Lastri selalu di injak harga dirinya oleh keluarga sang suami. Lastri yang hanya seorang wanita kampung selalu menurut apa kata suami dan para saudaranya serta ibu mertuanya.
Wanita yang selalu melayani keluarga itu sudah seperti pembantu bagi mereka, dan di cerai ketika sang suami menemukan penggantinya yang jauh berbeda dari Lastri.
Namun suatu hari Lastri merasa tidak tahan lagi dan akhir mulai berontak setelah ia bercerai dengan sang suami.
Bagaimana cara Lastri membalas mereka?
Yuk simak kisahnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7. Kompor
Bab 7. Kompor
POV Author
"Bu, Mas Hendra udah ngasi uang belum?" Tanya Nilam yang sudah rapi dan hendak pergi.
"Sudah kemarin."
"Nah, mana Bu? Uang ku sudah habis ini."
"Kamu ini soal duit cepet aja. Mas mu nanya kapan kamu selesai kuliah? Sudah 4 tahun tidak selesai-selesai. Apa kamu mau jadi penunggu kampus?!"
"Ih, Ibu! Hantu dong aku?! Sebentar lagi aku selesai Bu."
"Halah, kamu tiap di tanya jawabnya sama. Bentar lagi selesai, tapi kapan? Sebentarnya kamu itu sampai setahun pun tidak selesai-selesai."
"Udah deh Bu, mana sini?"
"Ck! Kamu ini tiap di nasehati selalu begitu. Sana di atas meja kamar Ibu!"
Nilam segera memasuki kamar ibunya. Lalu mengambil setumpuk uang disana. Dengan senyum mengembang, Nilam menghitung uang itu. Namun perlahan senyumnya memudar dan menjadi tercengang.
"Bu... Ibu!!"
Nilam berteriak memanggil ibunya. Ia tidak sabar ingin mendengar penjelasan kenapa sampai jatah bulanannya di potong sampai 1 juta.
"Apa sih kamu ini teriak-teriak?!"
Bu Ida menghampiri Nilam di depan pintu kamarnya yang sedang menjejerkan uang di genggaman tangannya.
"Apa tidak salah ini Mas Hendra memberikan jatahku?! Kok kurang?! Mana banyak lagi!"
"Jangan cerewet kamu! Hendra memotong uang jatahmu untuk membayar cicilan mobilnya. Uang bulanan Ibu juga di potong."
"Yang bener Bu? Duh, padahal aku mau minta tambahin sama Ibu. Terus gimana dong ini Bu? Kurang ini?!" Rengek Nilam.
"Enak saja kamu! Mau banyak uang, cepat selesaikan kuliahmu dan cepat bekerja!"
"Ck! Ibu!!"
Nilam berdecak sambil menghentakkan kakinya lalu berlalu pergi menaiki sepeda motornya.
"Jangan pulang malam kamu! Awas saja kamu!"
Ancam Bu Ida yang menyusul Nilam hingga ke teras rumah.
Nilam tidak menjawab dan berlalu pergi meninggal Ibunya yang mengomel.
Belum sempat Ibu Ida masuk ke rumah, Tatik dan ke dua anaknya yang kembar itu datang.
"Nenek!!"
Teriak mereka serempak memanggil neneknya.
Bu Ida tersenyum merekah menyambut kedatangan cucu-cucunya.
"Baru pulang sekolah ya?"
"Iya Nek. Nek Dion laper."
"Aduh, Nenek tidak masak hari ini, belum belanja!"
"Lastri sudah pulang Bu?" Tanya Tatik.
"Sudah dari tadi. Jam segini kan dia pasti jemput anaknya ke sekolah."
"Aku mau kerumah Lastri dulu Bu. Kali aja ada makanan untuk Dion dan Marla."
"Ya sudah sana!" Ujar Bu Ida.
Bu Ida lalu mengajak cucu-cucunya masuk ke dalam rumah. Sedangkan Tatik segera mengarahkan sepeda motornya menuju rumah Lastri yang tidak jauh dari rumah ibunya.
Sampai di rumah Tatik segera membuka pintu rumah dari kunci yang di simpan Hendra bersama dengan gantungan kunci motornya. Tanpa ragu Tatik segera mencari sesuatu yang bisa di makan anaknya. Sayangnya, setelah mencari kesana kemari, Tatik tidak menemukan apa-apa selain nasi yang ada di panci kecil. Bahkan beras pun tidak ada dalam wadahnya, hanya tersisa segenggam saja.
"Kok tidak ada sih? Masa dia belum belanja juga?! Padahal dia kan sudah di beri Hendra jatah bulanan!"
Tatik kesal berbicara sendiri. Ia pun hendak kembali kerumah Ibunya. Namun saat ia melintasi ruang tamu, ia tanpa sengaja melihat sebuah boneka berbie tergeletak begitu saja di atas kursi.
"Waah, si Lastri sudah mulai boros rupanya membelikan anaknya boneka sampai-sampai ia tidak membeli beras di rumah ini. Mau di kasih makan apa adik ku, Hendra?! Padahal sudah menerima uang bulanan. Lihat saja, akan aku adukan pada Ibu, biar tahu rasa dia! Lebih baik boneka ini untuk anakku Marla. Si Diah dekil itu tidak pantas memainkan mainan seperti ini!"
Tatik mengambil boneka itu, lalu menutup pintu rumah adiknya, dan mengucinya kembali. Kemudian ia pun menghidupkan sepeda motor dan kembali ke rumah ibunya.
Begitu tiba di rumah ibunya, Lastri pun muncul dari pertiga jalan di gang dan memasuki jalan rumahnya. Mereka berselisih jalan.
"Marla! Marla...!"
Tatik setengah berteriak memanggil anaknya, Marla.
"Iya Bu!"
Anak kecil itu berlari menghampiri ibunya.
"Nih lihat, Ibu bawa apa?!"
"Wah boneka cantik! Ala mau Bu!"
"Ini buat Marla."
Marla segera meraih boneka dari tangan ibunya. Anak kecil itu pun bersorak senang dan langsung memainkan boneka itu.
"Kamu beli boneka Tik?" Tanya Bu Ida menghampiri Tatik.
"Aku nemu itu di rumah Hendra Bu. Pantes saja uang belanja tidak pernah cukup, rupanya si Lastri itu membelikan anaknya mainan mahal seperti itu!"
"Dasar perempuan tidak tahu diri! Bukannya mengurus makan suami yang bener tapi ternyata uang belanja dia pergunakan buat beli mainan anaknya! Pantas saja Hendra sering makan disini!"
"Terus kamu tidak bawa makanan dari sana?!" Tanya Bu Ida yang melihat tidak ada kantong di tangan Tatik.
"Di rumahnya tidak ada apa-apa selain nasi. Dan itu pun tidak banyak. Aku heran, kemana uang belanja yang di kasih Hendra sampai tidak ada apa-apa disana. Jangan-jangan, diam-diam uang itu ia kirimkan ke kampung orang tuanya."
Tatik mulai berbicara asal untuk mengompori ibunya.
"Keterlaluan si Lastri! Lihat saja, nanti kalau dia datang kemari akan Ibu marahi habis-habisan!"
"Lagian Ibu kenapa sih, pertahankan menantu kayak dia? Aku tuh malu Bu, punya adik ipar dekil kayak dia! Tahunya hanya menyusahkan Hendra saja."
"Kamu mau ngurusin rumah Ibu?"
"Ya, tidak lah... Itu kan urusan pembantu Bu, bukan anak Ibu!"
"Nah itu kamu tidak mau. Biar saja dulu, Ibu masih butuh dia buat bersihin rumah Ibu. Tapi soal dia yang kirim uang ke orang tuanya di kampung, akan ibu tanyakan sama dia. Enak saja, Hendra sudah capek-capek kerja malah orang tuanya di kampung yang nikmati hasilnya!"
***
Sementara itu, di rumah Lastri.
Lastri dan anaknya sedang menikmati ayam krispy. Lastri membeli satu ayam dan berbagi makan dengan anaknya. Tentu saja karena ukuran ayam itu besar karena tepungnya sehingga membuat Diah yang masih kecil tidak mampu menghabiskannya seorang diri.
Lalu ia juga membeli sayur asem seharga 5 ribu yang sudah di bungkus per porsi dan bisa ia makan dua kali dengan suaminya.
"Ibu, kenyang." Ujar Diah.
Lastri melihat separuh ayam krispy milik Diah nyaris habis oleh anaknya.
"iya alhamdulillah. Ayo, cuci tangannya lagi."
"Habis ini Diah mau main boneka dari Ayah." Kata Diah dengan wajah senangnya.
"Iya boleh." Jawab Lastri sambil mengambil sisa makanan anaknya yang tidak habis.
Lastri pun menyantap makanannya siang itu. Ia sudah mengatur dapurnya untuk tidak masak dan membeli makanan seperlunyanya saja, pas-pas untuknya dan keluarganya. Saat Hendra pulang nanti, Lastri tinggal menggoreng telur untuk di makan suaminya.
"Bu... Boneka Diah dimana ya?" Tanya Diah setelah mencari kesana kemari namun tidak menemukannya.
Lastri segera mencuci tangannya setelah makan, lalu membantu Diah mencari bonekanya. Seingat Lastri tadi pagi sebelum berangkat ke sekolah, Diah sempat memainkan sebentar bonekanya, duduk di kursi rumah tamu. Lastri pun segera mencari di disana. Namun setelah mencari sampai ke kolong kursi, tetap saja boneka itu tidak ditemukan.
"Kok tidak ada ya?" Guman Lastri pada angin.
Bersambung...