Raju Kim Gadis Korea keturunan Indonesia yang merasa dirinya perlu mencari tahu, mengapa Ayahnya menjadi seorang yang hilang dari ingatannya selama 20 tahun. dan alasan mengapa Ibunya tidak membenci Pria itu.
Saat akhirnya bertemu, Ayahnya justru memintanya menikah dengan mafia Dunia Abu-abu bernama Jang Ki Young Selama Dua tahun.
Setelah itu, dia akan mengetahui semua, termasuk siapa Ayahnya sebenarnya.
Jang Ki Young yang juga hanya menerima pernikahan sebagai salah satu dari kebiasaannya dalam mengambil wanita dari pihak musuh sebagai aset. Namun Bagaimana dengan Raju Kim, wanita itu bukan hanya aset dari musuh, tapi benar-benar harus ia jaga karena siapa Gadis itu yang berkaitan dengan Janjinya dengan Ayahnya yang telah lama tiada.
Akankah Takdir sengaja menyatukan mereka untuk menghancurkan atau Sebaliknya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oliviahae, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Antara Dua Bahaya
Hening sore di mansion Jang Ki Young selalu terdengar seperti ancaman yang ditelan angin. Udara di area itu masih hangat, namun dingin merayap pelan di sela-sela tembok granit yang menjulang.
Bagi Raju, dunia asing itu sama sekali berbeda dengan ruang kecil penuh perintah yang dulu menjadi hidupnya. Namun, rasa bahaya yang ia rasakan memiliki sensasi yang biasa saja.
Kini, ia berdiri tepat di luar pagar utama, tepat di titik di mana segalanya mulai salah.
Dan semua itu bermula dari satu senyum ramah.
---
“Annyeong, Kamu pasti Raju,” kata lelaki itu sebelumnya.
Tinggi, rautnya tenang, suaranya lembut namun ada sinis tersembunyi di dalamnya. Tidak tampak seperti musuh. Tidak tampak seperti siapa pun yang berniat buruk.
Dia banyak mengobrol dan bilang, bahwa posisi pentingnya membuatnya menjadi sosok lain yang dihormati disana. Setelah lama mengobrol, Raju Kim justru terbujuk kata-kata ramah yang dibungkus rapi dengan kecurigaan yang tidak tampak sama sekali.
“Gerbangnya terbuka untukmu,” katanya sambil menekan panel di dinding pagar. “Tidak apa-apa jalan-jalan sebentar. Angin sore di luar lebih enak daripada dikurung di dalam.”
Raju hanya menatapnya tanpa curiga, seperti biasa. Tidak terbiasa waspada, tidak terbiasa memikirkan tipu daya. Ia hanya ingin menghirup udara segar.
Ia tidak tahu bahwa lelaki ramah itu adalah Jang Woo-Jin, saudara Seayah Ki Young, pria yang sering disebut oleh para bodyguard sebagai “badai tersenyum”.
Jang Woo-Jin, pria itu sepertinya pernah muncul di hari pernikahannya, ya Pria dengan setelan yang sedikit berbeda. Pria itu mengamatinya dari jauh ketika Raju akhirnya melangkah ke luar pagar.
Wajahnya teduh, tapi matanya membaca setiap detail seperti detektif. Cara Raju tidak melihat kamera tersembunyi, tidak menimbang bahaya, tidak memperhatikan mobil asing di ujung jalan.
Gadis ini… bukan pemain ?.
Atau dia pemain paling berbahaya, kalau semua ini hanya topeng. Ki Young… apa yang sudah kau nikahi?
Woo Jin mengeluarkan ponsel, menghubungi seseorang.
“Hyung, kau yakin?” tanya suara di seberang.
Jang Woo Jin tersenyum tipis. “Ki Young harus menghadapi kenyataan. Aku hanya membuka pintu. Selebihnya, lihat siapa yang datang lebih dulu. Musuh atau adikku.”
---
Raju Kim keluar pagar, dia merasakan angin segar di luar mansion setelah berhari-hari hanya berkutat di dalam sana. Dan ya, rasanya memang lebih baik dari terkurung di dalam Mansion.
Raju berjalan sedikit lebih jauh, 2 penjaga tampak ingin mendekat tapi Jang Woo Jin melarang mereka. Tiba-tiba saja, mobil gelap tanpa plat resmi muncul dari tikungan. Dua pria turun, memakai jaket hitam tebal dengan saku penuh tonfa metalik.
“Targetnya ?”
“Ya. Ambil cepat, jangan buat ribut.”
Raju menegang. Baru saat itu ia sadar bahwa dunia Ki Young… berbahaya bukan hanya dari suaminya, tapi dari siapapun yang ingin menjatuhkan pria itu.
Ia mundur, namun salah satu dari pria itu sudah menarik lengannya. Napasnya tersengal, tubuhnya lemah, entah mengapa semua kekuatanya seolah dipaksa hilang, juga kesadarannya.
Ia sempat mencoba melawan dan menjerit pelan, Tepat saat tonfa nyaris menghantam bahunya. Lalu sebuah tangan lain mendarat lebih cepat.
“Lepas!!!.”
Suara itu tidak perlu diteriakkan. Dingin. Tajam. Seperti pisau yang sudah terbiasa memotong leher tanpa perlu emosi.
Jang Ki Young berdiri beberapa langkah di belakang mereka. Tidak ada anak buah. Tidak ada senjata api. Hanya dirinya dengan wajah yang tampak lebih marah daripada yang pernah Raju lihat.
Pria bertonfa itu tertawa. “Ah… Tuan Jang sendiri. Menjemput istrimu? Kau benar-benar...”
Ia tidak sempat menyelesaikan kalimat.
Ki Young menghantamkan siku ke rahangnya dalam satu gerakan cepat, mematahkan keseimbangan pria itu. Yang lainnya menyerang, namun Ki Young lebih dulu menarik kerahnya dan membantingnya ke kap mobil dengan suara keras. Dalam hitungan detik, keduanya sudah terkapar.
Raju mematung, pandangan nya sedikit memudar tapi dia masih bisa berdiri tegak.
Dia memaksa untuk sadar bukan karena kekerasan, tapi karena ekspresi Ki Young.
Tatapan yang ia kira datar dan malas, kini berisi kemarahan yang dipendam begitu dalam. Bukan marah karena musuh. Bukan marah karena diserang.
Marah… karena Raju berada di sini.
“Berapa kali aku bilang,” desisnya sambil menarik napas kasar, “jangan percaya siapa pun.”
Langkahnya keras ketika ia mendekat, mengunci pandangan Raju. Sorotnya tidak lembut, tapi bukan juga benci. Lebih seperti seseorang yang tidak mengerti kenapa ia peduli, dan itu membuatnya semakin marah.
“A-aku… hanya ingin udara…” gumam Raju.
Ki Young menatapnya lama, seperti mencari kebohongan di wajahnya. Tapi ia tidak menemukan apa pun.
Dan itulah yang membuatnya semakin gelisah.
“Sekretaris Oh!” teriak Ki Young tanpa menoleh.
Dari balik pagar, Oh Seung-Min berlari dengan wajah panik. “Tuan! Kami mendeteksi aktivitas musuh di sekitar perbatasan barat. Pintu gerbang… Pertama terbuka sendiri. Sistem mencatat akses internal.”
Ki Young memejamkan mata sesaat.Tentu saja itu berarti satu hal.
Jang Woo Jin.
“Sekretaris Oh,” katanya pelan, “Hyung saya sudah kembali, bukan?”
Oh Seung Min terdiam sepersekian detik. “Ya… Tuan. Beliau tiba pagi ini. Mengatakan ingin menyapa keluarga.”
Ki Young mendengus sinis. “Tentu saja.”
Ia meraih tangan Raju, tidak kasar, tapi dingin. Seolah ia memegang sesuatu yang rapuh namun berbahaya baginya. Ia menarik Raju kembali masuk melewati pagar.
“Kajja,” katanya pendek. “Kita bicara di dalam.”
Gerbang otomatis menutup, dunia luar kembali terkunci rapat seperti benteng yang siap perang.
---
Di dalam mansion, suasananya jauh berbeda. Cahaya lampu temaram, aroma antiseptik bercampur kayu manis dari diffuser di koridor. Suara langkah mereka menggema di lantai marmer.
Raju masih menunduk, tangan Ki Young masih menggenggamnya.
“Sebenarnya…” gumam Raju hati-hati, “pria yang membukakan gerbang itu…”
“Jang Woo Jin,” sahut Ki Young, melepas genggaman dan menyandarkan tubuh pada dinding. “Hyung saya. Dia tidak akan menyakitimu. Tapi dia akan mengujimu.”
Raju menatapnya, bingung. “Kenapa?”
“Karena baginya,” Ki Young menjawab datar, “satu istri yang salah bisa membunuh seluruh rumah ini. Termasuk aku.”
Raju terdiam.
Ki Young menatapnya lagi, tapi kali ini lebih lama dari sebelumnya. Ada gelisah samar di balik tegasnya. Sesuatu yang belum ia pahami… atau tidak mau ia pahami.
“Aku tidak suka,” gumam Ki Young pelan, hampir seperti kepada dirinya sendiri, “kalau kau menyentuh bahaya yang bukan berasal dariku.”
Raju tidak tahu harus menjawab apa.
Ki Young menghela napas panjang, lalu berdiri tegak.“Mulai sekarang,” katanya, “kau tidak boleh keluar tanpa izin langsung dariku.”
Itu bukan perintah posesif. Itu perintah seseorang yang sedang belajar peduli, meski ia sendiri menolaknya.
“Dan satu hal lagi.”
Raju mengangkat kepala.
“Jangan tersenyum pada siapapun di rumah ini,” lanjut Ki Young, matanya mengeras. “Terutama Hyung-ku.”
“Kenapa?”
Ki Young memalingkan wajah, seolah malu dengan jawabannya.
“Karena dia membaca orang terlalu cepat.”
Diam sebentar.
“Dan aku tidak mau dia membaca terlalu banyak tentangmu.”
---
Di luar ruangan, seseorang bersandar pada dinding tikungan, menonton percakapan itu dengan seringai tipis.
Jang Woo Jin.
“Menarik,” gumamnya. “Sangat… menarik.”
Ia memasukkan tangan ke saku. “Adikku benar-benar membawa pulang seseorang yang tidak biasa.”
Dan untuk pertama kalinya, Woo Jin merasa penasaran. Bukan pada bahayanya, tapi pada kenapa Ki Young terlihat… takut kehilangan seseorang yang bahkan tidak berniat apa-apa.
Bersambung...