NovelToon NovelToon
ALTAIR: The Guardian Eagles

ALTAIR: The Guardian Eagles

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Fantasi Timur
Popularitas:15.5k
Nilai: 5
Nama Author: Altairael

[MOHON DUKUNGAN UNTUK CERITA INI. NGGAK BAKAL NYESEL SIH NGIKUTIN PERJALANAN ARKA DAN DIYAN ✌️👍]

Karena keserakahan sang pemilik, cahaya mulia itu pun terbagi menjadi dua. Seharusnya cahaya tersebut kelak akan menjadi inti dari kemuliaan diri si empunya, tetapi yang terjadi justru sebaliknya---menjadi titik balik kejatuhannya.

Kemuliaan cahaya itu pun ternoda dan untuk memurnikannya kembali, cahaya yang telah menjadi bayi harus tinggal di bumi seperti makhluk buangan untuk menggenapi takdir.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Altairael, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PERTEMUAN

Setelah sekitar empat puluh menit berlalu, Diyan pun terbangun. Dia sempat bingung sesaat sebelum akhirnya menyadari sedang berada di dalam mobil dan kepalanya ada di pangkuan sang kakak.

Diyan kembali merasa kesal ketika mengingat bahwa mereka sedang di perjalanan menuju tempat yang sama sekali tidak diinginkannya. Dia pun bangun dengan ogah-ogahan dari posisi baring yang sangat tidak nyaman. Setelah itu, sekilas mengerling pada ibu dan kakaknya yang ternyata masih lelap.

Pak Satria melihat ke kaca spion dan tersenyum leber. "Ingin makan sesuatu?" tanyanya.

Diyan hanya menggeleng, lalu meregangkan tubuh sambil menguap. Pada saat itulah pandangannya menangkap keindahan alam yang luar biasa, sampai-sampai sehabis menguap mulutnya masih betah terbuka karena takjub.

Pak Satria yang memperhatikan dari kaca spion tersenyum kian lebar. "Gimana? Apik, kan?"

Masih terhipnotis oleh hamparan sawah dan perkebunan yang menghijau di sepanjang kiri-kanan jalan, Diyan pun mengabaikan ayahnya. Gunung yang puncaknya berwarna putih karena tertutup awan, biasanya terlihat kecil dari tempat dia tinggal, tetapi sekarang tampak lebih besar.

"Gunung itu yang namanya Gunung Pandan," ujar Pak Satria menjelaskan tanpa diminta. "Dulu di sana ada batu besar yang dipercaya sebagai tempat Mbah Semar duduk istirahat kalau capek. Tapi batu itu sekarang sudah dipindah ke alun-alun Bojonegoro. Bisa dibilang digusur karena pelebaran jalan," tambahnya antusias walaupun tidak yakin anak muda seperti Diyan ini tertarik dengan cerita yang berbau mitos atau dongeng.

"Memangnya ngapain Mbah Semar keluyuran sampai di sana? Kurang kerjaan banget. Sudah tua bukannya duduk istirahat di rumah, kok, malah naik gunung terus duduk istirahat di atas batu."

Diyan bicara begitu bukan karena tidak tahu Mbah Semar itu siapa, melainkan hanya ingin meluapkan kekesalan. Namun, alih-alih berkecil hati karena sikap si bungsu, Pak Satria justru tergelak-gelak dan kembali mendongeng dengan ceria.

"Selain Mbah Semar yang suka keluyuran ke sana, di gunung itu juga ada Eyang Derpo penyembuh sakti yang berteman dengan macan tutul gaib. Katanya sampai sekarang masih ada si sana, tapi nggak kelihatan. Terus ada Nyi Gendrosari, putri keraton yang kasmaran sama Eyang Derpo. Nyusul naik gunung dan bertapa di gua. Dia yang memberi nama Gunung Pandan, soalnya di sana banyak pohon pandannya. Ada aturan yang berlaku sampek sekarang, kalau mau ke puncak dilarang pake baju warna ijo---"

"Bukannya itu larangan kalau ke pantai? Memangnya ratu pantai selatan naik gunung juga?" Diyan bertanya sarkas karena samakin merasa bosan.

Akan tetapi, Pak Satria pura-pura tidak mengerti dan menanggapi dengan konyol, "Di laut sudah enak, buat apa nyai ratu pantai selatan susah-susah naik gunung? Larangan di Gunung Pandan itu merujuk ke selendang Nyi Gendrosari yang warnanya ijo."

Lagi-lagi Diyan berujar sarkas, "Kayak nggak ada warna lain saja. Masa semua pake warna ijo. Sudah gitu pake sok ngatur, larang orang lain pake warna yang sama. Memangnya mereka sudah klaim hak paten apa?"

Mendengar itu Pak Satria pun langsung tergelak-gelak. Putra bungsunya benar-benar unik, dalam keadaan kesal saja masih bisa melawak. Ya, Pak Satria tahu Diyan memang sedang bercanda, tetapi dibalut nada sinis dan sarkas, karena tidak ingin terang-terangan menunjukkan ketertarikan pada dongeng yang dia ceritakan.

"Ya, mau gimana lagi? Gaib dan sakti mandraguna, siapa yang berani menentang mereka. Daripada celaka ya manut saja."

"Dan sekarang kita mau ke sana. Mau ngajak nyai selendang ijo liburan bareng apa ngopi-ngopi, gitu?"

Sambil terkekeh, Pak Satria berkata, "Kita hanya mau ke Desa Pandan, bukan puncak Gunung Pandan. Desa itu berada di bawah gunung sebelah utara."

"Tsk, masih lama nggak sih?" Diyan kembali bersungut-sungut.

"Kenapa? Sudah nggak sabar pengen ketemu nyai selendang ijo, huh?" Bu Harnum yang sudah bangun pun ikut  nimbrung. Tidak hirau pada kekesalan si bungsu.

Setelah tertawa sarkas, Diyan pun membalas sinis, "Nggak! Aku bosan ...." Segera setelah mengucapkan itu, dia terpaksa menelan ludah karena ketika menoleh ke samping, ternyata Arka sudah bangun dan sedang menatapnya.

Arka tersenyum tipis sambil mengacak rambut adiknya. "An, An, kamu ini. Mas tau kamu nggak seneng, tapi mbok ya jangan terus-terusan kayak gini. Sesekali liburan bareng keluarga kan bagus juga. Ojo ngambekan kayak anak kecil."

"Aku marah bukan ngambek." Diyan membalas ketus, wajah ditekuk lalu melengos---kembali menatap ke luar.

Arka tersenyum samar. "Masih jauh, tidur saja lagi."

"Sudah nggak ngantuk!" Diyan menempelkan dahi ke kaca, wajahnya semakin tertekuk kesal, pemandangan indah di sepanjang jalan tidak lagi menarik.

Pak Satria melirik Bu Harnum. Perempuan itu juga terlihat tidak bahagia melihat anak bungsunya tidak bahagia. Bersandar malas, arah pandangnya lurus ke depan, wajah muram, dan berkali-kali menghela napas berat. Kalau bukan karena keharusan, Bu Harnum pasti tidak akan membawa serta Diyan dalam perjalanan ini, atau lebih tepatnya, perjalanan ini tidak akan pernah terjadi kalau bukan karena si bungsu.

"Aku gantikan nyetir, Ayah bisa istirahat," ujar Arka memecah hening yang hanya sesaat, tetapi rasanya seperti seabad.

Pak Satria langsung tergelak. "Nggak perlu, justru karena pengen nyetir sendiri makanya aku nggak ngajak si Suta."

Senyum Arka langsung melebar, dia tahu betul keinginan sang ayah untuk menyetir sendiri dan bebas dari pengawasan Pak Suta. Pak Suta adalah orang kepercayaan Pak Satria yang merangkap sebagai sopir pribadi khusus untuk perjalanan jauh. Perjalanan kali ini lolos dari perhatian Pak Suta karena Pak Satria merahasiakannya.

Setelah dua jam lebih berlalu, mobil mereka pun memasuki gerbang Desa Pandan. Diyan masih betah diam, sama sekali tidak turut dalam obrolan yang terjadi selama sisa perjalanan. Dia ingin segera sampai tujuan, lalu mengurung diri di kamar sebagai bentuk protes untuk menunjukkan bahwa dia benar-benar tidak bahagia.

Akan tetapi, sejak memasuki gerbang desa tadi laju mobil jadi semakin lambat. Ya, maklum, melaju di jalanan desa pegunungan yang menanjak, berkelok-kelok serta banyak bebatuan, tentu saja tidak bisa disamakan dengan melaju di jalan raya.

Berkali-kali Diyan menghela napas panjang dan mengembuskan kasar, tetapi masih tidak mampu menghilangkan sesak yang terasa menghimpit dadanya.

Diyan tidak menyadari kalau gerak-geriknya selalu diawasi sang kakak. Jika boleh memilih, Arka pun lebih senang membiarkan Diyan pergi bersenang-senang bersama teman-temannya daripada harus melihatnya manyun terus seperti itu.

Akan tetapi, sehari sebelum perjalanan, ayah dan ibu menemuinya, meminta bantuan untuk membujuk Diyan supaya mau ikut pergi berlibur ke Desa Pandan. Meskipun heran kenapa adiknya harus ikut, Arka tidak menolak permintaan kedua orang tuanya. Menurutnya, bagus juga sesekali berlibur bersama di pedesaan, menikmati udara segar yang belum terkontaminasi banyak polusi udara.

"Hentikan mobil!" Semua terperanjat karena Diyan tiba-tiba berteriak. Pak Satria pun refleks menginjak pedal rem. "Buka kunciannya!" serunya, sambil mengentak-entak pintu mobil.

Setelah terdengar bunyi 'clek', sebelum ada yang sempat bertanya, Diyan sudah membuka pintu dan langsung menghambur ke arah gang sempit. Arka yang posisinya tepat berhadapan dengan mulut gang, bisa menyaksikan apa yang sedang terjadi di sana dengan jelas.

Tiga anak laki-laki kisaran usia sepuluh sampai lima belas tahun, sedang melakukan perundungan pada seorang gadis berambut kusut masai yang penampilannya sangat kumal.

"Gila, Srintil gila!"

"Nggak pernah mandi!"

"Nggilani!"

"Gila, gila, Srintil gila!"

Setiap penghinaan yang terlontar disertai dengan pukulan, juga menjambak rambut. Gadis itu tampak ketakutan, tetapi anehnya tidak menangis. Hanya berdiri dengan kepala menunduk.

"Woe, berhenti!" Karena perlakuan bocah-bocah itu semakin menjadi-jadi, dari kejauhan Diyan sudah berteriak.

Alih-alih takut, ketiga remaja yang merasa tidak mengenal Diyan malah balik menantang.

"Kamu siapa?" Salah seorang yang berpostur tubuh paling tinggi bertanya angkuh dan yang lain mengangguk, menyatakan kesepakatan.

Diyan tidak hirau, tatapannya terpaku pada gadis yang terlihat sangat lusuh. Kaus yang dikenakan seharusnya berwarna merah muda, tetapi saking dekilnya warna pun berubah menjadi kehitaman. Kepala terus menunduk membuat wajah tertutup rambut yang tidak kalah kotor juga kusut. Jemari berkuku panjang nan hitam terus memainkan tepian bawah bajunya. Celana jin selutut yang dipakai pun sangat kotor robek di beberapa bagian.

Setelah merasa cukup memperhatikan gadis itu, Diyan pun bertanya kepada mereka, "Dia salah apa, kok, kalian tega nyiksa kayak gitu?"

Dia menatap tajam mereka satu per satu. Keangkuhan ketiganya pun seketika sirna, wajah mereka mengernyit aneh. Setelah itu, entah kenapa, tiba-tiba mereka saling berebut, adu cepat, ingin menjadi yang terlebih dahulu mencapai ujung gang.

Dahi Diyan mengernyit. "Apa-apaan mereka itu?"

"Sudah selesai."

Diyan terlonjak, otomatis memutar badan dan langsung berhadapan dengan kakaknya yang sedang tersenyum tipis. Satu alis Arka terangkat, heran dengan ekspresi kaget adiknya.

"Mas Arka, tadi---"

"Sri!"

Perkataan Diyan terpotong, tubuhnya pun sekali lagi otomatis berputar. Seorang pemuda dengan potongan rambut militer dan bertubuh tinggi tegap, kira-kira sebayanya, melangkah tergesa dari ujung gang dengan wajah tegang. Perasaan Diyan mendadak tidak enak. Dia tanpa sadar melangkah mundur dan berhenti ketika merasakan sentuhan lembut pada kedua lengannya.

Gadis kumal itu segera menghambur dalam pelukan pemuda tersebut menangis sejadi-jadinya sambil mengoceh tidak jelas. Si pemuda mengelus punggung dan rambut kusut untuk menenangkan.

Seorang gadis berambut hitam legam, tergerai membingkai wajahnya yang berekspresi dingin, muncul dari mulut gang. Melangkah tergesa melewati kedua orang yang masih berpelukan dan berhenti tepat di hadapan Arka dan Diyan

"Kalian ngapain di sini?" tanya gadis itu sinis. Dia berdiri menantang dengan dagu terangkat angkuh dan tatapan dingin.

Menghadapinya, Arka bergeming dan tampak acuh tak acuh. Sementara itu, Diyan tiba-tiba mundur dan merapat pada dirinya. Dia bahkan bisa merasakan hawa kegelisahan menguar dari sang adik. Ditatapnya gadis itu lekat-lekat.

"Kami hanya pendatang yang terpaksa menghentikan perjalanan karena melihat gadis itu sedang disiksa oleh tiga anak laki-laki." Cara Arka bertutur sangat formal dan halus, tetapi sebenarnya mengandung sarkasme.

Setelah dia selesai bicara, entah apa yang terjadi, tiba-tiba gadis angkuh itu menjengit. Sesaat celingukan seperti bingung, kemudian melangkah pergi tanpa sepatah kata pun.

"Mbak Ambar." Si pemuda memanggilnya, tetapi diabaikan. Akhirnya, dia menoleh ke arah Arka dan Diyan. "Maafkan sikap kasar kakakku."

Diyan hanya menatap terpaku. Entah kenapa wajah ramah murah senyum itu justru membuat hatinya gelisah. Ditambah hidung mancung pemuda itu sedikit bengkok, rasanya semakin tidak nyaman dilihat.

"Nggak apa. Kami mengerti." Arka tersenyum ramah. "Kalau begitu, kami permisi." Setelah mengangguk kecil, dia segera menggandeng tangan adiknya yang terasa dingin dan sedikit gemetar.

Sesaat sebelum turut membalik badan, Diyan melihat gadis kumal itu mengangkat sedikit kepalanya. Dari sela rambut yang menjuntai menutup wajah, gadis itu menatapnya tajam.

[Bersambung]

1
bang sleepy
Akhirnya sampai di chap terakhir update/Whimper/ aku bagi secangkir kopi biar authornya semangat nulis 🤭💗
bang sleepy
pengen kuguyur dengan saos kacang rasanya/Panic/
bang sleepy
brisik kamu kutu anjing! /Panic/
bang sleepy
bisa bisanya ngebucin di moment begini /Drowsy/
bang sleepy
mank eak?
diyan selalu berada di sisi mas arka/Chuckle/
bang sleepy
shock is an understatement....... /Scare/
bang sleepy
sabar ya bang arka wkwwk
bang sleepy
tetanggaku namanya cecilia trs penyakitan, sakit sakitan trs. akhirnya namanya diubah. bru sembuh
bang sleepy
mau heran tp mrk kan iblis /Drowsy/
bang sleepy
dun dun dun dunnnn~♪
bang sleepy
astaga suaranya kedengeran di telingaku /Gosh/
bang sleepy
Hah... jd raga palsu itu ya cuma buat nguji arka ama diyan
Alta [Fantasi Nusantara]: Kenyataan emang pahit ya🤣🤣🤣🤣🤣🤣
total 1 replies
bang sleepy
bener uga ciii /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
bang sleepy
idih idihhh
bang sleepy
nyembur wkwkwkwk
bang sleepy
Tiba-tiba cinta datang kepadaku~♪ #woi
bang sleepy
kan bener. kelakuannye kek bokem. tp dia altair
bang sleepy
agak ngeri ngeri sedap emg si diyan ini wkwkw
Alta [Fantasi Nusantara]: /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
total 1 replies
bang sleepy
anaknya anu kah
bang sleepy
buseeeeddd
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!