NovelToon NovelToon
Bunian Cinta Yang Hilang

Bunian Cinta Yang Hilang

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Mata Batin
Popularitas:251
Nilai: 5
Nama Author: Ddie

Perjanjian Nenek Moyang 'Raga'' zaman dahulu telah membawa pemuda ' Koto Tuo ini ke alam dimensi ghaib. Ia ditakdirkan harus menikahi gadis turunan " alam roh, Bunian."

Apakah ia menerima pernikahan yang tidak lazim ini ? ataukah menolak ikatan leluhur yang akan membuat bala di keluarga besarnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ddie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Cerita subuh

Subuh di Desa Koto Tuo selalu datang pelan, seperti seseorang yang mengetuk pintu tanpa suara.Udara masih lembap sisa embun malam, dinginnya menempel di kulit sampai terasa ke tulang. Dari kejauhan, siluet bukit mengelilingi desa tampak seperti bayangan hitam baru bangun dari tidur panjang.

Belum ada suara manusia. Hanya gumam sungai kecil mengalir di antara bebatuan, perlahan membisikkan doa. Sesekali terdengar dedaunan bambu bergetar diterpa angin tipis—suara yang jernih karena tidak ada bising kendaraan, tidak ada hiruk pikuk pasar, hanya alam qbernapas sendirian.

Di beberapa halaman rumah panggung, asap tipis mulai muncul dari tungku kayu; warnanya biru pucat, melayang pelan sebelum hilang dibawa angin. Bau kayu basah yang terbakar bercampur dengan aroma tanah subuh—wanginya khas, membuka halaman pertama sebuah hari baru.

Seekor ayam jantan memecah keheningan kokok panjang dan menggema. Dari surau tua di ujung desa, azan subuh terdengar lembut, tidak terburu-buru, mengalun melarutkan seluruh desa dalam satu tarikan napas sama.

Di jalan setapak berbatu, embun masih menempel di rerumputan. Setiap langkah akan membuat tubuh gemetar dan jatuh perlahan.

Langit perlahan berubah—dari hitam pekat, menjadi biru tua, lalu remang keperakan. Ada momen singkat ketika dunia terasa berhenti: senyap, dingin, dan sangat damai, seolah Koto Tuo terlipat dalam selimut subuh yang hanya dimengerti oleh mereka yang bangun lebih dulu.

Ayah pulang dari surau. Langkahnya pelan, tapi sorot matanya lelah. Angku menyusul di belakang, menggulung sarung sambil mengibas-ngibaskan serbuk kayu dupa yang masih menempel di lengan bajunya.

Raga duduk di dapur, memandangi setangkai melati yang ia temukan di depan pintu. Tidak ada yang berubah dari wujud bunganya—hanya melati kecil biasa. Tapi entah mengapa, bunga itu terasa terlalu hidup. Terlalu segar. Seolah baru saja dipetik dari taman yang tidak pernah disentuh matahari.

Ayah berhenti begitu melihat bunga itu di atas meja.“Dari mana itu, Ga?” tanyanya alis terangkat.

Raga menelan ludah. “Di depan pintu, Yah Seseorang datang… malam tadi.”

Angku menunduk menatap bunga dengan , gerakan hati-hati. “Dia datang lagi,” gumamnya, seperti orang sedang bercakap dengan dirinya sendiri. “Lebih dekat kali ini.”

Ayah tersentak antara takut, marah, dan pasrah yang beradu dalam satu wajah.

“Kamu buka pintu?”

“Tidak.”

“Baik,” Ayah menghela napas. “Kalau kamu buka… entah apa yang terjadi.”

Ibu muncul dari kamar, terkejut mendengar nada suara Ayah yang tidak biasanya. Wajahnya pucat, rambutnya masih acak-acakan langsung melihat bunga melati menutup mulutnya dengan tangan seakan benda kecil itu adalah ular.

“Bujang…” katanya pelan. “Dia sudah sampai ke rumah kita.”

Raga merasakan tengkuknya dingin.

“Apa… maksud Ibu ‘sampai’?”

Ibu tidak menjawab duduk di kursi sudut dapur dan meremas ujung jariknya. Suaranya gemetar.“Ini bukan sekadar bunga. Ini tanda.”

Ayah menoleh cepat. “Jangan sebut itu di depan anak!”

Perempuan itu tertunduk.

Laki laki berwajah tampan itu menggenggam lututnya. " Raga cuma ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa dia datang malam tadi. Kenapa aku—”

“Karena ritual itu,” potong Ayah. “Karena kita memutus perjanjian itu, dia akan mencari jawabannya.”

“Dia?” Raga menegakkan tubuh. “Ayah kenal?”

Namun sebelum Ayah sempat menjawab, suara pintu belakang terbuka. Angku keluar menuju halaman dan memanggilnya pelan.

“Nak, ikut dulu. Ada yang perlu kamu lihat.”

Raga berdiri, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia mengikuti Angku ke luar. Udara pagi menusuk kulit, dingin seperti air sungai yang baru turun dari gunung.

Ketika sampai di teras belakang, Angku menunjuk ke tanah. Di sana—di atas tanah basah yang belum tersentuh matahari—terdapat jejak kaki kecil.

Bukan seperti kaki ayam atau binatang lain.

Bukan pula seperti kaki manusia dewasa.

Jejaknya rapi.

Rata.

Tidak ada lekukan jari.

Seolah seseorang yang sangat ringan menginjak tanah tanpa benar-benar menekan.

Jejak itu berhenti tepat di bawah jendela kamar Raga membuatnya terbelalak.

“A—apakah ini jejak perempuan itu Angku ?” Tubuhnya gemetar.

Angku tidak menjawab berjongkok menyentuh tanah di sekitar jejak. “Tanah ini baru dicangkul kemarin sore. Seharusnya… siapa pun yang lewat akan meninggalkan tanda yang lebih dalam.”Ia menelisik membaca sesuatu menurut ia pahami.

“Jejak seperti ini…” Angku menarik napas dalam. “Terakhir Angku lihat sewaktu pamanmu… sebelum beliau jatuh sakit.”

Raga mundur satu langkah. “Apa maksud Angku?”

Laki laki bersorban itu berdiri. “Kalau sebuah perjanjian tua diputus, maka satu pihak akan menagih. Bukan mengambil, bukan menggangu… hanya menagih penjelasan.”

“Dan penjelasan itu harus dari Raga ?”

“Karena kamulah satu satunya yang dipilih garis itu.”

Raga menutup wajahnya. “Raga tidak pernah memilih apa pun.”

“Itu yang membuatnya lebih berat,” sahut Angku lirih.

Ia terdiam sepi

\=\=\=\=

Sepanjang pagi, suasana rumah Raga seperti rumah orang berkabung. Ibu tidak banyak bicara. Ayah hanya duduk di kursi rotan, memandangi langit-langit seolah ingin mencari jawaban di sana.

Raga tidak makan, tidak minum. Pikirannya terseret kembali ke suara lembut di balik pintu semalam.

‘Kita belum selesai, Raga…’

Ia memejamkan mata, tapi suara itu tetap ada, seperti gema yang terus berputar.

Ketika matahari mulai naik, Ayah berdiri.

“Kita harus melapor pada Alim,” katanya. “Ini sudah melampaui kemampuan kita bertiga.”

Ibu langsung menatap Ayah penuh khawatir. “Kalau kita lapor… itu sama saja mengumumkan bahwa dia sudah sampai di rumah. Apa tidak membuat mereka datang lebih banyak?”

“Mereka?” Raga bertanya lirih.

Ayah tidak menjawab.

Angku menutup matanya.

Raga merasakan dunia di sekelilingnya semakin jauh dari kata normal.

“Jadi Raga benar-benar diikuti?”

Tidak ada yang menanggapi.

Dan itu jauh lebih menyakitkan daripada jawaban apa pun.

\=\=\=\=

Siang menjelang sore, hawa kampung mendadak berubah. Angin berhenti. Burung-burung yang biasanya ribut di pohon rambutan tidak tampak. Bahkan suara motor dari ujung kampung pun tidak terdengar.

Raga duduk di kamarnya, memandangi lubang kecil di jendela yang semalam menjadi tempat jejak kaki itu berhenti.

Tiba-tiba—bayangan putih samar melintas di batas pandangnya.

Tidak jelas wajahnya.

Tidak jelas wujudnya.

Seperti kain lembut yang terseret angin.

Tapi angin tidak sedang bertiup.

Raga mematung melangkah pelan menuju jendela. Tangannya terangkat, hendak menutup tirai—

Tapi....sesuatu muncul di balik kaca itu

samar, hampir tidak terlihat, seperti pantulan wajah perempuan muda, rambutnya panjang.

Tatapan lembut… namun kosong..Dia bukan arumi...

Raga terlonjak mundur. Dadanya sesak.

Lalu suara itu datang.

Bukan dari luar.

Bukan dari dalam.

Seolah dari titik antara keduanya.

“Raga… aku hanya ingin bicara…”

Ia berusaha berteriak, tapi suaranya tercekat di kerongkongan

“Kenapa kamu takut?”

Ia menggeleng. Air mata mengalir tanpa ia sadari.“Aku tidak akan menyakitimu.”

Cahaya sore masuk tipis melalui jendela, namun wajah itu perlahan menghilang, redup seperti embun yang tersapu panas.

Raga terduduk di lantai, tubuhnya bergetar.

Bibirnya pucat.Matanya memohon jawaban pada siapa pun—Ayah, Ibu, Angku, bahkan dirinya sendiri.

Tapi yang ia dapat hanyalah kenyataan sederhana tiba-tiba begitu menakutkan.

Ia tidak sendirian. Dan perempuan itu… belum pergi.

 

1
ayi🐣
semangat thor ayo lanjut/Awkward//Scream/
Ddie
Dapat kah cinta menyatu dalam wujud dimensi Roh ? Bagaimana dalam kehidupan sehari-hari? Novel ini mencoba mengangkat dimensi ' Bunian' jiwa yang tersimpan dalam batas nalar, '
Rakka
Hebat!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!