NovelToon NovelToon
HAZIM

HAZIM

Status: sedang berlangsung
Genre:cintapertama / Keluarga / Persahabatan / Romansa
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Haryani Latip

Awal pertemuan dengan Muhammad Hazim Zaim membuat Haniyatul Qoriah hampir terkena serangan Hipertensi. Meski gadis itu selalu menghindar. Namun, malangnya takdir terus mempertemukan mereka. Sehingga kehidupan Haniyatul Qoriah sudah tidak setenang dulu lagi. Ada-ada saja tingkah Hazim Zaim yang membuat Haniyatul pusing tujuh keliling. Perkelahian terus tercetus diantara mereka mulai dari perkelahian kecil sehingga ke besar.

apakah kisah mereka akan berakhir dengan sebuah pertemanan setelah sekian lama kedua kubu berseteru?
Ataukah hubungan mereka terjalin lebih dari sekadar teman biasa dan musuh?

"Maukah kau menjadi bulanku?"

~Haniyatul Qoriah~

🚫dilarang menjiplak

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Haryani Latip, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rahasia

Happy reading😚

Setiap orang punya rahasia yang mereka sembunyikan dari dunia. Tidak ingin terkuak apalagi di ketahui oleh orang lain. Tapi apakah aku bisa mengetahui apa rahasiamu?

______________________________________

Haniyatul berjalan ke kelas dalam keadaan lemas. Tidak ada senyuman di wajahnya, raut wajahnya terlihat muram dan pandangannya kosong.

"Han, dari mana?" tanya Ainul ketika melihat temannya duduk di sebelahnya.

Haniyatul tidak menjawab pertanyaan Ainul. Pikirannya kacau dan terbang entah kemana. Yang di rasa saat ini, sedih, marah, dan pilu yang berkecamuk menjadi satu.

"Han," ucap Ainul seraya menarik lengan Haniyatul.

Akhirnya Haniyatul tersadar dan kembali ke alam nyata.

"Hah? Iya," sahut Haniyatul.

"Kamu kenapa? Habis dari mana sih?" tanya Ainul. Penasaran.

"Mmm, da--dari toilet," bohong Haniyatul. Tidak mungkin ia berkata jujur pada Ainul atau menceritakan apa yang terjadi tadi.

"Tapi muka kamu kenapa begitu?" tanya Ainul sekali lagi.

"Muka? Muka ku kenapa?" bukannya menjawab pertanyaan Ainul, tetapi Haniyatul malah kembali bertanya.

"Ya, kayak sedih, resah," jelas Ainul. Ia mengeluarkan mukena dari laci mejanya.

"Tidak ada apa-apa, aku baik-baik saja," ucap Haniyatul seraya mengukir senyuman tipis di bibirnya.

"Ini mau shalat?" tanya Haniyatul pula.

"Iya, sudah mau masuk waktu," jawab Ainul seraya melirik arloji yang terpasang di tangan kanannya dan Haniyatul juga melakukan hal yang sama dilakukan oleh Ainul.

"Iya, ya," ujar Haniyatul seraya mengambil mukenanya dari laci meja.

"Sudah bisa shalat?" tanya Ainul ketika melihat Haniyatul mengeluarkan mukena yang berwarna putih bercorak bunga-bunga berwarna biru.

"Iya, aku sudah bersih kemarin," jawab Haniyatul sekali lagi. Lalu kedua sahabat ini pun bergegas ke tempat wuduk. Takut-takut jika telat, mereka akan lama pula mengantri nanti.

***

Haniyatul dan Ainul duduk di shaf paling depan, tirai berwarna putih menjadi pembatas antara shaf laki-laki dan perempuan. Mulut Haniyatul dan Ainul terkumat kamit bertasbih memuji sang pencipta. Jika di dalam Mushollah itu adalah para bidadari, maka Haniyatul adalah ratunya. Wajahnya bersinar seperti rembulan, matanya teduh dan cerah seperti matahari, serta bibirnya yang ranum. Sungguh siapa saja yang memandang akan bergetar hatinya.

Setelah beberapa menit berlalu, Zaim pun mengumandangkan azan. Suaranya memenuhi setiap penjuru Mushollah. Jika Haniyatul ratu dari bidadari, maka Zaim pula rajanya. Ketampanan laki-laki ini tidak perlu dipertanyakan lagi karena setiap wanita di Madrasah ini banyak yang memendam perasaan padanya.

Hati Haniyatul bergetar, darahnya mengalir deras, dan tiba-tiba saja air matanya menitik membasahi sejadahnya.

Aydan, batinnya.

***

Awan kelabu mulai menipis, menyisakan bulir-bulir bening di atap sekolah, perlahan cahaya matahari mulai menampakkan sinarnya.

Setelah melaksanakan shalat asar, Haniyatul dan Ainul pun keluar dari Mushollah. Hari ini Haniyatul tidak banyak bicara, namun ia tetap merespon ucapan Ainul setiap kali gadis itu membicarakan suatu hal baik tentang hukum pacaran dalam Islam maupun tentang usia nikah yang di anjurkan dalam Islam.

Untung saja gadis ini kurang peka jadi dia tidak bertanya tentang mengapa Haniyatul tiba-tiba saja menitikkan air mata saat azan di kumandangkan.

"Stop,"perintah Ainul.

Secara mendadak Haniyatul pun menghentikan langkah kakinya.

"Kenapa?" tanya Haniyatul. Heran.

"MasyaAllah, ganteng banget," puji Ainul. Matanya tidak lepas dari menatap Aydan yang berjalan beriringan dengan Zaim dan Mukhlis.

Haniyatul mengikuti arah pandang Ainul. "Ainul, mengagumi tidak salah, tapi kalau sudah dilihat seperti itu terus. Hati-hati nanti jadi zina mata." Nasihat Haniyatul.

"Astagfirullah Al'azim, khilaf, Han," ucap Ainul seraya tersenyum lebar.

"Assalamualaikum," sapa Mukhlis.

"Walaikumsalam," jawab Haniyatul dan Ainul secara bersamaan. Sejadah di tangan di peluk erat sedangkan mata mereka berdua menunduk melihat ke tanah.

Mukhlis melirik ke arah Zaim yang sedang tersenyum.

"Dingin ya, Han? Kamu pulang naik sepeda bukan?" tanya Zaim.

"Hmmm," gumam Haniyatul.

"Aku punya jaket, nanti aku pinjamkan ke kamu ya," bersungguh-sungguh sekali Zaim menawarkan jaketnya pada Haniyatul.

Aydan menatap Haniyatul dengan raut wajah tak suka. "Za, aku duluan ya." Pamit Aydan.

"Eh, ke--"

"Aku juga duluan ya Mukhlis, Ainul," Haniyatul langsung memotong ucapan Zaim. Bergegas ia berlalu pergi dari situ.

"Han, tunggu!" teriak Ainul. Ia juga bergegas menyusul langkah kaki Haniyatul.

Sementara Zaim dan Mukhlis malah saling bertatapan. Mereka merasa aneh dengan sikap Aydan akhir-akhir ini.

***

Haniyatul merebahkan tubuhnya di atas kasur, ia masih memakai mukenanya setelah selesai melaksanakan shalat Magrib. Dipandangnya langit-langit kamarnya. Sedangkan pikirannya sudah melayang kemana-mana. Mengingat kembali kejadian siang tadi antara dirinya dan Humaira... (lanjut ke flashback)

"Apa yang ingin kakak bicarakan padaku?" tanya Haniyatul. Ia meremas kasar tangannya.

"Soal Aydan,"

Jdaar!

Suara kilat langsung bergemuruh saat nama itu di sebutkan oleh Humaira. Sehingga, membuat Haniyatul turut merasa terkejut karena tiba-tiba saja Humaira berkata begitu.

"A---Aydan? Kenapa dengan Aydan?" tanya Haniyatul sedikit terbata-bata.

Humaira tersenyum manis pada Haniyatul. Akan tetapi, ia tidak bisa menyembunyikan rasa sedihnya. "Tolong, tolong jaga dia saat aku pergi nanti," ucap Humaira seolah sedang memohon.

Haniyatul semakin tidak mengerti maksud dibalik ucapan wanita itu. Kilat sambung menyambung di atas langit. Awan yang kelabu kini berubah menjadi hitam. Udara dingin tadi mulai menyapa dengan ganas menerbangkan dedaunan dari ranting pepohonan.

Haniyatul menatap Humaira dalam-dalam. Mulutnya diam membisu dan tak tahu ingin berkata apa untuk merespon ucapan Humaira yang baru saja di dengarnya tadi.

"Jangan khawatir aku tidak sedang sekarat atau mengalami sakit parah," jelas Humaira. Ia sempat terkekeh di akhir ucapannya.

Haniyatul menarik napas lega. Bisa-bisanya gadis yang berada di sebelahnya ini tertawa. Padahal Haniyatul sudah memikirkan yang tidak-tidak tadi. "Jadi kakak mau pergi ke mana?" tanya Haniyatul.

"Tidak lama lagi kita akan semester akhir bukan? Itu berarti aku tidak lama lagi lulus, sudah tentu aku akan melanjutkan study ku ke luar negeri sesuai usulan ayahku kemarin," jelas Humaira.

"Jadi?" tanya Haniyatul sekali lagi. Ucapan Humaira terlalu berbelit-belit, sedangkan Haniyatul adalah gadis yang suka membicarakan sesuatu yang jelas dan langsung pada intinya serta tidak ingin bermain tebak-tebakan.

"Jadi, selama aku pergi tolong perhatikan Aydan, berteman dengannya. Dan kalau bisa biarlah kalian lebih dari sekadar teman. Han, aku tau kamu menyukai Aydan bukan?"

Mata Haniyatul melebar. Ia tidak menduga jika gadis ini dengan gampangnya mengetahui perasaan yang dipendamnya selama ini.

"Tapi, Aydan tidak sendiri kak, dia punya Zaim dan Mukhlis yang bisa berada di sisinya," ucap Haniyatul. Walaupun ia menyukai Aydan tapi tidak mungkin ia akan mengejar-ngejar lelaki itu. Apalagi jika secara tiba-tiba saja Haniyatul memerhatikan Aydan. Pasti semua orang akan tahu bahwa Haniyatul menyukai Aydan. Bukankah itu sama saja seperti secara terang-terangan ia memberitahu orang lain bahwa ia menyimpan perasaan pada laki-laki itu.

"Han, Aydan bukan laki-laki yang bahagia seperti yang kamu lihat setiap harinya. Bukan laki-laki super sempurna yang memiliki segalanya. Di balik sosoknya itu, dia lelaki yang sangat rapuh dan kesepian," jelas Humaira. Sorot matanya yang indah berubah menjadi sedih. Tangan Haniyatul di genggam erat.

"Aku sudah menganggapnya sama seperti adikku sendiri. Jadi, ku mohon pikirkan sekali lagi, Han, bertemanlah dengannya," lanjut Humaira.

Haniyatul bangkit dari pembaringannya. Secara paksa ia membuang pikiran tentang apa yang terjadi siang tadi. Bukan ia tidak penasaran dengan sosok Aydan yang sebenarnya. Tapi laki-laki itu terlalu dingin untuk di dekati apalagi untuk diajak bicara. Haniyatul juga tidak habis pikir bagaimana jalan pikiran Humaira. Mengapa harus dia yang diamanatkan untuk menengok-nengokkan Aydan. Padahal, gadis yang menyukai Aydan bukan hanya dirinya saja.

***

Suara ayam mulai berkokok menyambut pagi yang indah. Burung-burung berkicau di ranting pepohonan. Kemudian terbang tinggi ke langit.

Sinar matahari menerobos masuk di sela-sela jendela yang terbuka, Menyinari kamar yang berukuran sederhana. Diatas kasur terlihat Haniyatul sedang memeluk bantal tidurnya. Melamun panjang dan memikirkan banyak hal.

Doeng!

Lingkaran hitam dibawa matanya mulai terlihat. Tadi malam, ia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Ia terus-menerus memikirkan ucapan Humaira. Bahkan setelah shalat Tahajud ia tetap tidak bisa tidur dengan nyenyak.

"Han! Sudah bangun nak?" terdengar teriakan Aida dari luar kamar.

"Iya. Bu!" sahut Haniyatul seraya menuju kearah pintu dan berjalan ke dapur.

"Iya, bu. Ada apa?" tanya Haniyatul.

Aida yang saat itu sedang mengupas bawang seketika melirik kearah Haniyatul. "Tadi malam begadang ya?" Aida mulai menginterogasi anaknya.

"Tidak, bu, hanya tidak bisa tidur saja," jawab Haniyatul sambil mengambil posisi duduk di meja makan.

"Mikirin apa? Kok tidak bisa tidur?" tanya Aida. Ia masih juga mengupas bawang merah di meja dapurnya.

"Biasa, bu, masalah sekolah," jawab Haniyatul sekali lagi sembari mengambil satu kue donat yang terhidang di atas meja.

"Han, kamu ke pasar ya beli sayur, kamu sekolah siang bukan? jadi bisa ya bantu ibu ke pasar sebentar," jelas Aida. Ia menghentikan aktivitasnya mengupas bawang.

"Bisa dong, bu," ucap Haniyatul.

"Sebentar, ibu kasi daftar belanja ke kamu. Kamu tuh sering kelupaan kalau di suruh belanja ke pasar," omel Aida seraya menuju ke kamarnya. Sedangkan Haniyatul masih melahap kue donatnya.

Tidak sampai lima menit, Aida pun keluar dari kamarnya sembari memegang daftar belanja dan uang senilai Rp50.000.00-,

"Han, ini daftar barang-barang yang harus kamu beli ya nak dan ini uangnya, kalau sudah selesai belanja langsung pulang jangan keluyuran kemana-mana," pesan Aida. Setelah uang dan daftar belanja bertukar tangan, Aida pun kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda tadi.

"Iya, bu. Setelah beli barang-barang dapur Hani langsung pulang kok," sahut Haniyatul. Mengiyakan pesan sang ibu.

"Han mandi dulu ya, bu," ucap Haniyatul lagi. Sembari bergegas ke kamarnya untuk mengambil handuk dan menuju ke kamar mandi yang berada tidak jauh dari kamarnya.

***

Setelah pamit pada ibunya Haniyatul pun mengayuh sepeda santainya menuju ke pasar yang berada tidak jauh dari rumahnya. Hanya perlu melewati jalan setapak dan menyeberang jalan poros untuk tiba di pasar tersebut.

Begitu tiba di pasar, Haniyatul langsung memarkir sepedanya di tempat parkiran sepeda yang telah di sediakan. Sepedanya di kunci agar tidak ada maling yang mencurinya ketika sepeda itu di tinggal.

Tampak para penjual buah berada di kiri dan kanan Haniyatul. Berbagai jenis buah yang di jual. Ada Mangga, Semangka, Nenas, Manggis dan banyak lagi.

"Beli, bu! Ayo beli buah bu,"

Suara teriakan para penjual terdengar disana sini. Haniyatul melihat daftar barang-barang yang akan di belinya.

Sudah tentu tempat pertama yang akan Haniyatul kunjungi adalah penjual sayur. Tempat penjual sayur berada dekat dengan para penjual ikan dan hasil tangkapan laut. Jadi, kebanyakan gadis-gadis yang seusia dengan Haniyatul akan menghindari untuk mengunjungi kedua tempat itu karena lingkungannya yang busuk dengan berbagai jenis tangkapan laut dan juga kadang banyak lalat yang hinggap disana.

Haniyatul berjalan santai sembari celingak-celinguk melihat sekitarnya. Hari ini ia memakai rok payung berwarna cokelat dengan cardigan hitam yang dipadankan dengan jilbab hitam serta baju berwarna pink yang panjangnya sepaha.

"Tante, sayur sawi seikat berapa?" tanya Haniyatul pada seorang wanita berusia 50an.

"Seikat begini Rp2000.00-," jelas wanita itu sembari memasukkan satu kilo bawang merah ke kantong plastik.

"Saya beli dua ikat ya sayurnya, tante," ucap Haniyatul sekali lagi.

"Tante, tomatnya itu sekilo berapa?" kali ini Haniyatul kembali bertanya pada wanita tadi.

"Sekilo Rp5000.00-, tapi banyaknya cuma segini," jelas wanita itu lagi seraya menunjukkan banyaknya tomat jika hanya dibeli sekilo saja.

Hmm sedikit sekali, cuma empat buah tomat tapi harganya Rp5000.00-, batin Haniyatul. Tapi ia tidak pula melakukan tawar-menawar pada si penjual karena memang ia tidak tahu melakukan tawar-menawar.

"Jika begitu saya beli Rp10.000.00-, yaa tomatnya," ucap Haniyatul lagi.

Setelah membeli barang-barang yang ada di daftar belanja. Haniyatul pun berjalan ke tempat parkiran sepeda. Langit semakin cerah dan para ibu-ibu juga semakin banyak berdatangan ke pasar.

Begitu tiba di parkiran, Haniyatul pun meletakkan barang-barangnya kedalam bakul sepedanya. Keringat yang bercucuran dihapus kasar. Dengan ucapan Basmalah ia pun mengayuh sepeda santainya. Semilir angin menyapa wajahnya, jilbabnya tersimpul terkena embusan angin.

Hatinya terasa lebih tenang dari kemarin, setelah berbicara dengan Humaira kemarin. Haniyatul telah memikirkan banyak hal hingga tak bisa tidur malam. Akibatnya di bawa matanya sudah terdapat lingkaran hitam. Sekilas pandang sudah seperti mata panda saja.

Haniyatul melewati toko buku yang terletak di jalan poros. Tanpa sadar ternyata Zaim yang baru saja keluar dari toko buku, lelaki itu langsung bisa mengenal sosok Haniyatul yang lewat di hadapannya. Zaim tersenyum penuh makna. Ia bergegas menuju kearah mobilnya.

"Pak Gafur, liat cewek itu! Ikutin pak," perintah Zaim pada sopirnya.

Tanpa ba-bi-bu pak Gafur langsung mengikuti Haniyatul.

Mobil mewah berwarna hitam membunyikan klaksonnya ketika berada tepat di samping Haniyatul yang sedang mengendarai sepeda santai. Perlahan kaca jendela mobil tersebut terbuka menampakkan sosok Zaim yang sedang tersenyum lebar.

"Han, aku bantu ya bawa barang-barangnya!" teriak Zaim. Sementara Haniyatul pula membulatkan mulutnya. Tak percaya jika ia akan bertemu dengan lelaki itu lagi. Zaim seperti hantu bagi Haniyatul yang tidak hanya bisa ia temui di sekolah saja, tapi bahkan di luar sekolah juga.

"Han, aku bantu ya bawa barang-barangnya?" Zaim mengulangi ucapannya karena tidak mendapat respon dari Haniyatul.

"Tidak usah," tolak Haniyatul. Ia masih mengayuh sepeda santainya. Bahkan ia mempercepat kakinya mengayuh sepeda santai tersebut. Tapi apa kan daya kelajuan sepeda santai tersebut tidak sebanding dengan kelajuan mobil mewah Zaim.

Haniyatul membelokkan sepedanya masuk ke gang kecil. Sontak mobil Zaim pun berhenti. "Han! Hati-hati bawa sepeda, jangan ngebut. Kalau jatuh aku ketawain nanti!" teriak Zaim. Sementara kelibat Haniyatul semakin menjauh darinya.

Ini cewek kayak pembalap Rossi saja. Emang itu kaki tidak pegal bawa sepeda begitu. Seperti liat hantu dia, omel Zaim di dalam hati.

***

"Hosh! Hosh!

"Gila, gila tu anak, dimana-mana saja dia ada. Emang dia hantu ya, gentayangan kemana-mana," omel Haniyatul seraya duduk di tangga rumahnya. Percikan keringat membasahi dahinya bahkan sampai menitik hingga ke pipi. Haniyatul tercungap-cungap menghirup oksigen untuk memenuhi paru-parunya.

Karena ingin kabur dari Zaim ia mengambil rute yang jauh dari rumahnya.

***

Matahari semakin hangat seakan memamah kulit, karena sering menaiki sepeda di siang hari. Kulit Haniyatul hampir saja berubah warna menjadi kecokelatan. Untung saja dia rajin memakai Body Lotion Nevia untuk melindungi kulitnya dari paparan sinar matahari.

Kakinya terasa sakit karena setelah pulang dari pasar ia mengayuh sepedanya dengan laju untuk menghindari Zaim dari terus mengikutinya. Sungguh hari ini nasibnya malang sekali. Tadi malam ia tidak bisa tidur karena memikirkan ucapan Humaira tentang Aydan. Dan tadi pagi pula ia harus mengayuh sepeda santainya dengan laju hanya untuk melarikan diri dari Zaim. Entah mengapa akhir-akhir ini kedua laki-laki itu sering saja membuatnya susah.

Begitu tiba di sekolah, Haniyatul bergegas menuju ke parkiran sepeda. Meletakkan sepeda santainya di tempat yang teduh lalu menuju ke perpustakaan.

"Saya ingin mengembalikan ketiga novel ini," ucap Haniyatul pada seorang gadis. Masih gadis yang sama ia temui kemarin yaitu gadis manis berlesung pipi.

Gadis manis penjaga perpustakaan itu terkejut karena Haniyatul cepat sekali mengembalikan buku yang di pinjamnya.

"Bukunya habis dibaca semua kak?" tanya gadis manis itu.

Haniyatul tersenyum lebar sehingga menampakkan beberapa batang giginya. "Iya, sudah habis dibaca semuanya." Ucap Haniyatul. Sepanjang malam saat tidak bisa tidur Haniyatul membaca ketiga buku-buku tersebut dengan harapan agar ia bisa menghilangkan berbagai macam spekulasi yang ada di otaknya tentang Aydan. Ia masih memikirkan apakah sikap Aydan yang selama ini ia lihat bukanlah sikap laki-laki itu yang sebenarnya? Lantas seperti apa cowok itu? Dan kenapa Humaira bisa mengatakan bahwa cowok itu hanyalah laki-laki yang rapuh, padahal lelaki itu memiliki segalanya. Hingga akhirnya fajar menjelang dan Haniyatul masih tak bisa tidur karena itu ia bisa selesai membaca ketiga buku itu dengan cepatnya.

"Saya mau mengembalikan buku ini,"

Tiba-tiba saja novel Berjudul Ada Surga di Dekatmu karya Ust. Saiful Hadi El-Sutha diletakkan tepat di hadapan Haniyatul. Ia tahu benar pemilik suara itu, siapa lagi jika bukan Aydan.

Setelah menandatangani surat pengembalian buku. Haniyatul pun langsung bergegas ingin pergi. Canggung rasanya berlama-lama dengan laki-laki itu walaupun mereka tidak hanya berdua saja.

"Han," panggil Aydan ketika melihat Haniyatul bergegas ingin pergi.

Haniyatul menoleh. Melihat kearah Aydan yang baru saja memanggilnya.

"Apapun yang dikatakan Humaira padamu, aku hanya ingin kamu mengetahui satu hal, aku hanya menyukai Humaira," ucap Aydan seraya berlalu pergi.

Sigadis manis yang kebetulan juga ada di situ tercengang ketika mendengar kalimat yang di ucapkan oleh Aydan pada Haniyatul. Sementara Haniyatul pula terdiam membisu di tempatnya seakan tersambar petir disiang bolong.

Haniyatul melemparkan senyuman tipis buat gadis manis tersebut. Dan gadis itu juga melakukan hal yang sama.

"Ini dua orang ngebut ya baca novelnya tadi malam?" gumam gadis berlesung pipi itu ketika melihat Haniyatul sudah pergi. Gadis itu juga merasa aneh karena dibawa mata Haniyatul terdapat lingkaran hitam demikian juga dengan Aydan.

"Apa mereka tidak tidur?" gadis itu bermonolog sendiri seraya menuju ke rak buku. Tempat dimana ke empat buku-buku itu tersusun sebelumnya.

***

Ujian Akhir semester.

Terlihat Bu Qamariah menyampaikan pidato pada seluruh siswa karena hari ini adalah hari pertama ujian akhir semester.

"Selama di selenggarakan ujian akhir semester ini saya minta pada seluruh siswa untuk menjaga kesehatan, jangan tidur telat, dan makan dengan teratur," pesan Bu Qamariah di akhir pidatonya.

Setelah mengucapkan kata penutup dan membaca doa yang di pimpin oleh ustazd Faqir. Para siswa pun di minta masuk ke ruangan ujian yang telah di sediakan. Haniyatul dan Ainul tidak satu ruangan kali ini. Haniyatul di ruangan satu sedangkan Ainul di ruangan tiga. Ruangan satu berada di lantai atas, sedangkan ruangan tiga berada di lantai bawa.

Mulut setiap siswa terkomat-kamit menghapal materi untuk mapel ujian di jam pertama. Ada yang memeluk buku catatan di tangan bahkan ada yang sekali-kali memejamkan matanya seraya menghafal dan berjalan menuju ke ruangan masing-masing. Pagi yang indah dengan suasana yang mencekam. Setiap siswa sudah tentu membawa senjata mereka yaitu pulpen dan otak yang tentunya sudah dipaksa merekam tiap materi.

Haniyatul memasuki ruangannya seraya mencari namanya di setiap sudut meja. Ternyata ia di tempatkan di meja paling belakang. Setiap meja tersusun dengan rapi dan setiap peserta ujian duduk secara terpisah.

Jam dinding terus berdetak. Tidak ada suara yang terdengar, Tidak ada suara yang terdengar, hanya sesekali kicauan burung yang terkadang menyapa telinga saat kedua burung mulai bertengger di kaca jendela.

Haniyatul masih sibuk menulis dan melingkarkan beberapa jawaban untuk soal pilihan ganda dan essay. Semua soal ada lima puluh nomor, soal pilihan ganda tiga puluh nomor dan soal essay dua puluh nomor.

Bel sekolah berbunyi menandakan waktu untuk menjawab soal ujian telah selesai. Guru yang dipertanggung jawabkan untuk mengawas ruangan ujian mulai mengumpulkan kertas jawaban.

"Bu, aku belum selesai," ucap seorang siswa.

"Waktu sudah habis nak. Harus dikumpul sekarang," perintah sang guru. Tak peduli jika siswa itu memohon-mohon padanya karena setiap guru harus disiplin dengan waktu, demikian juga dengan siswa.

Semua siswa menghela napas panjang begitu keluar dari ruangan. Bahkan ada yang mengecek kembali jawaban mereka di buku-buku paket.

Haniyatul berjalan melewati koridor sekolah untuk menuju ke tangga. Di koridor sekolah sesekali Haniyatul melihat kebawa dengan puluhan bahkan ratusan siswa yang keluar dari ruangan masing-masing. Karena ujian mereka di selenggarakan di pagi hari maka sesi pagi dan sesi petang pun digabung menjadi satu. Di keramaian tersebut, Haniyatul sempat melihat sosok Aydan sedang berjalan menuju ke gerbang sekolah. Barangkali laki-laki itu tidak satu ruangan dengan Mukhlis dan Zaim.

Raut wajah Haniyatul terlihat sedih saat memandang punggung lelaki itu yang diam-diam ia kagumi. Ucapan Aydan beberapa hari lalu bahwa ia hanya menyukai Humaira masih segar di pikiran Haniyatul.

Ia tahu bahwa tidak mungkin lelaki itu akan menyukainya tapi tidak perlu lah Aydan mengatakan hal itu padanya karena itu hanya akan membuat hati Haniyatul semakin terluka.

***

Hari terakhir ujian semester.

Jam dinding berdetak laju. Dan matahari semakin meninggi di kaki langit. Wajah setiap siswa terlihat lesu. Tetapi, mereka masih juga menjawab lembaran soal yang terletak di depan mata. Setiap siswa sudah tidak sabar untuk cepat-cepat selesai mengerjakan soal ujian yang terakhir hari ini.

Bel sekolah berbunyi, setiap siswa serempak meletakkan pulpen mereka seraya menghela napas panjang. Bahkan ada yang sempat merenggangkan otot-otot mereka.

Guru yang mengawas ruangan ujian dengan sigap mengambil lembaran jawaban dari meja para siswa.

"Diam! Jangan ribut," perintah seorang guru wanita berkaca mata bulat.

"Jangan ada yang keluar dari ruangan sebelum saya memberikan arahan untuk keluar," ucap bu Aliza. Guru ini sememangnya terkenal sebagai guru yang galak di Madrasah Nurul Hidayah.

Para siswa terdiam sembari memperhatikan satu persatu lembaran jawaban mereka diambil oleh bu Aliza.

"Lega?" tanya bu Aliza setelah mengumpulkan semua kertas jawaban.

"Jangan lega dulu, kita tidak tahu siapa yang rangking, siapa yang bisa naik kelas dan tinggal kelas," lanjut bu Aliza seraya mempertegas kan kalimat terakhirnya.

Para siswa menelan saliva mereka. Tidak terkecuali dengan Haniyatul. Di kelasnya banyak siswa yang pintar-pintar jadi persaingan teramat lah sengit.

***

Para siswa berdesak-desakan keluar dari kelas. Sungguh, mereka tidak sabar untuk segera pulang ke rumah. Haniyatul memasukkan pulpen ke dalam tasnya seraya berjalan menuju kearah pintu.

"Assalamualaikum, Han," sapa Humaira.

Haniyatul mengangkat wajah. Ia beradu pandang dengan Humaira. Lama mereka diam membisu. Saling melemparkan tatapan yang penuh arti.

"Walaikumsalam," sahut Haniyatul.

"Han! Aku ka--" tiba-tiba saja Ainul datang ke ruangan Haniyatul tapi ucapannya terhenti. Ia melihat Haniyatul dan Humaira sedang berdiri berhadapan seolah ingin membicarakan sesuatu.

"Ainul, ada yang ingin aku bicarakan dengan Hani, kamu bisa ya tunggu dibawa sebentar?" Tanya Humaira sembari melemparkan senyuman manis buat Ainul.

"Hmm baik kak," lirih Ainul. Kemudian gadis itu pun berlalu pergi.

Ruangan ujian terlihat sepi. Tetapi, para siswa masih ada yang lalu-lalang di depan kelas. Ada sebagian siswa yang langsung pulang ke rumah. tetapi, tak sedikit pula yang masih berada di sekitar sekolah. Ada yang memulangkan buku yang di pinjam di perpustakaan dan ada pula yang mengisi formulir untuk mengambil kelas tambahan selama libur nanti.

"Han, kamu sudah memikirkan mengenai ucapan ku beberapa hari yang lalu?" tanya Humaira. Ia duduk berhadapan dengan Haniyatul dan sebuah meja kayu menjadi batas pemisah antara mereka.

"Sudah kak, aku bisa menengok-nengokkan Aydan selama kepergian kakak atau berteman dengannya. Tapi--" Haniyatul menggantungkan ucapannya. Ia menarik napas dalam-dalam kemudian di hembuskan perlahan.

"Tapi, untuk lebih dari sekadar teman aku tidak bisa, karena aku tahu. Dia hanya mencintai seorang gadis yaitu Humaira," lanjut Haniyatul. Ia mengulangi kembali kata-kata yang pernah Aydan ucapkan padanya beberapa hari yang lalu.

Humaira tersenyum getir. Ia tahu tindakannya untuk memaksakan Haniyatul menjalinkan hubungan yang lebih dari sekadar teman dengan Aydan adalah tindakan yang tidak benar sama sekali. Tapi, ia tidak mau jika Aydan akan merasa lebih terpuruk setelah kepergiannya nanti.

"Terima kasih, karena kamu mau menengok-nengokkan Aydan. Itu saja sudah membuat ku merasa sangat bersyukur. Terima kasih sekali lagi, Han," ucap Humaira. Air matanya hampir menitik. Ia menggenggam tangan Haniyatul dengan lembut seraya menatap mata gadis tersebut.

"Haniyatul... kekasihku sayang,"

Dari kejauhan sudah terdengar suara Zaim menyanyikan lagu Slam yang berjudul Rindiani. Tapi Zaim mengubah lirik lagunya menjadi nama Haniyatul. Sungguh, lelaki itu langsung menghancurkan suasana yang tadi terkesan damai dan harmonis.

"Haniyatul... kekasihku sayang,"

Ia menyanyi sekali lagi ketika kakinya sudah melangkah memasuki ke ruangan tempat Haniyatul berada. Sepertinya lama tidak melihat Haniyatul membuat Zaim menjadi tidak waras karena selama seminggu ia tidak berkesempatan untuk mengganggu gadis itu.

Emosi Haniyatul kian bergejolak, ia melihat para siswa yang lewat di depan kelas menyembunyikan senyuman mereka saat mendengar nama Haniyatul di jadikan lirik lagu. Sontak Haniyatul menggapai buku yang terletak di atas meja. Entah buku siapa itu ia tidak peduli yang penting saat ini ia harus memberi pelajaran buat Zaim.

Haniyatul mengayunkan tangannya siap untuk memukul bahu laki-laki itu, namun sayangnya Zaim menghindar sehingga Haniyatul hanya bisa memukul angin saja.

"Hampir," lirih Zaim. Matanya terbelalak. Andai saja pukulan Haniyatul mengenainya sudah di pastikan sakitnya luar biasa.

Emosi Haniyatul semakin memuncak karena sasarannya melesat.

Zaim lari keluar ruangan sambil tertawa terbahak-bahak. Sedangkan, Haniyatul pula mengatur langkah untuk mengejar lelaki itu.

Sejujurnya Haniyatul bisa saja mengabaikan Zaim ketika lelaki itu menjadikan namanya sebagai lirik lagu. Namun, saat ini hatinya sedang sedih. Tidak gampang untuk mengucapkan kata-kata yang berbeda dengan isi hatinya.

Haniyatul merasa seperti orang yang tidak berdaya dan gampang di permainkan. Tambahan lagi ketika ia mendengar secara langsung Aydan mengatakan bahwa lelaki itu hanya menyukai satu orang gadis saja yaitu Humaira, hatinya hancur berkeping-keping. Dan di saat ia sedang sedih. Dengan santainya Zaim datang membuat emosinya semakin bercampur aduk dan berantakan.

Bruuuk!

Wajah Zaim kejedot ke dinding. Sedangakan Haniyatul, napasnya sudah naik turun tidak teratur.

Tuk!

Buku tulis yang di pegang Haniyatul tadi jatuh tepat di kaki Zaim. Ternyata lemparan Haniyatul tepat pada sasaran sehingga membuat Zaim terdorong dan wajahnya kejedot ke dinding.

Semua mata terarah pada mereka berdua. Sepertinya sudah menjadi kebiasaan bagi kedua makhluk ini asal bertemu mereka pasti akan berkelahi bagaikan anjing dan kucing.

_____________tobe continue___________

1
Ai
mampir, Thor
Tetesan Embun: terima kasih 🥰🙏
total 1 replies
👑Queen of tears👑
bakal sad boy ini zaim 🥴
👑Queen of tears👑
aku bersama mu aydan,,sm² penasaran 🤣🤣🤣
👑Queen of tears👑
nyeeessss/Brokenheart/
👑Queen of tears👑
huhf,,,😤
👑Queen of tears👑
ehmmm🧐
👑Queen of tears👑
kannnn rumit cinta segi delapan itu🧐😎
👑Queen of tears👑
menyukai dalam diam itu sungguh menyiksa kantong
👑Queen of tears👑
temannya aydan,,,mmm cinta segi delapan ini🧐
👑Queen of tears👑
banting Hani🤣🤣
👑Queen of tears👑
nikotin mulai keluar🤣🙈
👑Queen of tears👑
no Hani
but Honey hehehe gak sayang juga sih tapi madu hahahahaha 🤣✌️
👑Queen of tears👑
dingin..dingin tapi peduli m kucing😍
mmm...jdi pengen dipeduliin 🙈
👑Queen of tears👑
hmmmm,,aku mulai menemukan radar disini🧐🧐😎
👑Queen of tears👑
cinta pada pandangan pertama,,dari merangkak naik kemata/Drool/
Rinjani Putri
hallo KK author ijin tinggalkan jejak bintang ya disini
Tetesan Embun: silakan kak, makasih🤗
total 1 replies
Floricia Li
ketat bgt aturannya 😭
Floricia Li
lucu bgt hani 😭😭
Floricia Li
heh ngapain ditarik 🤣🤣
Floricia Li
lucuu bgt masi ada kunang kunang
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!