Anton selalu pulang dengan senyum hangat, perhatian yang tak berubah, dan alasan pekerjaan yang terdengar sangat wajar. Terlalu wajar, hingga Nayla tak pernah merasa perlu meragukannya.
Namun ketika satu demi satu kejanggalan kecil muncul, Nayla mulai dihadapkan pada kenyataan pahit. Pengkhianatan tak selalu datang dari sikap yang dingin, melainkan dari kehangatan yang dijaga dengan terlalu rapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caracaramel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Setelah itu, Nayla masuk ke kamar Dea untuk mencari buku tugas yang tadi diminta. Kamar itu penuh poster idola remaja, meja belajar yang sedikit berantakan, dan tumpukan novel. Wangi parfum remaja bercampur dengan aroma kertas buku yang familiar.
“Di mana kamu menaruh buku kimia, Nak?” gumam Nayla sambil membuka laci meja.
Ia menemukannya di bawah hoodie yang tergeletak sembarangan. Ia menghela napas sambil tersenyum. “Dasar Dea. Dibilang kerapihan itu bagian dari akhlak.”
Tiba-tiba ponselnya kembali berbunyi, tapi kali ini dari Anton.
Nayla mengangkat cepat. “Halo?”
“Sayang, kamu sudah sarapan?”
Nayla mencibir kecil. “Tentu. Aku bukan anak SMA yang harus diingatkan makan pagi.”
“Tetap aja aku mau tanya,” suara Anton lembut. “Tadi aku buru-buru jadi lupa perhatiin kamu makan atau nggak.”
“Itu tugas kamu setiap hari?”
“Ya tugas moral lah,” jawab Anton sambil tertawa pelan.
“Rapat kamu jam berapa?” tanya Nayla sambil duduk di tepi ranjang Dea.
“Jam sepuluh. Aku masih di jalan. Dea sudah turun tadi.”
“Iya, kalian pergi sambil ribut kecil.”
“Ha? Ribut gimana, Yang?”
“Dea ngeluh terus kalau Papa terlalu romantis.”
Anton tertawa keras kali ini. “Dia itu punya alergi lihat kita sayang-sayangan.”
“Nah itu.”
“Ya sudah. Kamu jangan banyak kerja hari ini. Istirahat juga.”
Nayla menggeleng walau Anton tak melihat. “Aku gak capek, Yang.”
“Tetap aja. Kalau capek bilang ya.”
“Iya, iya.”
“Oke, aku lanjut nyetir dulu. Love you.”
“Love you too.”
Panggilan berakhir. Nayla menatap layar ponsel beberapa detik, lalu tersenyum.
***
Siang menjelang, dan rumah menjadi lebih hening. Nayla buru-buru mandi, lalu menyiapkan teh untuk Rani yang sebentar lagi datang. Pada pukul dua lewat sedikit, bel rumah berbunyi.
Nayla membukakan pintu. “Masuk, Ran.”
Rani melangkah masuk sambil mengibaskan rambut. “Akhirnya bisa istirahat sejenak dari kantor.”
“Minum dulu.” Nayla menyodorkan teh. “Jangan bilang gosipmu tadi gak penting.”
“Nah itu.” Rani duduk, lalu menyandar dramatis. “Kamu tahu Bu Hellen? Istrinya Pak Jaya yang rumahnya di blok D?”
“Iya. Kenapa?”
“Dia barusan operasi plastik lagi.”
“Astaga, yang ke berapa?” tanya Nayla antusias.
“Yang kelima.”
Nayla hampir saja menganga kaget, “Serius?!”
Rani mengangguk sambil menggoyangkan alis. “Dan suaminya baru tahu seminggu lalu.”
Nayla menutup mulut. “Pasti ribut besar.”
“Ribut macam sinetron.”
Mereka tertawa keras. Disaat seperti ini, tidak ada yang bisa mengganggu dua perempuan itu. Mereka akan seperti itu, paling tidak seminggu dua kali.
“Aku bilang kan,” lanjut Rani, “lebih baik kayak kamu. Pagi harmonis, suami perhatian, anak manis. Nggak banyak drama.”
Nayla hanya tersenyum, memindahkan gelas teh. “Ya pelan-pelan saja. Hidup itu jangan ribut terus.”
“Enak ya kamu. Damai aja hidupnya.”
Nayla menunduk sedikit. “Syukur saja, Ran.”
Setelah itu, mereka mengganti topik pembicaraan. Banyak sekali yang mereka bahas, hingga Rani pulang setelah satu jam, dan Nayla kembali sendiri di rumahnya. Ia menghabiskan sisa hari dengan membaca novel sambil mendengarkan musik instrumental kesukaannya.
***
Langit sore memerah di balik jendela ruang keluarga ketika suara mobil memasuki halaman. Nayla menutup bukunya dan bangkit berdiri. Ia tahu itu Anton. Suara mesinnya sudah sangat familiar, seperti sinyal otomatis bahwa sore hari akhirnya lengkap.
Tak lama kemudian, pintu depan terbuka.
“Ma, aku pulang!” suara Dea menggema lebih dulu.
Nayla tersenyum, melangkah ke arah pintu. “Bagaimana sekolahnya?”
Dea melepas sepatunya, lalu menghampiri ibunya dengan wajah antusias. “Seru! Aku ketawa terus sama Vina. Tadi di kelas kimia, ada anak laki-laki yang…”
“...yang nyenggol alat pembakaran sampai meledak?” Anton muncul di belakang Dea sambil mengangkat alis.
Dea menoleh, terkejut. “Pa! Kok Papa tahu?”
Anton menepuk puncak kepala putrinya. “Papa tadi dengar kamu cerita di mobil. Kamu kayak radio berjalan, ngomong tanpa jeda.”
Dea manyun. “Papa! Ini rahasia dong.”
“Kalau begitu jangan cerita keras-keras,” jawab Anton sambil tersenyum.
Nayla memperhatikan keduanya dengan rasa hangat yang sulit dijelaskan. Anton lalu menoleh ke istrinya.
“Kamu sudah makan?”
“Belum. Aku tunggu kalian,” jawab Nayla.
Anton mengerutkan dahi kecil. “Kan Papa udah sering bilang, kalau Papa sama Dea belum pulang, jangan nunggu. Makan duluan aja.”
“Iya, tapi aku bukan nunggu. Aku cuma males makan sendiri.”
Anton tertawa kecil. “Ya sudah. Ayo makan bareng.”
Mereka duduk bertiga di meja makan. Di tengah meja ada sup ayam yang masih mengepul, tumis brokoli, dan sambal terasi buatan Nayla.
Dea mengambil sendok pertama. “Ma, sumpah ini sup-nya enak banget!”
“Kamu bilang itu setiap hari,” jawab Nayla.
“Ya karena tiap hari enak.”
Anton menyendok sup, meniup sedikit, lalu mencicipinya. “Kamu tahu nggak, Yang? Kalau restoran di pusat kota jual sup seenak ini, mereka bisa masang harga dua kali lipat.”
“Lebay,” Nayla menertawakan suaminya.
“Ini jujur. Kamu itu terlalu meremehkan kemampuan masakmu sendiri.”
“Kalau Mama buka restoran, Papa jadi pelanggannya?” Dea menggoda.
Anton menunjuk dirinya sendiri. “Papa bukan pelanggan. Papa investor utama.”
Dea tertawa keras. “Investor penuh cinta.”
“Ciee…” Nayla ikut menggoda.
Anton hanya menggeleng sambil menyuap makanannya. “Aku dihujat dua perempuan kuat.”
“Nggak ada yang menghujat,” Nayla meremas pelan tangan Anton di bawah meja. “Cuma sayang saja.”
Anton membalas genggaman itu. “Syukurlah.”
****
Setelah makan malam, Dea naik ke kamarnya untuk mengerjakan tugas. Langkahnya terdengar menapaki tangga, diselingi gumaman tentang persamaan kimia yang menurutnya “nggak manusiawi”.
Anton duduk di sofa ruang tamu sambil melepas dasinya.
“Hari ini capek?” tanya Nayla sambil duduk di sebelahnya.
“Lumayan.” Anton menyandarkan kepala ke sofa. “Tapi hilang begitu lihat kalian.”
“Capeknya begitu aja hilang?” Nayla menaikkan alis.
“Kamu tahu nggak, tiap pulang dan lihat kalian, rasanya seperti reset ulang. Semua tekanan rasa-rasanya ikut luruh.”
Nayla menatap wajah suaminya. Suara itu terdengar jujur. Bahkan terlalu jujur dan terlalu tenang untuk menyimpan rahasia.
“Kalau kamu terus sibuk begini, jangan lupa istirahat,” kata Nayla lembut. “Jangan sampai sakit.”
Anton menutup mata sebentar. “Aku hati-hati. Kamu jangan khawatir.”
“Sulit kalau pekerjaannya tambang.”
Anton tertawa pendek. “Iya. Tapi ada kamu dan Dea, itu cukup.”
Nayla bersandar di bahu suaminya. “Kamu sudah jemput Dea tadi, ini masih lanjut rapat lagi?”
“Iya. Setelah ini aku harus balik kantor.”
“Kamu pulang malam lagi?”
“Sepertinya.”
Nayla memandang suaminya, “Jangan lupa makan kalau lapar. Aku simpan supnya buat kamu.”
“Oke.” Anton membuka mata dan menatap istrinya. “Kamu sendiri gimana hari ini?”
“Rani datang sebentar. Selebihnya, ya biasa saja.”
Anton tersenyum. “Rani pasti banyak gosip.”
“Bukan gosip,” Nayla membela sahabatnya. “Informasi sosial.”
Anton tertawa lebih keras. “Istilahnya keren sekali.”
Nayla memukul pelan bahunya. “Dasar.”
Anton menangkap tangan istrinya, perlahan menariknya mendekat. “Aku serius. Kamu kelihatan bahagia hari ini.”
Nayla tersenyum tipis. “Karena semuanya lancar.”
“Dan karena aku pulang dengan selamat dari kemacetan Samarinda,” Anton menambahkan.
Nayla terkekeh. “Itu juga.”
“Dengar,” Anton menatap mata istrinya. “Kalau ada apa-apa atau kamu butuh sesuatu, bilang ya. Aku nggak mau kamu nahan sendiri.”
“Yang," Nayla meremas jari-jari suaminya. “Aku baik-baik saja. Kamu juga jangan mikir macam-macam.”
Anton mengangguk, lalu tersenyum hangat. “Oke.” katanya.
****