Dipusingkan oleh pekerjaan, membuat Dakota Cynthia Higgins melampiaskan rasa lelah dengan bersenang-senang di club malam bersama teman. Dia yang sedang mabuk pun ditantang untuk menggoda seorang pria yang tak lain adalah Brennus Finlay Dominique.
Dalam kondisi terpengaruh alkohol, mabuk berat hingga kehilangan akal sehat, Dakota sungguh merayu Brennus hingga terjadi satu malam penuh tragedi. Padahal sebelumnya tak pernah melakukan hal segila itu dengan pria manapun.
Ketika sadar, Dakota benar-benar menyesal. Bukan akibat kehilangan mahkota yang selama ini dijaga, tapi karena pria itu adalah Brennus, salah satu keturunan Dominique. Di matanya, keluarga itu memiliki sifat menyebalkan.
Brennus berusaha untuk menerima segala konsekuensi atas apa yang terjadi malam itu, tapi ternyata Dakota tidak menginginkan hal serupa. Wanita itu sudah anti dengan keluarga Dominique.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NuKha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 7
Kebetulan kepala masih terasa pusing. Sisa-sisa mabuk semalam belum hilang sepenuhnya. Jadi, Dakota minum obat pereda pengar. Daripada bekerja tak maksimal.
“Sudahlah, aku tak peduli siapa pria yang semalam sudah tidur denganku. Toh di sini aku yang dirugikan, bukan dia.” Dakota memilih tidak perlu mengingat lagi kejadian semalam. Pekerjaannya sudah cukup berat dan memusingkan. Tidak mau bertambah beban hanya untuk mencari tahu siapa pria beruntung mendapatkan kesuciannya.
Dakota bukan tipe wanita yang menyelesaikan masalah dengan menikah. Belum tentu juga ia bahagia, bisa jadi hanya menambah beban. Sudah cukup semalam saja ia menggila. Mari tutup yang sudah lalu, kemudian lanjutkan kehidupan seperti biasa.
Berganti pakaian dengan rok span selutut dan blouse berwarna biru gelap. Dakota memilih tidak menggunakan celana karena pangkal paha masih terasa kurang nyaman.
Meski begitu, dia tetap berangkat kerja walau harus seperti pinguin. Dakota berdecak. “Akibat mabuk, sekarang jalan pun jadi susah.”
Sampai di depan apartemen, menengok ke jalan sekitar. Biasanya parkir mobil di sana. Tapi, tidak ada. Dakota menepuk jidat. “Pasti masih di club malam.”
Alkohol membuat kacau segalanya. Benar saat mabuk tidak memikirkan sedikit pun tentang pekerjaan dan bosnya yang gila dan belum juga mau pulang ke Helsinki sampai saat ini. Tapi, efeknya luar biasa. Kehilangan virginity, lalu mobil tertinggal juga.
“Memakan waktu lagi, aku jadi harus mengambil kendaraan dulu.” Menghembuskan napas kesal pada diri sendiri. Dakota mengeluarkan ponsel yang tadi main dimasukkan saja ke dalam tas, mau memesan taksi online.
“Astaga ... pagiku sial sekali,” umpat Dakota saat alat komunikasi genggamnya tidak nyala, mungkin kehabisan daya baterai.
Sudahlah, Dakota jalan sedikit ke halte. Untung dekat. Dia berdiri di trotoar sembari melambaikan tangan saat ada taksi lewat.
Paginya sangat berantakan. Seharusnya perjalanan menuju kantor hanya sepuluh menit, sekarang jadi tiga kali lipat. Untung bosnya ada di pedesaan menemani anak istri, jadi tak ada yang mengomeli dirinya kalau datang terlambat.
Tapi tetap saja, sampai di kantor pun Dakota dihadapkan dengan pekerjaan yang bertumpuk.
Baru juga duduk, telepon nirkabel di meja sudah bunyi. Dakota langsung mengangkat. “Ya?”
“Ada bingkisan untukmu, dititipkan meja resepsionis.”
“Dari?”
“Tidak ada nama pengirimnya, tapi papperbag dari brand ternama.”
“Isinya?”
“Parfum.”
Dakota menaikkan sebelah alis bingung. Tiba-tiba sekali ada orang memberikan barang padanya. “Bisa tolong bawakan ke atas? Badanku sakit sekali mau turun.”
“Oke.”
Sembari menunggu, Dakota mulai menghidupkan komputer. Tidak lupa charge ponsel juga karena sudah pasti ia butuh itu untuk menghubungi bosnya.
Tepat saat layar berhasil memperlihatkan tampilan desktop awal, orang dari resepsionis datang.
“Ini, tadi kurir yang mengantar. Jadi, saat ku tanya dari siapa juga dia tak tahu karena hanya diperintah.” Resepsionis meletakkan papperbag itu ke atas meja.
“Oh ... iya, tak masalah. Terima kasih.” Dakota penasaran isinya.
Mengeluarkan sebotol parfum, lalu ia coba semprotkan. Ketika menghirup baunya, bagai mengingatkan dengan kejadian semalam. “Seperti pernah mencium wangi ini.” Tapi kapan? Belum tahu pasti.
Rupanya ada catatan di dalam. Dakota mengeluarkan itu. Tulisan tangan sama persis seperti surat yang ditinggalkan di meja riasnya.
“Katanya kau suka wangi parfumku. Jadi, ku belikan ini untukmu sebelum berangkat ke Belanda. Maaf, bukan pengecut tidak berani mengantar sendiri, tapi waktuku tak ada. Jadi, tolong diterima sebagai permintaan maafku karena meninggalkanmu tadi pagi.”
Dakota menunduk dengan telapak kanan menahan kening. “Dari pria yang bercinta denganku. Siapa? Sial! Andai aku tahu orangnya, pasti sangat mudah untuk memintanya berhenti merasa bersalah. Lagi pula aku mabuk. Untuk apa juga memberiku parfum mahal begini.”