Fatan dan Fadil adalah saudara kembar yang memiliki karakter berbeda. Fatan dengan karaktetnya yang tenang dan pendiam. Sedangkan Fadil dengan karakternya yang aktif, usil dan tengil. Namun keduanya sama-sama memiliki kepribadian yang baik. Karena dari kecil mereka sudah dididik dengan ilmu agama.
Suatu saat mereka bertemu dengan jodoh masing-masing.Pasangan keduanya berbanding terbalik dengan karakter mereka. Fatan dengan seorang wanita yang agak bar-bar. Sedangkan Fadil dengan seorang wanita yang pemalu.
Akankah mereka bisa bertahan dengan pasangan masing-masing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda RH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hati tercubit
Keesokan harinya.
Fatan baru saja sampai di madrasah. Di kantor sudah ada ustadzah Azizah.
"Ustadz, ini ada mendoan tempe untuk ustadz."
"Oh iya, Terima kasih Ustadzah."
"Iya sama-sama, Ustadz."
Fatan menangkap sesuatu dari sikap Ustadzah Azizah kepadanya beberapa hari ini. Sepertinya Ustadzah Azizah diam-diam memperhatikannya. Dia juga pernah mengirim pesan kepada Fatan berbasa-basi soal madrasah. Namun Fatan yang cuek tidak terlalu menanggapinya.
Tidak lama kemudian datang pengajar yang lain.
"Wah, ada mendo'an nih!" Ujar Ustadz Sukri.
"Monggo dimakan, Ustadz." Sahut Fatan.
"Punya Ustadz Fatan?"
"Punya kita bersama."
Ustadz Sukri pun mengambilnya satu, diikuti oleh yang lainnya. Nampak Azizah hanya memperhatikan mereka.
"Ustadzah Azizah, ayo dimakan!" Ujar Ustadz Marwan.
"Eh Iya, silahkan dilanjutkan."
Nampak raut wajah Azizah kecewa.
Sedangkan di rumah Pak Kades. Anisa dan panitia lainnya mempersiapkan sarana untuk lomba sore ini, yaitu lomba tarik tambang. Namun tidak lama kemudian datang sebuah mobil mewah warna hitam dengan plat nomer Jakarta. Anisa ketar-ketir melihatnya, ia takut Tirta yang datan. Karena dari dua hari yang lalu Tirta menelpon dan memaksa ingin menyusul Anisa ke Malang.
"Wah sopo iku sing teko (siapa itu yang datang? Mobile keren!" Ujar Rafa.
Orang yang mengendarai mobil pun turun. Dan ternyata benar dugaan Anisa. Tirta yang turun dari mobil. Dengan pakaian serba branded dan kacamata hitamnya, ia turun dengan gagahnya.
"Tirta... "
"Mbak Nisa kenal?"
Nisa hanya mengangguk. Sedangkan gadis lain yang bersama Anisa terpesona melihat Tirta. Anisa sembunyi di antara gadis-gadis di sampingnya.
"Selamat sore." Ucap Tirta seraya membuka kacamatanya.
"Mas, kalau bertamu itu mbok yo ucap salam gitu!" Sahut Rafa.
"Rafa, ndak boleh gitu!" Tegur Bu Kades.
Sontak Rafa menutup mulutnya.
"Oh iya, maaf saya lupa. Assalamu'alaikum... "
"Wa'alaikum salam."
"Di sini benar rumah Om Wira Bapak kepala desa?"
"Iya benar, saya istrinya."
"Oh iya Tante." Tirta menjabat tangan Bu Kades.
"Kamu... "
"Saya Tirta, tunangannya Anisa."
"Owalah, Mbak Nisa ini lho dicari Mas Tirta." Ujar Rafa.
Sontak Tirta langsung melihat ke arah Rafa bicara. Anisa pun terpaksa keluar dari persembunyiannya.
"Hai sayang, akhirnya aku bisa menemukanmu."
"Sayang-sayang, palamu peyang!" Batin Anisa.
Namun ia berusaha untuk tersenyum karena banyak orang lain di situ.
"Eh, mari masuk dulu, jangan di luar! Sebentar lagi rame di sini."
"Ini Tante ada sedikit oleh-oleh dari saya."
"Terima kasih, sebenarnya kamu tidak perlu repot-repot."
Mereka pun masuk ke dalam. Para gadis sedang heboh membicarakan soal Tirta dan Anisa.
"Ternyata tunangannya Mbak Nisa."
"Iya, aku kira cariin aku. haha... "
"Ish, mimpi! Mbak Nisa cantik, tunangannya cakep."
Fatan pun baru tiba di rumah Pak Kades.
"Kamu lihat itu Ustadz Fatan! Sebenarnya kalau Ustadz Fatan pake baju dan mobil kayak tunangan Mbak Nisa tadi, dia pasti jauh lebih keren."
"Ah iya benar juga. Begini saja dia udah ganteng banget."
Fatan langsung masuk ke kamarnya. Ia segera melaksanakan shalat Ashar. Setelah itu ia keluar untuk melihat lomba. Sesekali Fatan menoleh ke rumah Pak Kades.
"Tumben dia nggak keluar. Sepertinya ada tamu di rumah Pak Kades." Batinnya.
Tidak lama kemudian, Rafa keluar. Ia mendekati Fatan.
"Sudah siap ikut lomba, Raf?"
"Siap dong Ustadz, tadi udah mengumpulkan tenaga untuk bisa menang, hehe... "
"Yakin menang?"
"Kan Ustadz sendiri yang bilang kita harus optimis dan positif thinking."
Fatan pun mengusap kepala Rafa.
"Rafa, Bapak ada tamu?"
"Bukan tamunya Bapak, tapi tamunya Mbak Anisa. Tuh lihat mobilnya! Keren ya, Ustadz?" Tunjuk Rafa.
"Oh iya... siapa?"
"Tunangannya Mbak Nisa."
Deg
Hati Fatan seperti tercubit. Sontak ia pun terpaku melamunkan sesuatu.
"Ustadz!"
Rafa menepuk lengan Fatan.
"Eh iya, ada apa?"
"Malah bengong. Itu Ustadz dipanggil Cak Bahar! "
Fatan mendekat ke tempat panitia untuk mengambil alih memanggil peserta lomba.
Sementara di ruang tamu rumah Pak Kades. Pak Kades dan Bu Kades, sedang menemani Tirta dan Anisa.
"Maaf adanya ini, silahkan diminum." Ujar Bu Kades.
"Terima kasih, Tante. Tapi maaf saya masih kembung. Nanti saya minum. " Ujar Tirta beralasan.
"Bukankah aku sudah melarangmu, kenapa kamu masih saja menghampiriku ke sini?" Ujar Anisa.
"Sayang, beberapa hari lagi kita akan lamaran dan menikah. Memang salah ya kalau aku ingin dekat dengan tunangan ku? Menurut Om dan Tante, apa aku salah ingin mengenal tunangan ku lebih dekat lagi?"
" Tidak salah juga Tirta. Tapi pendekatan juga tidak harus dekat orangnya kok! Apa lagi kalian belum menjadi mahram, nanti bisa-bisa menimbulkan fitnah jika sering bersama. Apa lagi di sini desa, beda dengan kehidupan kota yang biasanya dewe-dewe kata orang sini."
"Maksudnya, Om?"
"Maksud Om ya kamu bisa pendekatan nanti setelah menikah. Bukannya kalian sudah saling kenal?"
"Iya Om, saya ke sini cuma ingin memastikan keadaannya saja kok. Dia sangat melarangku datang ke sini, saya kan jadi penasaran. Nggak mungkin kan dia kecantol pemuda desa?"
"Ya sudah, sekarang kan sudah ketemu. Kamu mau menginap di sini Tirta? Sudah sore lho."
"Boleh Om?"
"Boleh saja. Tapi kamarnya tidak seperti kamar di rumahmu. Kalau kamu mau, bisa tidur di kamar Raga. Sekarang kamarnya kosong."
"Iya nggak pa-pa Om. Besok saya bisa kembali ke Jakarta."
"Ish ngapain dia mau nginep di sini segala, coba?" Gerutu Anisa di dalam hati.
Bu Kades pun membersihkan kamar Raga. Kamar tersebut masih rapi, namun ada sarang laba-laba di temboknya.
"Tirta, silahkan masuk. Istirahatlah dulu! Kamu pasti capek habis perjalanan jauh."
"Terima kasih Tante. Tuh, tante saja perhatian sama aku. Masa' kamu yang tunangan ku cuek saja?"
"Terus kamu maunya aku gimana?"
"Kasih senyum dikit kek."
"Hem... sudah!" Anisa menyunggingkan senyumnya dengan terpaksa. Setelah itu ia meninggalkan Tirta.
Bu Kades hanya bisa menahan senyumnya melihat tingkah Anisa.
Saat malam tiba.
Seperti biasanya, Fatan masih di Masjid menunggu waktu Isyak. Sampai setelah shalat Isyak selesai, rasanya ia enggan pulang ke rumah. Sedangkan Tirta tertidur di kamar Raga. Sampai saat ini ia tidak keluar kamar.
"Tante lihat sendiri kan, gimana Tirta? Masa' maghrib waktunya shalat tidur, sampe sekarang nggak bangun-bangun. Yang begitu mau jadi imam? "
" Ya maklum Nis, dia kan capek dan ngantuk. Jangan su'udon dulu! Coba kamu telpon, sudah waktunya makan malam. Ajak dia makan bareng sekalian."
Untuk menghormati Bu Kades, Anisa pun menelpon Tirta. Ia memanggil berkali-kali namun tidak diangkat. Sampai akhirnya terdengar suara petasan di luar, sebagai tanda lomba akan dimulai malam ini. Tirta pun terkejut dan terbangun. Ia melihat handphone-nya ada beberapa kali panggilan dari Anisa. Ia pun segera keluar dari kamar.
"Nah itu dia sudah bangun." Ujar Bu Kades.
Yang lain sudah duduk di meja makan untuk makan malam. Tidak terkecuali Fatan. Sontak Fatan pandangan Fatan tertuju kepada Tirta yang saat ini masih berdiri di tempatnya karena ia juga terkejut melihat adanya sosok laki-laki tampan di rumah Pak Kades.
"Siapa dia?" Batinnya.
Bersambung....
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
awas serangan jantung dadakan ya pak Alan terhormat & Tirta 🤭
aku aja Terkenyut thor...
semoga aja pak gak sampai pingsan /Joyful//Joyful//Joyful/
lanjut