Dinikahi Rentenir

"Sampai jumpa besok, Ailyn!" teriak Ian sebelum mereka berpisah dari kedai es krim.

Ailyn melambaikan tangannya ke arah pemuda itu.

"Cepatlah pulang!" balas Ailyn.

"Baik, Tuan Putri!" Ian mengerlingkan satu matanya.

"Ish..." Ailyn terkekeh geli. Dia kemudian masuk ke dalam mobil yang menjemputnya.

Memang selama lima tahun terakhir, Ailyn dekat dengan Ian. Bahkan ketika mereka memasuki sekolah menengah, banyak yang mengira mereka berpacaran.

Bukannya Ailyn tidak mempunyai teman perempuan, hanya saja tidak ada yang tulus berteman dengan Ailyn.

Mereka di depan baik tapi di belakang membicarakan Ailyn yang tidak-tidak karena menjadi juara umum setiap tahun.

Hanya Ian yang Ailyn anggap tulus berteman dengannya.

"Kita langsung pulang," ucap Ailyn pada supir yang menjemputnya.

"Baik, Nona," jawab sang supir.

Dalam perjalanan pulang, Ailyn tidak memikirkan apapun selain ingin segera sampai untuk memberi makan burung-burungnya.

Untuk mengusir rasa kesepian, Ailyn memelihara beberapa burung di taman. Selama Derick tinggal, Ailyn bisa meminta apapun pada Marco.

Saat mobil sudah sampai dan terparkir dengan baik, Ailyn segera turun dan berlari kecil untuk masuk ke dalam rumah besar sang rentenir yang selama lima tahun ini dia tinggali.

"Bibi Ain, aku pulang!" teriak Ailyn.

Gadis itu tidak sadar jika ada yang memperhatikannya dari lantai atas.

"Nona..." panggil Bibi Ain yang menyambut kedatangan Ailyn.

Wanita paruh baya itu ingin mengatakan sesuatu yang penting pada Ailyn tapi gadis itu justru langsung pergi menuju taman.

"Aku ingin melihat burung-burungku dulu," ucap Ailyn seraya berlari ke arah taman.

Bibi Ain menghela nafasnya panjang, mungkin Ailyn akan tahu sendiri nanti.

"Hallo semua, aku datang!" Ailyn berbicara pada burung-burungnya di kandang.

"Apa kalian lapar?"

Ailyn berjalan ke tempat di mana biasanya dia menyimpan makanan burungnya.

"Sepertinya makanan kalian akan habis, aku bisa menulisnya di daftar permintaan," gumam Ailyn.

Dia memang mempunyai daftar permintaan setiap bulannya yang akan Ailyn tulis dan diajukan pada Marco nantinya.

Selesai memberi makan burung, Ailyn segera menuju kamarnya untuk menulis semua daftar permintaannya yang akan dia ajukan.

"Tanggal berapa ini?" Ailyn melihat kalender dan beruntung hari ini jadwal Marco datang.

"Baiklah, ayo temui Marco!"

Ailyn sudah tidak bersikap formal lagi pada asisten Derick itu.

"Apa Marco sudah ada di dalam?"

Gadis itu sudah sampai di depan ruang kerja Derick, biasanya Marco ada di sana jika jadwal berkunjungnya tiba.

Jari-jari lentik Ailyn mengetuk pintu sebelum masuk.

"Marco!" panggilnya.

Tidak ada sahutan apapun, Ailyn mencoba membuka pintu begitu saja.

Di dalam ruangan itu selalu sepi namun ada sosok yang membuat Ailyn tercengang. Dia melihat lelaki yang duduk di kursi kebesaran Derick.

Untuk memastikan, gadis itu perlahan mendekat.

"Tu... tuan," panggil Ailyn tergagap. Dia melihat suaminya di sana.

"Apa ini mimpi?"

Sosok lelaki itu melihat ke arah Ailyn dari ujung kaki sampai ujung kepala. Lalu lelaki itu berdiri supaya bisa sejajar dengan Ailyn.

Ailyn sejajar sepundaknya yang membuat lelaki itu tertawa pelan.

"Kau sudah bertambah tinggi," komentarnya.

Biasanya Ailyn memang berkhayal jika Derick pulang tapi hanya bayangan tanpa suara jadi ketika mendengar suara lelaki itu, Ailyn tambah tercengang.

"Kenapa bisa berbicara?" tanya Ailyn lagi.

Lelaki itu kembali tertawa tapi kali ini suaranya lebih keras, walaupun sudah semakin tinggi, sikap Ailyn masih belum banyak berubah.

"Kau tidak sedang bermimpi atau berkhayal," ucapnya mencoba meyakinkan.

"Kalau begitu..." Ailyn mendekat lalu menendang kaki lelaki yang dianggapnya Derick itu.

Bug!

Satu tendangan keras Ailyn layangkan.

"Apa itu sakit?"