Dia mendengar kalimat yang menghancurkan hatinya dari balik pintu:
"Dia cuma teman tidur, jangan dibawa serius."
Selama tiga tahun, Karmel Agata percaya cintanya pada Renzi Jayawardhana – bosnya yang jenius dan playboy – adalah kisah nyata. Sampai suatu hari, kebenaran pahit terungkap. Bukan sekadar dikhianati, dia ternyata hanya salah satu dari koleksi wanita Renzi.
Dengan kecerdasan dan dendam membara, Karmel merancang kepergian sempurna.
Tapi Renzi bukan pria yang rela kehilangan.
Ketika Karmel kembali sebagai wanita karir sukses di perusahaan rival, Renzi bersumpah merebutnya kembali. Dengan uang, kekuasaan, dan rahasia-rahasia kelam yang ia simpan, Renzi siap menghancurkan semua yang Karmel bangun.
Sebuah pertarungan mematikan dimulai.
Di papan catur bisnis dan hati, siapa yang akan menang? Mantan sekretaris yang cerdas dan penuh dendam, atau bos jenius yang tak kenal kata "tidak"?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6
Suara gemerincing gelas dan alunan musik orkestra lembut mengisi ballroom hotel bintang lima. Di balik keramaian para elit bisnis, Hartono Jayawardhana berdiri dengan tongkat klasiknya yang terbuat dari kayu mahoni berukir. Matanya yang tajam menangkap sosok familiar di seberang ruangan - Karmel Agata yang sedang berdiri sendirian dekat jendela besar, menatap gemerlap lampu kota.
Dengan langkah pelan namun penuh wibawa, pria 65 tahun itu mendekat. Tongkatnya berdetak lembut di lantai marmer, mengiringi setiap langkahnya.
"Karmel..." panggilnya, suaranya berat namun hangat.
Karmel berbalik. Wajahnya yang sempat tegang perlahan melunak melihat sang mantan bos. "Pak Hartono..." ujarnya, segera mendekat dengan sikap hormat. Gaun hitam panjangnya berkilau diterangi lampu kristal.
"Astaga, saya cari kamu kemana-mana," ucap Hartono, matanya memancarkan kerinduan yang tulus. Tangannya yang berurat menggenggam erat tongkatnya.
"Maaf pak. Saya..." suara Karmel pelan, penuh perasaan bersalah. Dia masih sangat menghormati pria tua ini yang selama ini memperlakukannya seperti anak sendiri.
"Apa Renzi yang bikin kamu keluar dari kantor?" tebak Hartono, matanya menyipit penuh kecurigaan.
Tiba-tiba, dari belakang mereka, suara yang tak asing lagi menyela. "Nggak mungkin dong, Pah. Renzi selalu kasih yang terbaik buat Karmel." Renzi berdiri dengan pose percaya diri, senyum tipisnya mencoba menutupi kegelisahan dalam hatinya.
Hartono berbalik, menatap anak sulungnya dengan pandangan tajam bagai elang. "Jadi bocah ini yang bikin kamu nggak nyaman lagi di kantor?" tegasnya, dan tanpa ba-bi-bu, tongkatnya mendarat dengan cukup keras di betis Renzi.
"Aauu..." keluh Renzi, wajahnya sempat meringis menahan sakit. Tapi dia cepat menguasai diri, kembali ke ekspresi cool-nya.
Karmel yang melihat adegan itu cepat-cepat menggeleng. "Nggak, Pak Hartono. Saya dan Pak Renzi baik-baik saja." Napasnya tertahan sebentar sebelum melanjutkan dengan kalimat yang penuh makna, "Saya keluar memang karena sedang jenuh dengan rutinitas saja. Saya ingin suasana baru."
Kalimat itu menggantung di udara, menusuk langsung ego Renzi. 'Nggak ada yang pernah berkata bosan sama aku!' gumamnya dalam hati, wajahnya tetap cool tapi matanya menyala-nyala.
Hartono memandangi Karmel dengan penuh perhatian, lalu mengeluarkan tawaran yang membuat siapapun akan tergoda. "Oke Karmel, kamu bisa pindah jadi sekretaris pribadi saya. Saya akan bayar 3 kali lipat gaji kamu yang sekarang. Atau terserah tulisa saja nominal yang kamu mau."
Tapi Karmel tetap pada pendiriannya. "Terima kasih, Pak Hartono. Tapi untuk saat ini saya ingin banyak mengerjakan hal baru." Penolakannya lembut tapi tegas.
Hartono menghela napas, lalu mengelus kepala Karmel dengan kasih sayang layaknya seorang ayah. "Kapan saja kamu mau kembali ke kantor. Saya akan dengan senang hati menerima kamu kembali, Mel."
Karmel mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca karena haru. "Terima kasih, Pak."
Dengan anggun, dia berbalik dan berjalan pergi. Tidak ada satu pun tatapan atau gesture terakhir yang diberikan kepada Renzi yang masih berdiri di samping ayahnya. Dia menghilang di antara kerumunan tamu, meninggalkan Renzi dengan perasaan terkoyak.
'Nikmati kebebasan kamu, Mel. Karena setelah ini aku pastiin kamu nggak akan bisa lepas lagi,' gumam Renzi dalam hati, matanya yang dingin mengikuti setiap langkah Karmel hingga tak terlihat lagi. Cengkeraman tangannya di pinggiran meja bar begitu kencang hingga kukunya memutih. Pertempuran baru saja dimulai.
***
Cahaya lampu meja tembaga menerpa sudut ruangan yang luas, menyoroti Renzi Jayawardhana yang tengah bersandar di kursi kulitnya yang mewah. Di antara jari-jarinya yang ramping, sebuah lipstik berwarna nude berputar-putar dengan gerakan ritmis. Itu adalah peninggalan Karmel, tertinggal di sela-sela laci mejanya berbulan-bulan yang lalu, dan dengan sengaja ia simpan.
Matanya yang tajam dan dingin menatap kosong ke arah sofa Chesterfield coklat tua di seberang ruangan. Sofa itu menjadi saksi bisu dari begitu banyak momen—awalnya hanya rapat kerja formal, yang perlahan berubah menjadi pertemuan intim penuh gairah. Ia bisa hampir membayangkan bayangan Karmel di sana, dengan blazer profesionalnya yang perlahan dilepas, senyum genitnya yang hanya ia tunjukkan padanya di ruangan ini. Setiap jahitan sofa seolah menyimpan kenangan tubuh Karmel yang lentik dan patuh di atasnya, erat dalam pelukannya.
Kau pikir bisa melupakanku begitu saja? bisik hatinya, sambil menatap lipstik itu. Aroma samar-samar masih tersisa, mengingatkannya pada wewangian khas Karmel yang dulu selalu membuatnya tergila-gila.
Dengan gerakan tiba-tiba yang memutuskan lamunannya, ia meraih ponselnya. Jarinya menekan kontak Fano dengan cepat. Begitu sambungan terjawab, suaranya langsung terdengar, datar namun penuh perintah.
"Cari tahu soal perusahaan Tomi Atmaja," perintahnya, tanpa basa-basi. "Pagi besok harus sudah ada di meja saya."
"Siap, Pak," balas Fano dari ujung telepon, suaranya terdengar sigap dan sedikit grogi.
Renzi menutup telepon tanpa kata-kata tambahan. Senyum tipis dan sinis mengembang di bibirnya. "Karmel... Karmel..." dengusnya pelan, sambil memutar-mutar lipstik itu. "Kamu pikir bisa lepas dari aku begitu aja."
Matanya kemudian beralih ke laci mejanya yang terkunci. Dengan sebuah kunci kecil, ia membukanya dan mengeluarkan selembar foto. Bukan foto selfie atau gambar mesra, melainkan sebuah hasil print-out foto USG. Gambar hitam-putih itu tampak samar, namun cukup jelas untuk mengenali bentuk janin kecil di dalamnya. Renzi menatapnya dengan pandangan yang dalam, penuh perhitungan.
"Gimana ya kalau ibu kamu tau soal ini," gumamnya pada foto itu, suaranya berbisik namun penuh ancaman terselubung. Sebuah senjata rahasia yang ia simpan untuk situasi terdesak.
---
Sinar matahari pagi menerobos melalui dinding kaca, menyinari tumpukan laporan yang sudah rapi terhampar di atas meja kerja Renzi. Tepat seperti yang diperintahkan, laporan lengkap tentang PT Bumi Atmaja Nickel beserta profil Tomi Atmaja telah menunggunya.
Dengan sikap tenang yang khas, Renzi mengambil laporan itu dan mulai membacanya. Matanya yang tajam bergerak cepat, menyerap setiap detail—latar belakang perusahaan, struktur kepemilikan, proyek-proyek yang sedang dijalankan, kondisi keuangan, hingga kelemahan-kelemahan tersembunyi. Otaknya yang jenius bekerja seperti prosesor canggih, menganalisis, memilah, dan menghubungkan setiap informasi.
Tidak butuh waktu lama baginya untuk menemukan celah. Sebuah proyek eksplorasi nikel di Sulawesi yang terhambat perizinannya, pinjaman bank yang hampir jatuh tempo, dan beberapa kontrak dengan pemasok yang mulai goyah. Senyum tipis dan puas kembali menghias bibirnya.
Jadi ini tempat kamu bersembunyi, Karmel, pikirnya dalam hati. Kamu pilih mendukung perusahaan kecil yang hampir bangkrut ini daripada kembali padaku?
Dia meletakkan laporan itu, kini dengan pandangan yang lebih fokus dan penuh tekad. Permainannya dengan Karmel belum berakhir—sebaliknya, babak baru saja dimulai. Dan Renzi, dengan segala kecerdikan dan sumber dayanya, yakin akan memenangkannya.