NovelToon NovelToon
Kala Rembulan Menyentuh Bhumi

Kala Rembulan Menyentuh Bhumi

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Keluarga / CEO
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Lacataya_

Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6 Dalam Sunyi yang Tak Selesai

Malam turun perlahan di atas kota Surabaya. Lampu-lampu jalan memantul di aspal basah, hujan tipis yang turun sejak sore membuat udara malam terasa lembut dan dingin. Di salah satu sudut kota, apartemen Bulan tampak tenang — jendela besar terbuka sedikit, membiarkan angin malam masuk membawa aroma hujan dan suara samar kendaraan dari kejauhan.

Bulan duduk di tepi ranjang, masih mengenakan piyama satin abu muda. Laptop terbuka di meja, layar menampilkan draft laporan kerja sama hari ini, tapi pikirannya jauh dari semua angka dan kata-kata di depannya.

Tangannya menopang dagu, pandangannya kosong menatap hujan di luar jendela. Tetes air jatuh perlahan, menyusuri kaca seperti garis waktu yang berjalan diam.

Dan di sela-sela kesunyian itu — wajah Bhumi Jayendra muncul di pikirannya lagi. Tatapan matanya yang tenang, cara dia menyebut namanya dengan nada rendah dan penuh jeda, senyum samar yang nyaris tidak terlihat tapi cukup untuk membuat jantungnya terasa tidak tenang.

Bulan menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir bayangan itu.

“Kenapa, sih…” gumamnya pelan, hampir seperti mengomeli diri sendiri.

“Tadi cuma rapat biasa. Cuma makan siang. Cuma… kerja.”

Tapi suara hatinya dengan jujur menolak kalimat itu. Karena tidak ada yang biasa dari tatapan itu. Tatapan yang terasa hangat tapi penuh kontrol, halus tapi menembus batas yang seharusnya tidak dilewati antara dua orang yang baru saling mengenal.

Ia memejamkan mata, menunduk, dan tersenyum getir. “Kayak orang bodoh,” ujarnya lirih.

Lalu menatap lagi keluar jendela — membiarkan pikirannya kembali hanyut.

Di kaca, pantulan dirinya terlihat samar, berpadu dengan cahaya lampu kota. Wajah yang sama yang tadi siang berusaha terlihat profesional, kini tampak lembut, rapuh, dan… jujur.

**

Sementara itu, di gedung tinggi milik Arjuno Group, lantai 30 yang nyaris seluruhnya gelap kecuali satu ruangan. Lampu meja menyala lembut, menyorot tumpukan berkas, cangkir kopi setengah kosong, dan sosok pria yang masih duduk di kursi kerjanya — Bhumi.

Kemejanya sudah dilonggarkan, dasi dilepas dan diletakkan sembarangan di atas meja. Tangannya memegang pena, tapi lembaran laporan di depannya tidak bergerak sedikit pun. Ia hanya menatap kosong ke depan, pandangannya tertuju ke jendela besar yang memantulkan cahaya hujan malam.

Di balik kaca itu, bayangan samar wajah Bulan muncul dalam pikirannya —

senyum sopan saat menyambutnya, cara ia menjelaskan sistem dengan suara yang stabil dan lembut, dan bagaimana cahaya sore tadi jatuh di rambutnya, membuatnya terlihat seperti sesuatu yang seharusnya tidak mudah dilupakan.

Bhumi menghela napas pelan, meletakkan pena. Tangannya menyentuh permukaan meja, mengetuk pelan — kebiasaannya setiap kali pikirannya penuh tapi tak tahu apa yang sebenarnya ia pikirkan.

Ia mengingat momen singkat saat berjabat tangan tadi siang. Genggamannya ringan, tapi hangat.

Dan entah kenapa, genggaman itu meninggalkan kesan seperti…

sebuah jeda yang membuatnya sadar betapa sunyinya ruangan setelahnya.

Bhumi menyandarkan tubuh ke kursi, menatap langit malam di luar sana. Surabaya berkilau dalam lampu hujan — tapi di balik semua kesibukan dan gedung, malam terasa hampa.

“Rembulan Adreyna…” gumamnya pelan, seolah mencoba memahami arti nama itu.

Nama itu menempel di pikirannya seperti lagu yang tak bisa ia hentikan. Setiap kali ia mengucapkannya dalam hati, ada sesuatu yang terasa lembut, asing, tapi… menenangkan.

Ia tersenyum tipis tanpa sadar, lalu menggeleng perlahan. “Baru juga satu kali rapat,” bisiknya pelan. “Apa yang lo pikirin, Bhumi?” Suara tawanya kecil, hambar tapi jujur.

Lalu ia diam lagi.

**

Kembali ke apartemen Bulan, jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Liora sudah lebih dulu tertidur di kamar sebelah — gadis itu langsung tertidur begitu selesai membersihkan dirinya. Bulan masih di ruang tengah, kini bersandar di sofa sambil memeluk bantal kecil. Hujan di luar makin deras, dan setiap kilatan cahaya dari jalan membuat ruangan berpendar lembut.

Ia membuka ponselnya, menatap layar kosong sejenak. Ada dorongan aneh untuk membuka profil perusahaan Arjuno Group — sekadar ingin tahu siapa sebenarnya pria itu. Tapi sebelum jemarinya bergerak, ia menahan diri.

“Jangan, Bul. Jangan mulai aneh,” katanya pada diri sendiri, senyum kecil muncul di bibirnya.

Tapi kemudian, seperti refleks, pikirannya mengulang satu adegan kecil dari siang tadi — Bhumi menatapnya dalam diam, dan entah kenapa… dunia terasa lebih pelan saat itu.

Bulan menghela napas panjang, matanya kembali ke arah hujan di luar. Hujan masih turun, lembut tapi konstan. Dan di antara suara tetes air yang beradu di kaca, hatinya terasa sedikit lebih berisik dari biasanya.

**

Di ruangan Bhumi, jam juga sudah menunjukan sebelas malam. Marvin sudah pulang sejak tadi, Arsen pun meninggalkan kantor dengan pesan singkat di meja: “Jangan lupa makan malam, Pak.”

Tapi Bhumi masih di sana, menatap layar komputer tanpa membaca apa pun. Ia mengambil ponselnya, membuka kalender kerja, dan tanpa sadar menatap jadwal rapat minggu depan:

“Follow-up meeting with PT Global Teknologi – Rembulan Adreyna.”

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Bhumi menyandarkan kepala di kursi dengan ekspresi nyaris seperti senyum — sebuah tanda kecil bahwa sesuatu dalam dirinya mulai berubah arah,

perlahan, tanpa izin, tanpa rencana.

Di luar, hujan berhenti. Dan cahaya bulan samar-samar menembus awan, jatuh di jendela kaca ruangannya — seolah menandai sesuatu yang baru saja dimulai tanpa kata-kata.

*

Lift berhenti dengan bunyi lembut di lantai paling atas — angka tiga puluh satu menyala di panel digital. Pintu terbuka ke koridor luas berkarpet abu gelap, tapi tak ada pintu kamar lain selain satu pintu besar di ujung — pintu menuju penthouse milik Bhumi Jayendra.

Begitu ia masuk, aroma khas ruangan itu langsung menyambutnya: campuran wangi kayu cendana, linen bersih, dan sedikit aroma melati yang menguar dari diffuser di pojok ruang tamu. Interior penthouse itu begitu minimalis tapi menenangkan. Dinding kaca setinggi langit-langit memperlihatkan panorama Surabaya di malam hari — lampu kota berkelap-kelip di bawah, seperti lautan bintang terbalik.

Bhumi meletakkan jasnya di sandaran sofa, membuka kancing kemeja satu per satu. Jam sudah menunjukkan hampir pukul setengah duabelas malam. Ia berjalan ke arah kamar mandi, membiarkan lampu remang dari ruang utama menyorot punggungnya yang tegap, lalu hilang di balik pintu.

Air pancuran terdengar jatuh lembut. Uap hangat mulai memenuhi ruangan, menciptakan kabut tipis di cermin besar. Bhumi memejamkan mata di bawah siraman air, membiarkan semua sisa tegang dari rapat tadi siang mengalir turun bersamaan dengan air.

Namun, di antara setiap detik sunyi itu…

ada satu bayangan yang tak mau ikut hilang — senyum lembut seorang perempuan dengan mata yang menatap tenang, seolah dunia bisa melambat di hadapannya.

Ia mengembuskan napas panjang, menyandarkan dahi pada dinding marmer dingin.

“Rembulan …” Nama itu keluar lagi seperti hembusan udara — lembut, tapi nyata.

Beberapa menit kemudian, Bhumi keluar dengan handuk melilit di pinggang. Uap hangat masih mengepul di belakangnya. Ia berjalan pelan menuju ruang tidur utama — ruangan luas dengan pencahayaan lembut dan tempat tidur king size berlapis seprai putih bersih.

Di sisi meja kecil, ada jam kayu, lampu tidur berwarna kuning muda, dan satu pot kecil berisi tanaman hijau. Hanya sedikit hal di ruangan ini, tapi semuanya tertata dengan ketenangan khas Bhumi yang rapi, terukur, tapi sunyi.

Ia mengenakan kaus hitam polos dan celana panjang santai, lalu duduk di tepi ranjang sambil mengusap rambutnya dengan handuk. Dari tempatnya duduk, jendela besar di samping tempat tidur menampilkan pemandangan langit malam.

Sebagian tirai tersingkap, membiarkan cahaya bulan sabit jatuh lembut ke lantai marmer. Cahaya itu halus, nyaris perak, menyapu sisi wajahnya yang tenang. Untuk pertama kalinya hari itu, Bhumi benar-benar diam — tidak memikirkan laporan, tidak memikirkan bisnis, hanya menatap keluar.

Ia menghela napas panjang, lalu, tanpa sadar, senyum kecil muncul di sudut bibirnya.

“Selamat malam, Rembulan…” ucapnya pelan.

Suara itu nyaris seperti doa — tidak keras, tapi penuh ketulusan yang sederhana.

Ia menatap cahaya bulan yang tergantung di atas sana, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang tidak bisa dikirim lewat kata.

Lalu perlahan, ia bangkit, mematikan lampu kamar, dan berbaring di tempat tidur yang sepi tapi terasa sedikit lebih hangat malam ini. Di luar, bulan sabit masih menggantung — diam, lembut, tapi bersinar cukup terang untuk membuat malam terasa tidak sepenuhnya sunyi.

**

Cahaya matahari menembus tirai krem apartemen itu dengan lembut. Burung-burung terdengar dari kejauhan, dan aroma kopi baru saja memenuhi udara — wangi pahit yang bercampur dengan aroma roti panggang dari dapur kecil di sudut ruangan.

Rembulan Adreyna berjalan pelan ke dapur, rambutnya yang masih sedikit berantakan terurai longgar di bahu. Ia baru saja bangun, masih mengenakan piyama satin abu muda, dan wajahnya setengah kantuk.

Di meja dapur, Liora sudah duduk rapi sejak entah jam berapa. Kemeja putihnya sudah disetrika licin, rambut Italian bob-nya terlihat terlalu sempurna untuk ukuran jam tujuh pagi. Di depannya, laptop terbuka dan secangkir cappuccino masih mengepulkan uap.

“Pagi,” sapa Bulan lembut sambil menuang kopi hitam ke cangkir.

Liora menoleh cepat, senyum lebarnya langsung muncul. “Akhirnya Lo bangun juga. Gue kira lo ambruk gara-gara stres pindahan.”

Bulan mengangkat alis, meneguk kopinya. “Gue gak ambruk. Cuma capek.”

“Capek mikirin laporan atau capek mikirin gimana caranya kita adaptasi di kota baru?”

“Dua-duanya.” Bulan menjawab datar, tapi nada suaranya tenang, dan Liora tahu — itu bukan nada jengkel. Itu nada perempuan yang butuh keheningan pagi untuk menyusun ritmenya sendiri.

Liora tertawa kecil, lalu memotong roti panggang. “Lo harus mulai kebiasaan sarapan pagi, Bul. Gue gak mau lo tumbang pas meeting pertama di kantor baru.”

“Gue makan kok, tenang aja,” jawab Bulan sambil mengambil satu potong roti. “Lagipula gue udah janji sama Lintang buat makan siang bareng dia nanti.”

“Oh ya, adik lo kuliah hari ini?”

“Iya. Kelas pertama jam sembilan. Anak itu semangat banget.”

Liora tersenyum hangat. “Keliatan banget dari caranya ngabarin semalem. Sumpah, Lintang tuh kayak versi kecil lo tapi pake mode full energy bar.”

Bulan tersenyum kecil. “Makanya kadang gue mikir, itu energi dari mana datangnya.”

“Dari cinta,” kata Liora sambil pura-pura serius. “Cinta terhadap hidup. Lo harus niru tuh.”

Bulan menatapnya sekilas, lalu memutar bola mata. “Jangan mulai ngomong yang aneh-aneh pagi-pagi, Li.”

“Apa? Gue cuma pengen kita bahagia di kota baru ini.”

“Bahagia boleh, asal gak lebay.”

“Kalau lebay tapi bahagia gimana?”

“Ya udah, terserah lo.”

Percakapan mereka mengalir seperti biasa — ringan, akrab, penuh kehangatan dua orang yang sudah terbiasa saling mengisi kekosongan hidup satu sama lain.

Namun di sela-sela tawa kecil itu, Bulan diam sejenak. Ia menatap ke arah jendela besar apartemen — matahari pagi mulai naik, memantulkan warna keemasan di kaca gedung seberang. Entah kenapa, dadanya terasa hangat. Ada sesuatu yang tak bisa ia beri nama… tapi terasa manis.

Sebuah rasa yang muncul begitu saja, tanpa perlu alasan.

**

Sementara itu, di tempat berbeda, pagi di penthouse Bhumi Jayendra berjalan dengan ritme yang nyaris terlalu rapi. Pintu geser otomatis terbuka menuju ruang tamu besar dengan dinding kaca yang masih dipenuhi sisa embun. Langit Surabaya bersih pagi ini, menyisakan warna biru pucat setelah hujan semalam.

Bhumi berdiri di depan jendela, mengenakan kemeja putih kasual dan celana bahan abu tua. Cangkir kopi hitam ada di tangan kanannya, sedangkan tangan kiri diselipkan di saku celana.

Ia menatap keluar — pemandangan kota yang ramai, tapi pikirannya diam di satu tempat yang sama sejak semalam:

“Selamat malam, Rembulan.”

Kata itu masih bergema di kepalanya, sama seperti bayangan lembut wajah perempuan itu di seberang meja makan siang kemarin.

Kemudian Suara pintu terdengar terbuka lembut. Arsen Pramudya, sekretaris pribadinya, masuk dengan tablet di tangan.

“Selamat pagi, Pak Bhumi,” ucapnya sopan tapi santai. “Maaf ganggu, tapi laporan pagi sudah siap. Saya juga bawa daftar klien yang ingin meeting minggu depan.”

Bhumi mengangguk kecil, suaranya rendah. “Taruh di meja.”

Arsen menaruh tablet itu di atas meja kerja dekat jendela, lalu menatap bosnya sebentar.

“Pak, boleh saya tanya sesuatu?”

Bhumi menoleh sedikit. “Apa?”

“Biasanya Bapak langsung buka laporan. Ini udah tiga menit, dan Bapak belum gerak dari situ.”

Bhumi menghela napas pelan, meneguk kopinya.

“Lagi mikir,” jawabnya singkat.

“Mikir proyek?”

“Mikir… sesuatu.”

Arsen menaikkan alis, senyum tipis terbit di wajahnya. “Atau seseorang Pak?”

Bhumi menatapnya datar. “Sejak kapan sekretaris saya belajar membaca pikiran?”

“Sejak kemarin, waktu lihat Bapak ngeliatin satu nama di jadwal rapat lebih dari dua menit.”

Arsen menunjuk ke tablet yang menampilkan jadwal digital. Tulisan di layar jelas:

“Follow-up Meeting – PT Global Teknologi (Rembulan Adreyna)”

Bhumi menatapnya sejenak, tapi tidak menjawab. Hanya senyum kecil yang nyaris tak terlihat muncul di sudut bibirnya.

Arsen bersedekap, setengah menggoda. “Nama yang indah, ya, Pak?”

Bhumi menatap kopi di tangannya.

“Indah,” ujarnya pelan. “Dan rumit.”

“Rumit kenapa?”

“Karena saya gak tahu kenapa bisa terus keingat.”

Arsen terdiam sejenak, lalu terkekeh pelan. “Pak, kalau itu terjadi, itu bukan bug. Itu fitur.”

Bhumi menatapnya datar, tapi senyum tipis masih tertahan di wajahnya.

“Turunin volume humormu, Sen.”

“Siap, Pak. Tapi kalau nanti ada meeting mendadak sama PT Global Teknologi, jangan kaget kalau saya yang handle.”

Ucapannya itu berhasil membuat Bhumi menatap horror kearahnya. Seakan akan wajahnya berbicara ‘Jangan macam macam Sen,’

Melihat hal itu Arsen hanya bisa tersenyum samar menatap bosnya itu. “Baik Pak, next saya akan langsung info kebapak, biar khusus bapak yang handle Kerjasama dengan PT Global Teknologi”

Beberapa menit kemudian, Arsen pamit keluar, meninggalkan Bhumi sendirian lagi di ruangan luas itu. Ia menatap tablet di meja, jarinya berhenti tepat di nama Rembulan Adreyna. Dan untuk pertama kalinya sejak lama, pagi yang biasanya terasa hening dan dingin, kini terasa sedikit… hangat.

Bhumi menatap keluar jendela lagi, pada matahari yang mulai naik. Cahaya keemasan jatuh di wajahnya, dan ia bergumam pelan, seolah hanya kepada dirinya sendiri:

“Selamat pagi… Rembulan.”

**

Matahari Surabaya pagi itu cerah, memantulkan cahaya keemasan ke gedung-gedung kaca di kawasan bisnis barat kota. Salah satu gedung itu — Arkana Tower — kini jadi rumah baru bagi PT Global Teknologi Cabang Surabaya.

Kantor mereka menempati satu gedung dengan lima lantai. Kesemuanya dengan desain interior yang modern dan segar. Begitu pintu lift terbuka di lantai lima, suasananya langsung terasa berbeda: nuansa putih dan biru tua mendominasi, dipadu dengan tanaman hijau di setiap sudut ruangan. Lantai dari kayu oak muda memantulkan cahaya lembut dari jendela besar yang menghadap ke langit kota. Di lantai enam ini ruangan Liora dan Bulan berada ditambah ada ruangan meeting khusus tamu eksekutif, sedangkan dari lantai dasar itu ada reseptionis dan ruang meeting tamu divisi marketing, lantai dua khusus untuk divisi marketing dan ruang meeting internal divisi marketing, lantai tiga khusus untuk divisi programmer dan system sedangkan lantai empat special untuk divisi keuangan, divisi HRGA dan divisi legal.

Di lantai dua dan tiga, ada area kerja terbuka dengan deretan meja putih minimalis, kursi ergonomis, dan layar monitor berbaris rapi. Beberapa karyawan baru sudah duduk di tempatnya masing-masing, sibuk menyambungkan laptop atau mengatur peralatan kerja. Suara printer, keyboard, dan tawa kecil bersahutan, menciptakan harmoni yang menandakan satu hal:

kantor ini resmi hidup. Di sisi kiri lantai dua, terdapat ruang meeting kaca dengan logo Global Teknologi yang terpampang di dindingnya — huruf “G” besar berwarna biru metalik dengan slogan kecil di bawahnya:

"Empowering Future Connections."

Di tengah semua kesibukan itu, Bulan berdiri dengan clipboard di tangan, menatap ke sekeliling dengan mata hangat. Ia memeriksa satu per satu ruangan: ruang tim kreatif, ruang server, ruang pantry, hingga lounge area yang berisi sofa abu-abu dan mesin kopi otomatis.

“Semua udah kelihatan bagus,” katanya pelan sambil menulis sesuatu di catatannya.

“Tinggal tunggu instalasi fiber tambahan sama data backup server selesai sore ini.”

Dari arah pantry, terdengar suara yang terlalu familiar — nyaring, semangat, dan seolah sudah minum tiga gelas espresso sebelum jam delapan.

“Kak Bulaannn! Nih aku bawain sarapan!”

Lintang muncul sambil mengangkat kantong kertas besar dengan logo toko roti terkenal di Surabaya.

Rambutnya dikuncir setengah, wajahnya cerah banget, dan gaya berpakaian kasual kampusnya kontras sama suasana kantor.

“Anak ITS mampir nganter energi buat kakaknya yang sibuk banget,” katanya sambil melangkah ke arah Bulan.

Bulan menoleh, senyum lembutnya langsung muncul. “Lintang, ngapain kamu ke sini pagi-pagi banget? Katanya pas jam makan siang kamu kesininya?”

“Ngantor bareng! Eh—bukan, maksudnya... mampir bentar sebelum ke kampus.”

“Terus bawa ini semua?” Bulan menatap kantong yang isinya kayak logistik tiga orang.

“Biar kakak gak kelaperan,” jawab Lintang santai. “Ada croissant isi keju, sandwich telur, sama kopi susu dingin favorit kakak.”

Dari belakang, suara Liora muncul sambil berjalan dengan high heels-nya yang khas.

“Kalau kopi susu favorit Bulan, berarti kopi Americano-nya buat gue, kan?”

Lintang langsung mengangkat alis tinggi. “Heh, tante. Ini khusus buat yang suka manis.”

“Eh, siapa tante!” protes Liora. “Gue masih 28 dan single berkualitas!”

“Justru itu, tante.”

Suasana langsung meledak tawa. Beberapa karyawan yang lagi lewat cuma bisa senyum bingung ngeliat interaksi penuh energi pagi-pagi itu.

Setelah beberapa menit heboh, mereka akhirnya duduk di lounge area kecil dekat jendela. Lintang sibuk membagi roti ke semua orang.

“Kamu tau gak, Kak Bul,” katanya sambil membuka satu kotak sandwich. “Gedung ini tuh trending di TikTok. Banyak yang bilang estetik banget.”

Liora menatap ke sekeliling sambil menyandarkan tubuh di sofa. “Ohhh Ya jelas. Gue sampe keliling Surabaya cuman buat cari gedung yang cocok buat kita, sampe insomnia rasanya.”

Bulan tertawa kecil. “Lebih tepatnya pake jam tidur yang dikorbanin selama sebulan.”

“Dan skincare yang gak sempat dipakai,” tambah Liora dengan dramatis. “Untung gue masih glowing.”

“Glowing dari cahaya monitor, mungkin,” balas Bulan datar, membuat Lintang ngakak keras sampai nyaris tumpahin kopinya.

“Wah, Kak Bul, kakak beneran punya comeback yang licin banget,” Lintang menepuk paha sambil tertawa. “Kasian Kak Liora diserang pagi-pagi.”

“Serangan sayang, bukan serangan kerja,” sahut Liora dengan pura-pura tersinggung. “Tapi anyway, hari ini bakal jadi hari besar.”

Bulan menoleh. “Hari besar kenapa?”

Liora melirik jam tangannya, lalu meneguk sisa kopinya. “Mobil kantor datang siang ini. Termasuk mobil lo, Bul.”

“Mobil?”

“Yup.” Liora berdiri, mulai melangkah ke arah meja resepsionis. “Gue udah pesan tiga unit—satu buat lo, satu buat gue, dan satu lagi buat operasional kantor. Warna hitam, biar matching sama tema branding kita.”

Bulan mengangkat alis pelan. “Lo serius udah urus semua itu?”

“Ya jelas. Lo pikir gue CEO hura-hura?”

Lintang bersandar ke sandaran sofa, ikut nimbrung. “Hmm… definisi CEO-nya bener sih, tapi kata ‘hura-hura’-nya gak bisa dihapus, Kak.”

“Eh, hei, jangan ngajarin orang ngelawan atasan yaa!” protes Liora sambil menunjuk Lintang pakai sedotan plastik.

Bulan menatap keduanya bergantian, lalu tertawa. “Kalian berdua cocok banget kalo jadi tim marketing. Suaranya sama-sama keras.”

“Boleh tuh!” seru Lintang, semangat. “Apa aku magang aja di sini pas liburan semester nanti!”

“Deal!” sahut Liora cepat. “Kita butuh influencer bawaan kantor.”

Lintang langsung nyengir lebar. “Tenang, aku bisa bikin tagline ‘kerja tetep cantik tapi produktif.’”

“Kalimat kamu kayak iklan skincare,” gumam Bulan, meneguk kopinya sambil menahan tawa.

*

Beberapa jam berlalu, kantor semakin sibuk. Lintang sudah balik kekampus dari jam delapan pagi karena ad akelas jam Sembilan. Tim IT mulai memasang layar tambahan di ruang meeting, bagian administrasi mulai menata dokumen di ruang arsip, dan suara musik lembut terdengar dari speaker plafon. Bulan berjalan ke arah jendela besar yang menghadap ke kota — matanya menerawang ke pemandangan gedung tinggi yang diterpa cahaya siang.

Untuk sesaat, ia terdiam. Udara Surabaya terasa berbeda dari Jakarta — lebih hangat, lebih pelan, tapi juga terasa… baru. Di bawah sana, kehidupan berjalan cepat, dan di sini, di kantor barunya, hidupnya juga baru saja dimulai lagi.

Liora mendekat, berdiri di sampingnya. “Cantik ya, kota ini.”

Bulan mengangguk kecil. “Iya. Rasanya kayak… halaman pertama dari sesuatu yang baru.”

“Halaman pertama?”

“Iya.” Bulan menatap Liora dan tersenyum. “Dan kita yang nulis ceritanya.”

Liora ikut tersenyum, menepuk bahunya pelan. “Asal jangan lupa sisipin bab-bab lucunya juga.”

Bulan terkekeh. “Dengan lo di kantor, kayaknya bab lucu bakal lebih banyak dari bab serius.”

“Ya jelas,” sahut Liora sambil berkacak pinggang. “Kalau gak ada gue, hidup lo terlalu tenang buat jadi menarik.”

Dan di tengah tawa ringan yang memenuhi ruangan itu, jam di dinding menunjukkan pukul sebelas lewat tiga puluh. Dari jendela kaca, suara mobil mendekat terdengar samar.

“Kayaknya mobilnya dateng,” ujar Liora antusias. “Ayo, kita liat.”

Bulan mengangguk dan melangkah bersama Liora ke arah lift.

begitu mereka sampai didepan lobby Liora berkata, “Mobil baru, kantor baru, hidup baru. Dan Gue harap ada cowok baru juga, ya Bul.”

Bulan menatap adiknya sambil menahan tawa. “Lioraa.”

“Iya, iya, becanda,” jawab Lintang cepat — tapi senyumnya yang nakal gak hilang sedikit pun.

**

tbc

gambar by pinterest

1
Bia_
kasian si Arsen 🤣
Bia_
ow udah masuk konflik nih 🤭
KaosKaki
wk wk wk
Bia_
/Facepalm/🤣
Bia_
alurnya emang agak slow tapi Lumayan bagus, alur pdkt nya kaya di Real Life lambat tapi kena.
Bia_
suka banget pas adegan serangan hacker
Lacataya_: makasih yaaa, di bab bab selanjutnya juga ada serangan serangan manis kok 🤭
total 1 replies
Edna
Mantap!
Lacataya_: mohon ditunggu bab selanjutnya ya, makasih
total 1 replies
Khabib Firman Syah Roni
Jlebbbbb!
Lacataya_: mohon ditunggu bab selanjutnya ya, makasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!