Dilarang plagiat, tambal sulam, atau sejenisnya. Jangan mengambil hak orang lain demi keuntungan sendiri. Ingat Azab.
~~~~~~
Neta adalah seorang wartawan majalah bisnis. Dia diminta mewawancarai seorang pengusaha yang bisnisnya sedang naik daun.
Dathan Fabrizio adalah pria yang harus diwawancarainya. Seorang pemilik perusahaan manufaktur yang menjual perabotan rumah tangga bernama IZIO. Toko IZIO sudah tersebar di seluruh dunia. Hal itu menjadi daya tarik kantor Neta untuk mengulik siapa dibalik suksesnya toko perabot rumah tangga terbesar itu.
Sayangnya, tidak semudah itu Neta bertemu dengan duda anak satu itu. Hingga akhirnya, dia membuat strategi menggunakan anak Dathan sebagai jembatan bertemu dengan pria itu.
Perjalanan wawancaranya mengantarkan Neta pada pesona sang duda. Namun, cinta tak seindah bayangan Neta. Perjuangan mendapatkan sang duda lebih berat dibanding mendapatkan wawancara dengan sang duda.
~~~
Instagram Myafa16
Jadwal update 18.00
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon myafa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kartu Nama
Di dalam mobil Neta memikirkan bagaimana caranya bicara dengan Dathan. Dia merasa tidak tepat jika dia langsung bertanya apakah Dathan pemilik IZIO. Dia merasa pertanyaan itu terlalu tidak sopan. Namun, dia tidak tahu kapan dia bisa bertemu lagi dengan Dathan.
“Aunty, lihat ada badut.” Loveta menarik gaun yang dipakai Neta sambil menunjuk ke arah jalanan di mana badut berada.
“Iya.” Neta ikut mengalihkan pandangan pada jalanan yang ditunjuk Loveta.
“Tidak.” Loveta menggeleng.
Dathan melihat anaknya dari kaca depan yang berada di atas dashboard. Saat melihat sang anak, dia justru disuguhkan dengan pemandangan paha Neta yang semakin naik. Dengan segera Dathan memutar kaca yang berada di atas dashboard.
Apa yang dilakukan Dathan menarik perhatian Reno-sang asisten. Dia pun berniat menoleh ke belakang. Melihat apa sebenarya yang terjadi.
“Lihat ke depan, Ren.” Dia memerintahkan sang asisten.
Seketika dia menegakkan tubuhnya. Merasa jika perintah sang atas begitu penuh penekanan. Tak mau dibantah sama sekali.
Dathan bersyukur karena Reno tidak menoleh. Sungguh Neta hadir untuk menguji imannya saja. Dia ingin segera mengusir Neta dari mobilnya. Karena Neta sudah seperti hantu yang mengerikan baginya.
“Rumah kamu di mana?” Dathan pun melayangkan pertanyaan itu tanpa menoleh sama sekali.
Neta mengalihkan pandangannya pada Dathan. “Saya di jalan tinggal di jalan flamingo.
“Daerah kota?” tanya Reno memastikan. Dia pun juga tidak menoleh sama sekali. Tetap menatap jalanan.
“Iya, Pak.” Neta mengangguk.
Reno pun segera melajukan kembali mobilnya. Menuju ke alamat yang diberitahu oleh Neta. Dia melihat jelas sang atasan yang tampak gusar. Benar-benar berbeda dari biasanya. Hal itu tentu saja membuat Reno tersenyum. Karena setelah sekian lama, akhirnya dia melihat sang atasan gugup ketika ada wanita.
Mobil sampai di depan kos-kosan Neta. Reno menepikan mobilnya. Dathan dan Reno melihat ke arah rumah. Mereka memerhatikan jika itu bukan rumah, tetapi merupakan kos-kosan. Tampak bangunan bertingkat empat. Terlihat jelas beberapa jendela menghadap keluar. Itu seolah memberikan pemandangan bagi penghuni kos-kosan.
“Terima kasih, Pak, sudah mengantarkan saya.” Neta dengan sopan menatap Dathan yang duduk di depan.
“Sama-sama. Aku ucapkan terima kasih sudah menolong anakku.” Dathan menjawab tanpa menoleh ke arah Neta.
Neta mengangguk. “Sama-sama, Pak. Maaf, Pak, jas yang tadi saya gunakan basah. Jadi saya akan mencucinya terlebih dahulu sebelum mengembalikan pada Anda. Sekalian gaun yang saya pakai ini. Saya akan kembalilan. Apa saya bisa meminta alamat Anda untuk mengembalikan jas tersebut?” Inilah yang dipikirkan Neta sedari tadi. Dia harus mengambil kesempatan untuk bertemu dengan Dathan lagi. Jadi dia memilih untuk mendapatkan alamat Dathan dengan alasan mengantarkan jas.
“Tidak perlu. Gaunnya untukmu. Berikan saja jasnya. Biar aku yang mencucinya sendiri.” Dathan meminta jasnya itu pada Neta. Tangannya diulurkannya ke belakang tanpa memutar tubuhnya.
Neta terkejut ketika gaunnya itu untuknya. Sungguh ini terlalu berlebihan. Gaun ini jelas buatan seorang desainer, dan tentu saja harganya mahal. Ini sebuah keberuntungan yang luar biasa. Bisa mendapatkan gaun mahal. Namun, jika ditukar dengan gaun mahal, dia lebih memilih wawancara saja. Karena itu menyangkut hidupnya ke depan.
“Kalau begitu jasnya saja saya cuci dulu. Kebetulan di sini ada jas pencucian jas. Jadi saya bisa mencucinya di sana.” Neta kali ini harus dapat kesempatan. Jadi dia menggunakan dengan baik hal itu.
Dathan mengembuskan napasnya. Semakin lama Neta di dalam mobil, semakin liar pikirannya. “Baiklah.” Akhirnya dia menyetujui apa yang dikatakan oleh Neta.
Neta berbinar. Dia senang sekali akhirnya bisa bertemu kembali dengan Dathan.
Dathan mengambil dompetnya. Kemudian mengeluarkan kartu namanya. “Datanglah ke kantorku untuk mengembalikan jas.” Dia memberikan kartu nama itu pada Neta.
Dengan segera Neta mengambil kartu nama itu. Dathan Fabrizio–CEO IZIO Grup. Ketika melihat nama Dathan dan jabatannya. Neta akhirnya menemukan satu hal penting. Orang yang ditemuinya itu adalah benar-benar orang yang dicarinya. Tanpa harus bertanya, Neta mendapatkan jawabannya. Tentu saja itu adalah keberuntungan luar biasa. Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
“Saya akan antarkan jas Anda, Pak.” Neta tersenyum. Kemudian dia beralih pada Loveta. “Da … Cinta. Sampai jumpa lagi.”
“Da … Aunty.” Loveta melambaikan tangan mungilnya.
“Saya permisi dulu, Pak.” Neta begitu senang sekali. Dia keluar dari mobil dengan wajah yang begitu sumringah. Benar-benar dia bahagia sekali hari ini.
Saat Neta sudah turun. Mobil pun segera melaju kembali. Neta yang melihat mobil melaju melambaikan tangannya. Dia begitu girang sekali langkahnya lancar jaya mendapatkan identitas Dathan. Ternyata dia lebih unggul dari teman-temannya. Di saat semua temannya tidak bisa menemui Dathan, dirinya dengan mudah menemuinya.
Neta melihat mobil yang berlalu pergi. Saat itu dia langsung mencium kartu nama yang diberikan oleh Dathan.
“Sempurna. Tinggal aku bertemu, lalu mengajaknya mengobrol, minta waktu wawancara. Emm … begitu indah hidup ini.” Dia berputar-putar karena begitu senang.
Namun, sejenak dia sadar jika baru saja berputar-putar seperti orang gila. Karena itu, dia segera masuk ke kos-kosannya. Tak mau sampai ada orang yang mengiranya benar-benar gila.
.
.
.
.
.