NovelToon NovelToon
Kognisi Pembunuh Tersembunyi

Kognisi Pembunuh Tersembunyi

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Balas Dendam / Teen School/College / Gangster
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Atikany

Caca adalah seorang gadis pemalu dan penakut. Sehari-hari, ia hidup dalam ketakutan yang tak beralasan, seakan-akan bayang-bayang gelap selalu mengintai di sudut-sudut pikirannya. Di balik sikapnya yang lemah lembut dan tersenyum sopan, Caca menyembunyikan rahasia kelam yang bahkan tak berani ia akui pada dirinya sendiri. Ia sering kali merangkai skenario pembunuhan di dalam otaknya, seperti sebuah film horor yang diputar terus-menerus. Namun, tak ada yang menyangka bahwa skenario-skenario ini tidak hanya sekadar bayangan menakutkan di dalam pikirannya.

Marica adalah sisi gelap Caca. Ia bukan hanya sekadar alter ego, tetapi sebuah entitas yang terbangun dari kegelapan terdalam jiwa Caca. Marica muncul begitu saja, mengambil alih tubuh Caca tanpa peringatan, seakan-akan jiwa asli Caca hanya boneka tak berdaya yang ditarik ke pinggir panggung. Saat Marica muncul, kepribadian Caca yang pemalu dan penakut lenyap, digantikan oleh seseorang yang sama sekali berbeda: seorang pembunuh tanpa p

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atikany, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 5

Di tengah jam pelajaran, Marica meminta izin untuk ke toilet. Saat berjalan menuju kelasnya, matanya tertarik pada papan mading yang menampilkan informasi tentang tes beasiswa.

"Tes beasiswa?" gumamnya pelan.

Pikiran Marica mulai melayang, terpikat dengan kesempatan untuk mengikuti tes tersebut. Meskipun saingannya tidak main-main, dia merasa tertarik karena biaya sekolah swasta yang tinggi membuatnya terbebani.

\~\~\~

Di jam istirahat, Yura mengajak Marica untuk pergi ke kantin, namun Marica menolak dengan alasan ingin pergi ke perpustakaan.

"Jendelanya udah diperbaiki?" tanya Zerea heran, melihat jendela yang sebelumnya rusak kini telah diganti dengan yang baru.

"Udah, langsung diurus sama Emil," jawab Ririn, menjelaskan bahwa Emil telah mengurus perbaikan jendela tersebut.

Sementara itu, Yura hanya diam, fokus memakan pesanannya. Ekspresinya menunjukkan bahwa dia sedang tenggelam dalam pikiran-pikirannya sendiri, mungkin sedang memikirkan sesuatu yang lain.

Suasana di sekitar mereka terasa agak hening, dengan Zerea yang masih memandang jendela baru dengan rasa penasaran, dan Marica yang segera menuju perpustakaan tanpa meladeni ajakan Yura.

\~\~\~

Devano merasa terganggu dengan kehadiran Marica yang tiba-tiba muncul di perpustakaan dan mengambil beberapa buku besar. Sebuah bisikan dari Rendra membuatnya semakin yakin bahwa Marica juga akan mengikuti tes beasiswa.

"Gue yakin banget kalau dia mau ikut tes juga, soalnya tadi gue lihat dia ada di depan mading," bisik Rendra pada Devano dengan suara yang pelan agar tidak terdengar oleh orang lain di sekitarnya.

Tes beasiswa ini memang diperbolehkan untuk seluruh siswa, tanpa memandang status sosial atau ekonomi. Ini adalah kesempatan yang adil bagi semua pelajar untuk bersaing berdasarkan kemampuan intelektual mereka, bukan berdasarkan koneksi atau latar belakang ekonomi.

"Lo enggak masalah dia ikut tes?" goda Rendra, mencoba mencari kelemahan atau ketidaksetujuan dari Devano.

Rendra, yang berasal dari kalangan orang berada, memanfaatkan Devano sebagai pembimbingnya, dengan imbalan bayaran yang telah dijanjikan sebelumnya.

Namun, Devano tidak terlalu peduli dengan siapa yang ikut tes, asalkan dia bisa fokus pada persiapannya sendiri.

"Gue enggak perduli dia mau ikut apa enggak," jawab Devano dengan tegas, menutup buku-bukunya dan meninggalkan perpustakaan dengan langkah mantap.

Dia telah menetapkan tujuannya sendiri dalam menghadapi tes beasiswa ini, dan tidak akan terganggu oleh kehadiran atau persaingan dari siapapun, termasuk Marica. Baginya, yang penting adalah mempersiapkan diri sebaik mungkin dan memberikan yang terbaik dalam tes nanti.

\~\~\~

Bel untuk pulang sekolah berbunyi, dan Marica langsung menuju parkiran dengan keyakinan bahwa Yura pasti sudah menunggu di sana. Dan benar saja, Yura sudah berada di parkiran bersama kedua sahabatnya.

"Ca, gini, kita bertiga mau main. Lo bisa pulang sendiri dulu enggak?" tanya Yura dengan hati-hati, berusaha memperhatikan perasaan Marica.

"Bisa kok," jawab Marica dengan santainya, menunjukkan bahwa dia tidak keberatan untuk pulang sendiri.

"Maaf ya," ucap Yura, merasa tidak enak atas permintaannya.

"Iya, enggak papa. Santai aja," ucap Marica, mencoba menenangkan Yura.

Yura dan kedua sahabatnya masuk ke dalam mobil masing-masing, meninggalkan Marica sendirian di parkiran.

\~\~\~

Emil, yang melihat kejadian itu dari kejauhan, hanya bisa menatap Marica dengan pandangan bingung. Hatinya terasa terombang-ambing antara dua pikiran yang bertentangan.

"Gue enggak tahu siapa yang jahat di sini, Caca atau Kelvin," bimbang Emil dalam hatinya, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang mengganggunya.

Ia mengenal Kelvin cukup baik, dan jujur saja, Kelvin bukanlah manusia normal pada umumnya. Ada sesuatu yang gelap dan misterius dalam diri Kelvin yang membuatnya tampak berbeda dari yang lain. Emil tidak bisa menahan diri untuk tidak mempertanyakan apakah Kelvin benar-benar manusia yang jahat dan kejam, ataukah ada faktor lain yang memengaruhi perilakunya.

Dan tentu saja, Emil juga menyadari bahwa masa lalu seseorang dapat memiliki dampak yang besar terhadap kepribadian dan perilaku mereka di masa kini. Mungkin ada hal-hal yang terjadi di masa lalu Kelvin yang membuatnya menjadi seperti ini.

Mungkin ada luka dan rasa sakit yang belum sembuh sepenuhnya, yang mendorongnya untuk bertindak dengan cara yang tidak terduga.

\~\~\~

Marica melangkah di trotoar dengan langkah ringan, menikmati suasana yang menyenangkan di sekitarnya sambil menghirup udara segar. Cuaca yang tidak terlalu panas membuatnya merasa nyaman untuk berjalan-jalan sendirian.

Di sepanjang trotoar, banyak jajanan yang dijual, terutama karena sekolahnya berdekatan dengan sekolah dasar. Aroma makanan yang menggoda membuat perutnya sedikit terasa lapar.

"Bang, beli batagornya," pesan Marica kepada penjual batagor yang berada di pinggir jalan.

Dengan senyum ramah, penjual itu menanggapi pesanannya dengan cepat, "Ditunggu, Neng."

Marica memilih untuk duduk di salah satu bangku di sekitar sambil menikmati pemandangan jalanan yang mulai sepi. Dia menatap sekeliling dengan tenang, menikmati keheningan yang jarang didapatkannya di tengah kesibukan sekolah.

Setelah beberapa saat menunggu, pesanannya pun sudah siap. "Inih, Neng," ucap penjual batagor sambil memberikan pesanannya dengan senyum hangat.

"Makasih," ucap Marica dengan ramah, sembari memberikan uang dan menerima pesanannya dengan senyum yang sama hangatnya.

Namun, sebelum Marica sempat menggigit batagornya, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari arah belakang. Dia segera menoleh ke arah suara tersebut dan melihat sebuah motor tergelincir di jalanan yang agak licin. Orang-orang di sekitar kejadian langsung bergerak untuk menolong, termasuk Marica.

"Devano?" terkejut Marica, menyadari bahwa yang jatuh adalah Devano.

Tanpa ragu, dia segera memasukkan batagor ke dalam tasnya dan ikut melihat kondisi Devano.

Devano sudah duduk di kursi dengan wajah yang terlihat kesakitan, mencoba menahan rasa sakit yang mungkin dialaminya. Meskipun begitu, dia tetap berusaha tersenyum untuk menenangkan orang-orang di sekitarnya.

"Dek, ke puskesmas aja," sarankan salah satu orang yang membantu.

Namun, Devano menolak dengan lembut, "Enggak usah, Pak. Makasih." Meskipun dia mencoba menampakkan kekuatan, namun terlihat bahwa dia merasa tidak nyaman dengan kondisinya.

\~\~\~

Sementara itu, Yura dan kedua temannya sedang nongkrong di sebuah kafe. "Yura, lo enggak takut kalau Caca ambil semua yang lo punya?" tanya Zerea sambil menyeruput jus mangganya dengan tenang.

"Iya, hati-hati lo. Makin ke sini gue makin ngerasa kalau dia pura-pura baik dan polos aja," ucap Ririn, menyatakan kekhawatirannya.

"Iya, enggak mungkin kan dia loncat dari lantai dua dan cuma pincang doang kakinya?" tambah Zerea, mencoba mencari logika dari kejadian yang mereka temui sebelumnya.

"Dia juga enggak mungkin bisa lawan Kelvin," ucap Ririn, menambahkan argumen yang membuat mereka semakin yakin.

"Sejujurnya, gue merasa terganggu dengan kehadiran Caca. Tapi gue bisa apa? Enggak mungkin kan gue minta dia keluar dari rumah?" ucap Yura dengan nada lelah, mencerminkan rasa frustasinya yang semakin memuncak.

Mereka semua merasa terjebak dalam situasi yang rumit, di mana kehadiran Marica menimbulkan kekhawatiran dan kebingungan di antara mereka.

"Main halus aja," sarankan Zerea dengan bijaksana, mencoba menemukan solusi terbaik dalam situasi yang rumit ini.

Ketiganya saling bertatapan, seakan-akan mereka dapat membaca pikiran satu sama lain tanpa harus mengucapkannya dengan kata-kata. Mereka mengangguk serentak, setuju dengan saran Zerea.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!