Firman (22) punya satu prinsip dalam hidupnya: "Jangan pernah berharap sama manusia, maka kamu tidak akan kecewa." Pengkhianatan di masa lalu mengubahnya menjadi jurnalis yang dingin dan skeptis terhadap komitmen. Baginya, cinta adalah variabel yang tidak rasional.
Di sebuah lapangan badminton di Samarinda, ia bertemu Yasmin (22). Seorang dokter muda yang lembut namun memiliki tembok yang sama tingginya dengan Firman. Yasmin adalah ahli dalam mengobati fisik, tapi ia sendiri gagal menyembuhkan luka akibat ditinggalkan tanpa penjelasan.
Mereka tidak menjanjikan selamanya. Mereka hanya sepakat untuk berada di "level" yang sama sebagai teman diskusi, teman batin, namun tanpa ikatan yang mencekik. Namun, ketika masa lalu mulai kembali menagih janji dan jarak antar kota (Bontang hingga Labuan Bajo) mulai menguji, mampukah mereka tetap di level yang aman? Ataukah mereka harus memilih: Berhenti sebelum terluka, atau berani hancur demi satu kesempatan bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8: CERMIN YANG SAMA
Kantor redaksi pagi ini terasa seperti medan perang yang dingin. Tidak ada ledakan, tapi tatapan mata rekan-rekan kerjanya terasa seperti peluru yang menembus punggung Firman. Di atas meja setiap wartawan, koran lokal saingan mereka Samarinda Ekspres terpampang dengan judul headline yang mencolok mata, seolah-olah tinta hitamnya sengaja dicampur dengan racun.
"DOKTER 'HANTU' DARI SURABAYA: MISTERI MASA LALU DI IGD RSUD KITA."
Firman meremas koran itu hingga hancur dalam genggamannya. Di dalamnya, ada kutipan-kutipan yang sangat spesifik, bahkan ada detail yang hanya ia diskusikan secara internal dalam rapat redaksi sebagai latar belakang riset. Seseorang telah membocorkan data risetnya kepada pihak luar. Seseorang telah menjual informasi itu demi menjatuhkannya, atau mungkin, demi menghancurkan Yasmin.
"Bagus sekali, Firman. Gara-gara lo terlalu 'dekat' dengan narasumber, kita kecolongan berita besar," suara berat itu datang dari Bagas, wartawan senior yang selalu bersaing dengan Firman untuk posisi redaktur pelaksana.
Firman berdiri, menatap Bagas dengan mata yang menyala. "Gue nggak pernah membocorkan data riset gue ke siapa pun, Gas. Dan lo tahu itu bukan gaya gue."
"Oh ya? Terus kenapa Samarinda Ekspres bisa punya data yang persis sama dengan folder di komputer lo? Apa jangan-jangan lo sengaja main dua kaki? Atau mungkin... lo terlalu sibuk pacaran sama dokter malpraktik itu sampai lupa cara mengunci folder?" Bagas menyeringai, sebuah seringai kemenangan yang membuat Firman ingin melayangkan pukulan ke wajahnya.
Firman menarik napas panjang, mencoba memanggil kembali sisi rasionalnya. "Gue akan cari tahu siapa yang melakukannya. Dan saat gue tahu, gue pastikan orang itu nggak akan punya tempat lagi di dunia pers Kalimantan."
Ia menyambar tasnya dan keluar dari kantor tanpa memedulikan teriakan editornya. Pikirannya hanya tertuju pada satu orang: Yasmin.
Rumah sakit tampak berbeda hari ini. Ada kerumunan kecil di depan gerbang, beberapa wartawan hiburan dan media sosial mulai berkumpul, mencium bau skandal yang segar. Firman memutar jalan, masuk melalui pintu belakang yang biasa digunakan untuk pengiriman logistik.
Ia menemukan Yasmin di taman kecil tempat mereka duduk kemarin. Tapi kali ini, Yasmin tidak memegang kopi. Ia duduk di bangku beton dengan tangan yang terlipat di atas pangkuan, menatap kosong ke arah deretan pohon pucuk merah yang bergoyang pelan. Jas putih dokternya sudah tidak ada. Ia hanya mengenakan kemeja biru muda yang tampak terlalu besar untuk tubuhnya yang kian hari tampak kian rapuh.
"Yas..." panggil Firman pelan.
Yasmin tidak menoleh. Ia hanya tersenyum tipis, sebuah senyum yang lebih menyedihkan daripada tangisan. "Ternyata benar ya, Mas. Samarinda nggak sejauh itu dari Surabaya. Hantu-hantu itu punya sayap yang sangat kuat."
Firman duduk di sampingnya. Kali ini, ia tidak lagi menjaga jarak tiga puluh sentimeter. Ia duduk cukup dekat hingga bahu mereka hampir bersentuhan. "Direktur bilang apa?"
"Saya dinonaktifkan sementara," jawab Yasmin datar. "Sampai investigasi internal dan tekanan publik mereda. Mereka bilang ini untuk kebaikan saya. Tapi kita tahu apa artinya, kan? Mereka cuma ingin menyelamatkan nama baik rumah sakit sebelum saya menjadi beban."
Yasmin akhirnya menoleh ke arah Firman. Matanya tampak sangat lelah, ada lingkaran hitam yang lebih dalam dari kemarin. "Mas... apa saya benar-benar pembawa sial? Setiap kali saya mencoba membangun hidup baru, semuanya hancur. Dulu di Surabaya, sekarang di sini. Mungkin saya memang nggak ditakdirkan untuk jadi dokter."
"Jangan bicara omong kosong," potong Firman tegas. "Kamu dokter yang hebat. Kamu menyelamatkan pasien kemarin di depan mata saya. Itu bukan kebetulan, Yas. Itu kompetensi."
"Tapi dunia nggak peduli dengan kompetensi, Mas. Dunia cuma peduli dengan rekam jejak yang bersih. Dan rekam jejak saya... sudah bernoda," air mata Yasmin akhirnya jatuh, menetes perlahan ke kemejanya.
Firman merasa hatinya dicubit. Ia selalu membenci air mata perempuan, tapi air mata Yasmin terasa berbeda. Ia tidak merasa risih, ia justru merasa ingin bertanggung jawab. Sebagai jurnalis, dia yang membawa berita ini ke permukaan meski secara tidak langsung dan sebagai teman, dia yang berjanji untuk menjaganya.
"Yasmin, lihat saya," Firman memutar tubuhnya agar sepenuhnya menghadap Yasmin. "Kita ini seperti cermin yang sama. Kamu melihat kegagalanmu di rumah sakit, saya melihat kegagalan saya di altar. Kita sama-sama merasa rusak. Tapi kamu tahu apa yang terjadi dengan cermin yang pecah?"
Yasmin menggeleng pelan.
"Pecahan cermin itu justru bisa lebih tajam dan bisa memantulkan cahaya dengan lebih banyak sudut daripada cermin yang utuh," ucap Firman, suaranya rendah namun penuh keyakinan. "Jangan biarkan mereka membuatmu merasa nggak berguna. Saya akan bereskan ini. Saya akan cari siapa yang membocorkan data ini dan siapa yang menggerakkan media untuk menyerangmu."
"Mas, jangan. Ini akan merusak karirmu di kantor. Kamu sudah ditekan oleh Bagas dan editor," Yasmin memegang lengan Firman, wajahnya penuh kekhawatiran.
"Karir bisa dibangun lagi, Yas. Tapi integritas? Sekali hilang, nggak akan pernah kembali. Dan membiarkan teman saya 'dihukum' karena sesuatu yang bukan sepenuhnya salahnya... itu bukan gaya jurnalisme saya," Firman membalas pegangan tangan Yasmin. Tangannya yang besar dan hangat menangkup tangan Yasmin yang kecil dan dingin.
Di saat itulah, Firman menyadari sesuatu. Selama setahun ini, ia hidup tanpa arah, hanya bekerja seperti mesin. Tapi sekarang, ia punya tujuan. Ia punya seseorang yang harus dilindungi. Dan perasaan itu perasaan memiliki misi membuatnya merasa lebih hidup daripada sebelumnya.
"Terima kasih, Firman... tapi kenapa kamu sejauh ini buat saya? Padahal kita cuma 'Teman Level'," bisik Yasmin.
Firman terdiam sejenak. Ia menatap mata Yasmin, mencari jawaban dalam dirinya sendiri. "Karena level kita sudah berubah, Yas. Mungkin saya belum berani bilang ini cinta, karena saya masih takut terluka. Tapi level kepedulian saya terhadap kamu sudah melampaui level kepedulian saya terhadap diri saya sendiri. Dan bagi saya, itu pokoknya."
Yasmin tertegun mendengarnya. Di tengah badai yang menghantam karirnya, kata-kata Firman terasa seperti rumah yang hangat.
Malam harinya, Firman kembali ke kantor saat suasana sudah sepi. Hanya ada petugas keamanan di depan. Ia menggunakan hak aksesnya sebagai jurnalis senior untuk masuk ke ruang server. Ia harus tahu siapa yang mengakses folder risetnya di hari berita itu bocor.
Sebagai anak jurnalis yang juga paham sedikit tentang IT, Firman melacak log aktivitas di komputer kantor. Jantungnya berdetak kencang saat ia melihat sebuah nama yang mengakses foldernya pada jam delapan malam, tiga hari yang lalu.
Bukan Bagas.
Melainkan... Rendy.
Firman mematung di depan monitor. Rendy? Sahabatnya sendiri? Orang yang memperkenalkannya pada Yasmin? Kenapa?
Ia segera mengambil ponselnya dan menelepon Rendy. Telepon diangkat di dering ketiga.
"Halo, Man? Tumben lo telepon malam-malam. Masih di kantor?" suara Rendy terdengar biasa saja, namun ada nada gugup yang tertangkap oleh insting Firman.
"Gue di ruang server, Ren. Gue baru saja melihat log aktivitas komputer gue," Firman bicara dengan suara yang sangat dingin, seperti es yang membeku.
Hening di seberang sana. Cukup lama hingga hanya terdengar suara napas Rendy yang berat.
"Kenapa, Ren? Lo yang ngenalin gue ke Yasmin, lo yang bilang dia orang baik. Kenapa lo khianatin dia? Dan kenapa lo jual data gue ke Samarinda Ekspres?" tanya Firman, amarahnya mulai meledak.
"Man... dengerin gue dulu. Gue nggak punya pilihan," suara Rendy terdengar serak. "Sarah... Sarah tahu rahasia keluarga gue. Dia mengancam bakal menghancurkan bisnis bokap gue kalau gue nggak bantu dia menjauhkan lo dari Yasmin. Dia gila, Man! Dia nggak mau lihat lo bahagia sama orang lain!"
"Jadi lo korbankan karir Yasmin? Lo korbankan persahabatan kita cuma buat Sarah?" Firman berteriak, suaranya menggema di ruangan kantor yang sunyi.
"Gue pikir mereka cuma bakal buat berita kecil, Man. Gue nggak tahu bakal sebesar ini sampai Yasmin dinonaktifkan! Gue minta maaf..."
"Maaf lo nggak ada harganya sekarang, Ren. Jangan pernah muncul di depan gue atau Yasmin lagi. Dan siap-siap saja, karena besok gue akan tulis berita tandingan yang akan membongkar semua konspirasi ini, termasuk keterlibatan lo dan Sarah," Firman mematikan telepon dengan kasar.
Ia terduduk di kursi kerja, menyandarkan kepalanya. Pengkhianatan Sarah sudah biasa ia rasakan, tapi pengkhianatan Rendy... itu adalah luka baru yang sangat dalam. Ia menyadari bahwa di dunia orang dewasa ini, tidak ada yang benar-benar aman.
Namun, di tengah rasa sakit itu, bayangan wajah Yasmin muncul. Yasmin yang tersenyum saat membagikan susu di panti asuhan. Yasmin yang tegas di IGD. Ia tidak boleh menyerah sekarang.
Ia mulai mengetik. Jemarinya menari di atas keyboard dengan kecepatan luar biasa. Kali ini, ia tidak sedang menulis artikel pesanan. Ia sedang menulis sebuah pembelaan, sebuah investigasi tentang bagaimana sebuah masa lalu dipolitisasi untuk menghancurkan masa depan seseorang.
Judul artikelnya: "Di Balik Skandal Dokter Yasmin: Ketika Masa Lalu Menjadi Senjata Pembunuhan Karakter."
Ia melampirkan bukti-bukti keberhasilan Yasmin di Samarinda, testimoni pasien yang selamat, dan secara halus menyindir tentang adanya persaingan tidak sehat di balik bocornya informasi tersebut.
Esok pagi, berita ini harus naik. Ia akan mempertaruhkan posisinya di kantor untuk memastikan Yasmin mendapatkan keadilannya.
Namun, saat ia hendak menekan tombol send ke bagian editor pusat, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dari nomor tidak dikenal.
[Unknown]: Berhenti menulis, Firman. Atau Yasmin nggak akan cuma kehilangan karirnya, tapi dia akan kehilangan haknya untuk tinggal di kota ini. Aku punya foto-foto kamu di pinter IGD kemarin. Jurnalis dilarang masuk ke sana saat tindakan medis. Kamu melanggar kode etik berat. Satu langkah lagi, dan kalian berdua hancur.
Firman menatap layar ponselnya. Sarah benar-benar sudah kehilangan akal sehatnya. Ia sekarang bermain kotor di level yang mematikan.
Ia menatap tombol send di layar monitornya. Jika ia menekannya, Yasmin mungkin selamat secara reputasi, tapi mereka berdua akan menghadapi tuntutan hukum dan etik yang berat. Jika ia berhenti, Yasmin akan hancur sendirian.
Firman memejamkan mata sejenak. Ia teringat ucapan Yasmin: "Mengakui kalau kita sedang tidak baik-baik saja adalah langkah pertama untuk benar-benar jadi rasional."
Ia meraih ponselnya dan menelepon Yasmin. "Yas... bangun. Saya butuh bantuan kamu. Kita harus melakukan sesuatu yang gila malam ini."
"Apa, Mas?" suara Yasmin terdengar parau karena baru bangun tidur.
"Kita akan menyerahkan diri, tapi dengan cara kita sendiri. Bersiaplah, saya jemput sepuluh menit lagi."
Malam itu, di bawah rintik hujan Samarinda yang tak kunjung usai, dua orang yang terluka itu memutuskan untuk berhenti berlari. Mereka akan menghadapi badai bersama-sama, bukan sebagai korban, tapi sebagai pejuang yang tidak lagi punya apa pun untuk disembunyikan.
Firman mengajak Yasmin untuk melakukan 'Live Streaming' di media sosial pribadinya yang memiliki pengikut ribuan sebuah langkah nekat yang melewati jalur media konvensional. Di sana, Yasmin akan menceritakan segalanya, tentang Surabaya, tentang trauma, dan tentang serangan yang ia terima sekarang. Namun, tepat saat siaran langsung dimulai, Sarah dan Andre muncul di lokasi mereka melakukan streaming. Sebuah konfrontasi fisik tak terhindarkan. Siapakah yang akan menang di mata publik? Dan apa rahasia terakhir yang akan dibongkar Yasmin yang justru membuat Sarah terdiam selamanya?