NovelToon NovelToon
Di Nafkahi Istri Karena Suamiku Pemalas

Di Nafkahi Istri Karena Suamiku Pemalas

Status: tamat
Genre:Tamat / Lari dari Pernikahan / Konflik etika / Cerai / Penyesalan Suami / istri ideal / bapak rumah tangga
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: HRN_18

Kisah ini mengisahkan kehidupan rumah tangga yang tidak lazim, di mana sang istri yang bernama Rani justru menjadi tulang punggung keluarga. Suaminya, Budi, adalah seorang pria pemalas yang enggan bekerja dan mencari nafkah.

Rani bekerja keras setiap hari sebagai pegawai kantoran untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Sementara itu, Budi hanya berdiam diri di rumah, menghabiskan waktu dengan aktivitas yang tidak produktif seperti menonton TV atau bergaul dengan teman-teman yang kurang baik pengaruhnya.

Keadaan ini sering memicu pertengkaran hebat antara Rani dan Budi. Rani merasa lelah harus menanggung beban ganda sebagai pencari nafkah sekaligus mengurus rumah tangga seorang diri. Namun, Budi sepertinya tidak pernah peduli dan tetap bermalas-malasan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HRN_18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

eps 7 Pertengkaran Tiada Akhir

Suara keras terdengar memekakkan telinga dari rumah sederhana keluarga Rani dan Budi. Lagi-lagi, mereka terlibat dalam pertengkaran sengit yang sudah menjadi rutinitas hampir setiap hari. Kali ini, Rani pulang dengan wajah lelah setelah bekerja seharian di kantor. Namun, apa yang menyambutnya di rumah hanyalah pemandangan Budi yang masih berbaring di sofa sambil menonton televisi.

"Budi, aku pulang!" seru Rani dengan nada tinggi, berharap suaminya itu menyadari kehadirannya. Budi hanya melirik sekilas sebelum kembali fokus pada layar kaca.

Darah Rani langsung mendidih melihat sikap acuh tak acuh Budi. "Kapan kau akan berhenti bermalas-malasan seperti ini? Seharian kau hanya menonton TV dan tidak melakukan apapun yang berguna!"

"Tenanglah, Ran. Aku sedang istirahat setelah mencari pekerjaan seharian," kilah Budi dengan nada santai.

Rani mendengus kesal. "Mencari pekerjaan katamu? Yang benar saja! Kau bahkan tidak pernah serius melakukannya."

"Jangan menuduhku sembarangan! Aku selalu berusaha, tapi tidak ada yang mau menerimaku," balas Budi, mulai terpancing emosinya.

"Tentu saja tidak ada yang mau menerimamu kalau sikapmu seperti itu! Kau bahkan tidak pernah bertanggung jawab atas keluarga kita!"

Perdebatan sengit pun tidak terelakkan. Saling menyalahkan dan memaki adalah hal yang sudah biasa terjadi di antara mereka. Suara-suara tinggi itu bahkan terdengar sampai ke tetangga. Beberapa kali, mereka hampir saling melayangkan pukulan jika saja salah satu tidak mengalah dan pergi meninggalkan rumah untuk sementara waktu.

Setelah sesi adu mulut yang melelahkan itu usai, Rani dan Budi sama-sama terdiam dengan emosi yang masih membara. Keduanya tenggelam dalam pikirannya masing-masing, bertanya-tanya kapan lingkaran pertengkaran tiada akhir ini akan berhenti. Rani bahkan mulai membayangkan untuk hidup sendiri tanpa kehadiran Budi di sisinya.

Keheningan mencekam menyelimuti ruang keluarga setelah pertengkaran hebat itu mereda. Rani dan Budi sama-sama terdiam dengan emosi yang masih membara. Nafas mereka terengah-engah setelah saling memaki dan hampir saling memukul beberapa saat lalu.

Rani menatap Budi dengan pandangan kecewa yang tak terlukiskan. Sudah berapa kali pun ia memohon agar suaminya itu mau berubah dan bertanggung jawab, tapi semuanya sia-sia belaka. Budi seperti tak pernah menghiraukan perjuangannya sebagai tulang punggung keluarga.

"Aku benar-benar sudah muak dengan sikapmu, Bud," ujar Rani memecah keheningan dengan nada tegas. "Hari demi hari ku habiskan untuk bekerja keras memenuhi kebutuhan keluarga kita. Tapi kau? Kau malah asyik bermalas-malasan di rumah tanpa ada niat untuk mencari pekerjaan!"

Budi hendak membantah, namun Rani mengacungkan tangannya untuk menghentikan suaminya itu bicara.

"Jangan coba-coba membantah, Bud. Selama ini kau memang tidak pernah serius mencari pekerjaan. Yang kau lakukan hanya menonton TV dan bergaul dengan teman-temanmu yang malas itu!"

Amarah Rani sudah sampai di ubun-ubun. Air matanya mulai menetes, bercampur dengan emosi yang membuncah. Ia sungguh tak sanggup lagi menghadapi sikap Budi yang seolah tak peduli pada perjuangannya.

"Kalau begini terus keadaannya, aku..." Rani menggantung kalimatnya sejenak. Ia memandang Budi dengan sorot mata yang dalam dan putus asa.

"Aku ingin berpisah saja darimu, Bud..."

Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Rani. "Aku ingin berpisah saja darimu, Bud..."

Seketika suasana di ruangan itu mencekam. Budi terdiam membisu dengan ekspresi terkejut bercampur emosi yang tak terbaca. Dia sama sekali tidak menyangka jika pertengkaran kali ini akan berujung pada ancaman perceraian dari istrinya.

"A-apa maksudmu, Ran? Kau tidak serius kan dengan ucapanmu barusan?" Budi tergagap, berusaha menampik kenyataan yang mengusiknya.

Rani menggeleng lemah. Air matanya kini mengalir semakin deras. "Aku sudah tidak tahan lagi, Bud. Kita sudah terlalu sering bertengkar dan berselisih paham seperti ini. Hubungan kita seperti sudah tidak ada harapan lagi..."

"Tapi kita belum mencoba menyelesaikannya dengan kepala dingin, Ran. Perceraian itu bukanlah jalan keluar!" Budi mencoba memberi pengertian meski nadanya sudah meninggi karena emosi.

Rani mendengus kecut. "Lalu kapan kita akan mencoba menyelesaikannya? Selama ini aku yang terus berusaha tapi kau tidak pernah mau mendengarkan!"

Aku janji akan berubah kali ini, Ran. Akan kucoba sekuat tenaga untuk menjadi suami yang lebih baik. Tapi ku mohon, jangan menyerah begitu saja pada hubungan kita," pinta Budi dengan nada memohon.

Keduanya lalu terdiam dalam kecam kan batin masing-masing. Ancaman perceraian itu masih menggantung di udara, menanti keputusan final dari Rani. Apakah dia akan memberi Budi kesempatan terakhir? Atau memilih untuk mengakhiri segalanya dan membangun hidup baru seorang diri? Hanya waktu yang akan menjawabnya.

Kesunyian yang mencekam menyelimuti ruangan itu. Rani tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri setelah mengancam akan berpisah dari Budi. Sementara suaminya itu masih terpaku dengan ekspresi memohon agar Rani memberinya kesempatan terakhir.

Berbagai pemikiran berkecamuk dalam benak Rani. Di satu sisi, ia benar-benar sudah lelah menghadapi sikap Budi yang tak kunjung berubah. Terlalu sering ia mencoba mengingatkan, namun semuanya seolah percuma belaka. Rani merasa sudah tidak sanggup lagi menanggung beban seperti ini seorang diri.

ada secercah harapan dalam hatinya bahwa Budi mungkin akan menepati janjinya kali ini. Rani melihat kesungguhan di mata suaminya itu ketika memohon untuk diberi kesempatan terakhir. Bagaimanapun, dulu mereka pernah saling mencintai dan tulus mengikat janji suci.

Rani memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan pikiran dan hatinya yang kalut. Kemudian ia membuka suara dengan nada serius, "Baiklah Bud, aku akan memberimu satu kesempatan terakhir..."

Budi langsung tersenyum lega mendengarnya. "Terima kasih, Ran. Aku berjanji-"

Rani mengacungkan tangannya, mencegah Budi melanjutkan kata-katanya. "Tapi jika kau mengingkari janji dan kembali bermalas-malasan seperti dulu, aku benar-benar akan mengajukan perceraian. Tidak ada toleransi lagi!"

Budi menelan ludahnya dengan berat. Ia mengangguk tanda mengerti. "Aku mengerti, Ran. Kali ini aku bersungguh-sungguh. Akan kulakukan apa pun untuk memperbaiki semuanya."

Keduanya saling berpandangan untuk waktu yang lama. Rani berharap Budi benar-benar serius dengan ucapannya, karena ini merupakan kesempatan yang mungkin tidak akan pernah datang lagi bagi mereka.

Setelah percakapan sengit yang mengancam perceraian itu, suasana di rumah keluarga Rani dan Budi terasa begitu berat dan canggung. Keduanya kini saling menghindari kontak mata ataupun pembicaraan lebih lanjut. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri.

Rani merasa was-was dan bertanya-tanya dalam hati, apakah keputusannya untuk memberi Budi kesempatan terakhir adalah hal yang tepat? Bagaimana jika suaminya itu mengingkari janji lagi seperti yang selalu terjadi selama ini? Rani sungguh tak sanggup lagi menghadapi pengkhianatan kepercayaan.

Sementara itu, Budi berkali-kali menggumamkan tekadnya untuk benar-benar berubah. Ia mencoba menyingkirkan segala kemalasan dan kebiasaan buruknya selama ini. Budi sadar, inilah kesempatan terakhirnya untuk membuktikan diri sebagai seorang suami dan kepala keluarga yang bertanggung jawab.

Hari-hari berikutnya berlalu dalam ketegangan yang tak terkatakan. Keduanya hampir tak saling bicara kecuali untuk hal-hal penting. Budi pun terlihat mulai serius mencari pekerjaan, walaupun Rani masih mengawasi dengan penuh kecurigaan. Sudah terlalu sering ia dikhianati harapannya di masa lalu.

Namun perlahan tapi pasti, Budi berusaha menunjukkan perubahan sikapnya. Ia lebih disiplin dalam mencari pekerjaan, termasuk mengikuti beberapa pelatihan untuk meningkatkan keterampilannya. Bahkan Budi mulai menghindari pergaulan dengan teman-teman lamanya yang bisa mempengaruhi dirinya untuk kembali bermalas-malasan.

Rani mengamati perubahan suaminya itu dari jarak aman. Hatinya dipenuhi kecamuk perasaan yang bercampur aduk. Sebagian dirinya berharap perubahan Budi kali ini sungguhan. Namun sebagian lagi merasa ragu dan was-was jika ini hanya sementara saja seperti biasanya. Hanya waktu yang akan menentukan apakah pernikahan mereka masih punya harapan atau tidak.

1
Almaa
deep bgt thor👀
HRN_18
🔥🔥🔥🔥
Diamond
Jalan ceritanya keren abis.
Oralie
Author, kapan mau update lagi nih?
HRN_18: sabar ,😩
total 1 replies
SugaredLamp 007
Menghanyutkan banget.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!