Arnests (32) dan Vanesa (29) adalah pasangan muda yang tinggal di sebuah klaster perumahan di Jakarta Selatan. Mereka dikenal sebagai pasangan yang solid dan adem ayem. Arnests, seorang manajer proyek dengan karir yang mapan, dan Vanesa, seorang desainer freelance yang ceria, sudah terbiasa dengan rutinitas manis pernikahan mereka: kopi pagi bersama, weekend di mall, dan obrolan santai di sofa. Rumah mereka adalah zona damai, tempat Arnests selalu pulang dengan senyum setelah penatnya macet Jakarta.
Kedamaian itu mulai bergetar seiring kedatangan si tetangga baru (25), tetangga baru mereka di rumah tepat sebelah. Vika adalah seorang wanita muda yang mandiri, enerjik, dan punya aura santai khas anak Jakarta. Awalnya, Vanesa yang paling cepat akrab. Vika sering mampir untuk meminjam bumbu dapur atau sekadar curhat ringan tentang susahnya mencari tukang di Jakarta. Vanesa melihat Vika sebagai partner ngobrol yang seru.
Namun, perlahan Vanesa mulai menyadari ada perubahan halus pada sua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Palu Hakim dan Garis Akhir di Kemeja Putih
Pagi di Ruang Pengadilan yang Dingin 🏛️
Bulan berganti setelah konfrontasi di hotel. Setelah bekerja dengan pengacara, mengumpulkan bukti video dan screenshot yang tak terbantahkan, hari penentuan tiba. Vanesa telah mengajukan gugatan cerai dengan alasan perselingkuhan (perzinaan) dan KDRT.
Pagi itu, di sebuah ruang sidang Pengadilan Agama, suasana terasa hening dan mencekam. Si Vanesa sedang memakai kemeja putih, simbol kesucian yang ia bawa ke pernikahan dan kini, ke perpisahan. Warna itu kontras dengan kehancuran batinnya.
Si Arnests juga sama, memakai kemeja putih. Kemeja itu tidak lagi melambangkan kesucian, melainkan kepura-puraan. Wajah Arnests terlihat lelah dan dipenuhi ketegangan. Ia tahu, ia tidak bisa lagi mengelak.
Di meja hakim, tumpukan berkas-berkas perceraian terlihat tebal, berisi semua bukti, laporan KDRT, dan kesaksian.
Mereka pada masuk ke pengadilan, didampingi oleh pengacara masing-masing. Di ruangan itu sudah ada tiga orang hakim dan di bagian belakang, ada saksi yang duduk tegang, siap memberikan kesaksian.
Arnests dan Vanesa duduk berhadapan. Mereka menghindari kontak mata.
Kesaksian yang Mematikan 🎤
Sidang dimulai. Setelah prosedur formal, fokus beralih pada pembuktian.
Majelis Hakim mulai meminta saksi. Di situ saksi mulai berbicara. Saksi yang paling menentukan adalah Fendi, didampingi oleh Amel.
Fendi, dengan suara yang tegas dan tanpa ampun, memaparkan kronologi perselingkuhan Arnests, mulai dari pertemuan di klaster, chat yang ia lihat, dan diakhiri dengan malam di Hotel Roda Emas. Ia menceritakan setiap detail, setiap screenshot, dan yang paling penting, ia menyajikan video yang ia rekam: video Arnests dan Clara berpelukan dan masuk ke kamar hotel.
Vanesa dan Arnests pada diam selama Fendi berbicara. Arnests menunduk, tidak berani mengangkat kepala. Suara Fendi yang penuh amarah dan kejujuran menggema di ruang sidang.
Hakim menerima bukti video KDRT (tamparan keras) yang direkam Vanesa sebelumnya (berdasarkan saran pengacara) dan bukti perzinaan di hotel. Bukti yang disajikan sangatlah kuat.
Kata-Kata Terakhir Vanesa 💬
Majelis Hakim memberikan kesempatan terakhir kepada Vanesa untuk berbicara sebelum putusan dibacakan.
Di situ si Vanesa angkat bicara. Ia menarik napas dalam-dalam, mengabaikan pengacaranya yang menyuruhnya diam. Ia menatap Arnests—tatapan terakhir seorang istri yang terluka.
"Yang Mulia Hakim," Vanesa memulai, suaranya terdengar stabil namun penuh kepedihan. "Saya tidak menuntut harta, saya tidak menuntut pembalasan. Saya hanya menuntut janji yang telah ia ingkari."
"Saya mencintai suami saya, dan saya mencoba menjadi istri yang baik selama delapan tahun. Tapi, suami saya, yang mulia, telah membunuh saya berkali-kali. Bukan hanya dengan perselingkuhan, tapi dengan tamparan di wajah saya dan kata-kata yang menghancurkan jiwa saya."
"Di depan kayu salib kami berjanji setia. Saya datang ke sini bukan karena saya membenci dia, tapi karena saya mencintai diri saya sendiri. Saya ingin keluar dari neraka yang dia ciptakan. Saya ingin suami saya sadar, bahwa karma itu nyata."
"Saya hanya ingin perpisahan ini, Yang Mulia. Saya ingin mengakhiri kepalsuan di antara dua atap."
Vanesa mengakhiri pidatonya dengan tangisan tertahan. Arnests hanya menatap lantai, bahunya berguncang.
Palu Hakim Berbunyi 🔔
Majelis Hakim berunding sebentar. Ketegangan di ruang sidang mencapai puncaknya. Semua menanti Palu Hakim.
Akhirnya, Ketua Majelis Hakim membaca putusan dengan suara yang berat dan jelas.
"Berdasarkan bukti-bukti yang telah diajukan, termasuk bukti rekaman video perzinaan dan KDRT, serta kesaksian para saksi, Majelis Hakim memutuskan untuk mengabulkan gugatan cerai yang diajukan oleh Penggugat (Vanesa) terhadap Tergugat (Arnests)."
Si Hakim meresmikan dia bercerai. Palu Hakim diketuk tiga kali, mengakhiri delapan tahun pernikahan Vanesa dan Arnests secara sah.
Mengenai anak-anak, karena Arnests memiliki catatan KDRT dan perzinaan, dan demi kestabilan psikologis anak, Majelis Hakim memutuskan untuk memisahkan keputusan hak asuh dari putusan cerai ini.
Vanesa dan Arnests cerai, nggak ada perjanjian anak sama siapa dalam putusan itu (hak asuh akan ditentukan dalam putusan terpisah atau secara de facto oleh pengadilan kepada Vanesa sebagai ibu, mengingat bukti KDRT).
Vanesa mendengar kata 'cerai'. Ia tidak merasa bahagia atau lega; ia hanya merasa kosong. Ia telah membayar harga yang mahal untuk kebebasan ini. Di seberang meja, Arnests tetap menunduk, kini secara resmi menjadi mantan suami.
Dengan kemeja putih yang sama, mereka memasuki gedung itu sebagai suami istri, dan mereka keluar sebagai orang asing yang terikat oleh sejarah yang menyakitkan.Tinta di Atas Kertas yang Memisahkan 🖋️
Setelah Palu Hakim diketuk, suasana di ruang pengadilan terasa seperti kuburan. Tidak ada perayaan, hanya rasa lelah yang amat sangat. Vanesa dan Arnests, didampingi pengacara, bergerak ke meja panitera untuk menyelesaikan formalitas terakhir.
Akhirnya, tanda tangan perceraian mereka resmi. Vanesa memegang pena, tangannya sedikit gemetar. Ia melihat namanya di samping nama Arnests untuk terakhir kalinya dalam dokumen hukum. Setiap goresan tinta adalah penegasan terhadap kehancuran janji yang pernah ia ucapkan.
Arnests menandatangani tanpa melihat, hanya ingin semua ini cepat berakhir. Ia tidak ingin berlama-lama di ruang itu, di bawah tatapan tajam Fendi dan Amel yang menunggu di luar.
Setelah semua dokumen diselesaikan, mereka pada bubar. Tidak ada ucapan perpisahan, tidak ada jabat tangan, bahkan tidak ada lirikan. Vanesa berjalan keluar didukung oleh sahabat-sahabatnya, sementara Arnests berjalan cepat, seorang diri, ke arah yang berlawanan.
Kepulangan ke Rumah yang Berubah Status 🏠
Matahari sudah meninggi saat mereka pada kembali lagi ke rumah masing-masing. Bagi Vanesa, 'rumah masing-masing' berarti ia kembali ke rumah yang dulunya adalah 'rumah kita', kini menjadi markasnya.
Vanesa diantar pulang oleh Amel dan Fendi. Mereka membiarkan Vanesa masuk lebih dulu. Namun, kejutan terjadi beberapa saat kemudian.
Hampir bersamaan, mobil Arnests memasuki garasi. Si Arnests ke rumahnya. Ia datang dengan wajah kaku dan niat yang jelas: mengambil barang-barangnya dan menghilang. Ia tidak peduli dengan Vanesa atau anak-anak saat itu; ia hanya ingin lepas dari memori dan bukti.
Vanesa berdiri di ruang tengah, membiarkan Arnests naik ke kamar utama yang kini resmi menjadi kamar Vanesa. Terdengar suara langkah kaki Arnests yang tergesa-gesa di lantai atas.
Arnests mengambil baju dia langsung menaruh ke koper baju ya dan barang ya dia. Ia tidak memilih, hanya memasukkan segala yang ia temukan—pakaian, beberapa dokumen penting, jam tangan, dan charger—ke dalam koper besar dengan gerakan yang cepat dan brutal. Ia tidak meninggalkan jejak, seolah-olah ingin menghapus keberadaannya di kamar itu.
Vanesa mendengarkan semua itu dari bawah. Ia tidak bergerak. Ia tidak naik. Ia hanya berdiri, mengamati koper besar itu diseret menuruni tangga. Itu adalah koper yang sama yang ia belikan saat mereka berbulan madu.
Pintu yang Menutup Kisah 🚪
Arnests menyeret koper dan tasnya ke pintu depan. Ia berhenti sejenak, di ambang pintu, melihat sekeliling ruang tamu—tempat mereka pernah tertawa, tempat anak-anak bermain, tempat ia membentak dan menampar Vanesa. Ia tidak melihat Vanesa, tetapi ia tahu Vanesa ada di sana.
Arnests tahu, tidak ada permintaan maaf yang cukup. Tidak ada ucapan selamat tinggal yang perlu.
Dia langsung pergi. Tanpa sepatah kata pun. Ia membuka pintu depan, menyeret kopernya ke mobil, dan masuk ke kursi pengemudi.
Vanesa menunggu sampai ia mendengar suara mesin mobil Arnests menghilang sepenuhnya. Hanya ada keheningan yang tersisa.
Vanesa pun di rumah itu. Ia berjalan pelan ke ambang pintu yang ditinggalkan terbuka, menatap keluar. Rumah itu terasa luas, kosong, dan sangat sunyi.
Tapi, kali ini, keheningan itu berbeda. Ini adalah keheningan yang bersih, tanpa kebohongan, tanpa ketakutan, tanpa tamparan.
Vanesa menutup pintu. Ia mengunci pintu itu.
Ia kini resmi bercerai, sendirian di rumah itu, tetapi ia tidak sendirian. Ia memiliki anak-anaknya, ia memiliki studio yang akan ia kembangkan, dan ia memiliki sahabat-sahabatnya. Kisah perselingkuhan di antara dua atap itu telah berakhir, dan Vanesa kini memiliki rumah yang utuh dan aman untuk ia bangun kembali dari awal.