam dua sentimeter? Yesha ini entah dia serius atau sedang bercanda.

“Serius, Ra. Gue lagi lewat di rak rak sempit, pecahan kaca yang gedenya ditumpuk disana, gak sengaja kena.” Jelas Yesha sedikit lebih baik, seolah bisa membaca ekspresi di wajah Nara.

“Kapan?”

“Tiga atau empat hari lalu kalau nggak salah.”

Nara tertegun, “Berarti pas kemarin gue ngajak lo ngerjain lukisan itu di perpus, lo udah luka gini?”

Yesha mengangguk, “Tadi gue baru selesai ganti perban di rumah sakit, sekalian beli obat buat sakitnya, makanya telat datang.”

Tahu begitu Nara akan meminta Yesha tidak usah datang saja. Tapi lelaki itu tidak memberitahu Nara kalau dia terluka. Bagaimana Nara bisa tahu? Padahal tugas lukisan itu bisa dikerjakan nanti nanti saat kondisinya membaik. Atau bisa Nara kerjakan sendiri saja.

“Sorry, ya, udah bikin lo nunggu lama, gue nggak bawa hape buat ngabarin.”

Nara mengangguk, “It’s okay.”

“Besok besok ngerjainnya dirumah gue dulu nggak apa apa, kan?”

“Nggak usah dikerjain dulu juga nggak apa apa.”

Yesha menggeleng, ia yang keberatan. “Gue cuma luka dikit, Ra. Bukan lumpuh.”

Nara mendengus, “Iya gue tahu tapi—”

“Udah sampai gue bisa gerak banyak lagi berarti ngerjainnya disini oke? Lo datang aja setiap pulang sekolah. Atau gue harus nyuruh supir gue buat jemput lo ke sekolah?”

Buru buru Nara menggeleng, itu bisa menimbulkan banyak gosip disekolah nanti. “Ng-nggak, gak usah. Gue bisa datang sendiri kok.”

“Yaudah kalau gitu.” Yesha mengedik acuh tak acuh, “Tolong izinin gue juga di sekolah tiga hari kedepan ya. Kayaknya gue gak masuk dulu. Bilangin juga ke fans fans gue jangan khawatir, jagoan mereka baik baik aja.”

Belum saja Nara menimpuk Yesha sungguhan sekarang. Pada dasarnya lelaki itu memang menyebalkan.

...***...

1
NurAzizah504
Hai, ceritanya keren
Beatrix
Serius thor, kamu mesti lebih cepat update. Agar aku nggak kehabisan tisu ☹️
Ludmila Zonis
Mengharukan
Devan Wijaya
Hahahaha aku baca dari tadi sampe malam, mana next chapter nya thor?!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!