Aryan, pemuda berusia 25 tahun, baru saja mendapatkan pekerjaan impiannya sebagai salah satu staf di sebuah hotel mewah, tempat yang seharusnya penuh dengan kemewahan dan pelayanan prima. Namun, di balik fasad megah hotel tanpa nama ini, tersembunyi sebuah rahasia kelam.
Sejak hari pertamanya, Aryan mulai merasakan keanehan. Tatapan dingin dari staf senior, bisikan aneh di koridor sepi, dan yang paling mencolok: Kamar Terlarang. Semua staf diperingatkan untuk tidak pernah mendekati, apalagi memasuki kamar misterius itu.
Rasa penasaran Aryan semakin membesar ketika ia mulai melihat sekilas sosok hantu lokal yang dikenal, Kuntilanak bergaun merah, sering muncul di sekitar sayap kamar terlarang. Sosok itu bukan hanya menampakkan diri, tetapi juga mencoba berkomunikasi, seolah meminta pertolongan atau memberikan peringatan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HARI KE-2 KERJA (KETINDIHAN DINI HARI)
Malam itu, Aryan tertidur lelap. Rasa lelah setelah hari pertama yang menegangkan, ditambah obrolan panjang dan rokok bersama Bima, berhasil membuatnya terlelap tanpa kesulitan berarti. Jam dinding kamar kosnya menunjukkan pukul dua dini hari. Keheningan kota mulai terasa pekat, hanya sesekali terdengar suara kendaraan yang melintas jauh.
Namun, di tengah lelapnya, kesadaran Aryan mulai terusik dengan cara yang mengerikan. Tiba-tiba, ia merasa tubuhnya sepenuhnya lumpuh. Ia tahu ia sedang berbaring, ia tahu ia sudah bangun, tetapi ia tidak bisa menggerakkan satu pun ototnya. Matanya terbuka lebar, namun ia tidak bisa berkedip, tidak bisa berbalik, bahkan tidak bisa mengeluarkan suara. Ia terperangkap sempurna di dalam tubuhnya sendiri.
Ini adalah sleep paralysis, atau yang biasa disebut ketindihan, namun kali ini terasa jauh lebih nyata dan jauh lebih menakutkan dari yang pernah ia dengar.
Pandangan Aryan terpaku pada langit-langit kamar kosnya yang remang-remang. Lalu, ia mulai merasakan kehadiran. Suhu di dalam kamar kosnya mendadak turun drastis, menyebabkan bulu romanya kembali berdiri tegak.
Perlahan, sosok itu mulai terbentuk di sudut kamar. Sosok seorang wanita bergaun panjang berwarna merah. Sosok itu bergerak perlahan, melayang, bukan berjalan, semakin mendekati tempat tidurnya.
Aryan berusaha menjerit. Tenggorokannya terasa tercekat, pita suaranya seolah direnggut. Ia ingin memanggil nama Bima, ingin mendorong dirinya untuk bangun, tetapi yang keluar hanyalah desahan kecil yang tertahan di balik giginya yang terkatup rapat. Kepanikan murni menjalari setiap sarafnya.
Sosok itu kini berada tepat di samping tempat tidurnya. Aryan memiringkan matanya sekilas, menyaksikan wanita bergaun merah itu membungkuk, wajahnya semakin mendekat ke wajah Aryan. Semakin dekat, semakin jelas pula detail kengerian itu.
Wajah wanita itu tampak putih pasi, diselimuti rambut hitam panjang yang menutupi sebagian wajahnya. Namun, bagian yang terlihat mampu membuat jiwanya menciut. Matanya merah menyala, bukan merah darah, melainkan merah bara api yang siap membakar. Gigi-giginya terlihat sangat tajam dan runcing, tersusun dalam senyum yang mengerikan. Kuku-kukunya, persis seperti yang ia lihat di Lantai Tujuh, panjang, hitam, dan kotor.
Wanita itu membungkuk sedekat mungkin, hingga Aryan bisa merasakan hembusan dingin napasnya. Tiba-tiba, ia mendengar suara. Bukan suara teriakan keras, melainkan suara bisikan yang sangat pelan, sayup-sayup, namun menusuk ke dalam gendang telinganya.
"Tolongggg aku..."
Suara itu kecil, menyeramkan, dan sarat akan kepedihan yang sangat mendalam. Bisikan itu seolah datang dari dimensi lain, menggema di dalam kepala Aryan. Sosok itu kemudian mengulurkan salah satu tangan panjangnya, mengarah ke wajah Aryan, seolah ingin menyentuh atau mencakar.
Aryan merasakan keputusasaan yang luar biasa. Ia memberontak dengan seluruh kekuatan yang tidak ia miliki. Ia mengerahkan semua sisa energinya, semua kemauan yang tersisa dalam dirinya, mencoba melawan kekuatan tak kasat mata yang menekannya ke kasur. Ia harus bergerak. Ia harus bangun. Pikiran itu menjadi satu-satunya fokusnya.
Dengan sebuah hentakan terakhir yang terasa memutus leher dan punggungnya, Aryan berhasil memberontak.
Ia terbangun dengan posisi terduduk tegak di kasurnya. Sosok wanita bergaun merah itu lenyap seketika. Kehangatan kamar kosnya kembali, dan yang tersisa hanyalah keheningan malam yang normal.
Seluruh tubuh Aryan berkeringat deras, membasahi kaosnya hingga lengket ke kulit. Napasnya terengah-engah, seperti baru saja lari maraton. Ia mengusap dahinya yang dingin dan basah. Jantungnya berdebar-debar liar, suaranya terasa memukul-mukul rusuknya. Ia berusaha menenangkan diri, menghirup udara lambat-lambat.
Bohong. Itu bukan halusinasi akibat kelelahan mental, seperti kata Bima. Ini adalah kenyataan yang kini mengikutinya sampai ke kamar kosnya.
Aryan segera bangkit. Ia tidak bisa tinggal diam di kasur itu. Ia berjalan gontai ke dapur kecil di kosannya. Ia meraih gelas dan mengisi air minum dingin sampai penuh. Ia meneguknya habis dalam satu tarikan napas, mencoba membasahi tenggorokannya yang kering karena ketakutan.
Ia bersandar di dinding dapur, memejamkan mata, dan meremas wajahnya dengan kedua tangan. Ia mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih tidak teratur.
"Ya ampun... Ketindihan lagi," bisiknya pada diri sendiri, meskipun ia tahu ini bukan sekadar ketindihan biasa. Ini adalah kunjungan. Kunjungan dari sosok yang ia lihat di Lantai Tujuh.
Ketakutan itu kini bercampur dengan pemahaman yang menakutkan: ia telah membawa pulang sesuatu dari hotel itu.
Aryan berdiri di dapur selama beberapa menit, berusaha mencari logika di balik peristiwa yang baru saja ia alami. Apakah mungkin itu hanya mimpi buruk yang sangat intens? Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa mata merah dan gigi tajam itu hanyalah bumbu mimpi. Namun, bisikan "Tolongggg aku..." terasa begitu nyata, begitu dingin, begitu dekat.
Setelah merasa cukup tenang dan napasnya kembali normal, ia kembali ke kasurnya. Kamarnya kini terasa asing dan dingin. Ia tidak berani mematikan lampu. Ia membiarkan lampu belajar kecil di meja kerjanya tetap menyala, memberikan sedikit cahaya pengusir kegelapan.
Aryan berbaring, mencoba memejamkan mata. Ia berusaha mengendalikan pikirannya, memaksakan dirinya untuk memikirkan gaji empat juta rupiah, dan melupakan gaun merah itu. Ia berguling, mencari posisi yang nyaman, dan dengan perjuangan yang berat, ia akhirnya jatuh kembali ke dalam tidur yang lebih dangkal, menunggu datangnya pagi.
Aryan terbangun dengan kepala terasa berat. Peristiwa ketindihan dini hari itu masih menyisakan rasa takut yang mendalam, membuatnya tidur tidak nyenyak dan bangun terlambat. Ia buru-buru bersiap, melupakan sarapan. Pagi itu, tujuannya hanya satu: mencapai The Grand Elegance Residency sebelum terlambat.
Dengan tergesa-gesa, Aryan tiba di hotel, melewati gerbang dengan langkah cepat. Ia langsung menuju loker staf, menaruh tas ranselnya, dan segera menuju area front desk. Jam dinding menunjukkan pukul sembilan lewat lima menit.
Di front desk, ia melihat Dina sudah sibuk menyambut tamu. Aryan menghampiri Dina dan mencoba menyapa dengan nada ceria.
"Pagi, Din! Maaf aku agak telat sedikit, jalanan macet banget," ujar Aryan, sambil mencoba menyentuh bahu Dina.
Dina menoleh, raut wajahnya tampak jutek dan tidak ramah, jauh berbeda dengan kehangatan kemarin.
"Pagi, Bang? Jam segini baru sampai, Bang? Abis ngapain aja, sih?" cecar Dina, matanya melirik tajam ke jam. Ia berbicara dengan volume suara yang sangat pelan, namun nadanya sangat mengancam.
Aryan merasa bersalah. "Iya, tadi jalan macet banget. Sudah dari subuh, tapi baru lancar dekat sini."
"Besok-besok jangan telat, Bang," tegas Dina, suaranya tetap berbisik. "Apalagi sekarang kamu sudah resmi. Kalau Nyonya Lia dengar, kita semua kena tegur. Dia paling anti sama keterlambatan. Siap, Mbak?"
"Siap, Mbak," jawab Aryan patuh.
Dina menghela napas. "Sudah, ayo kerja, bertugas. Untung shift kita di lobi pagi ini tidak terlalu padat."
"Iya, Mbak," balas Aryan, ia segera menempatkan dirinya di posisi yang strategis, siap menyambut tamu dan melayani permintaan yang datang.
Belum sempat ia memegang interkom, suasana lobi mendadak tegang.
Seorang pria, yang terlihat sebagai tamu penting dan berkelas, keluar dari lift dengan wajah merah padam karena marah. Di belakangnya, Nyonya Lia mengekor dengan raut wajah paling profesional, berusaha menenangkan tamu itu.
"Ini tidak bisa diterima, Nyonya Lia!" gerutu tamu itu, suaranya menggelegar. "Kamar seharga ini, di hotel semewah ini, atapnya bocor? Bahkan kasur saya basah semua! Saya minta kamar lain, dan saya menuntut kompensasi!"
"Tentu saja, Tuan. Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini," kata Nyonya Lia, nadanya menenangkan. "Kami sudah menyiapkan kamar VVIP di Lantai Delapan. Kamar Anda sudah siap dan semua barang Anda akan segera dipindahkan. Kami akan memberikan Anda sarapan gratis selama sisa menginap Anda sebagai bentuk permohonan maaf."
Nyonya Lia berhasil menenangkan tamu tersebut dan mengantarnya ke kamar pengganti di Lantai Delapan. Setelah tamu itu pergi, wajah Nyonya Lia langsung berubah tegang. Ia melihat ke arah front desk dan matanya langsung tertuju pada Aryan.
"Aryan! Sini sebentar!" panggil Nyonya Lia, suaranya sedikit mendesis karena menahan kesal.
Aryan bergegas menghampiri.
"Ambil kunci kamar lima, Lantai Enam sekarang juga. Kamar itu tadi dikomplain karena bocor parah. Tamu sudah dipindahkan. Saya mau Anda segera ke sana, bereskan kekacauan itu. Bersihkan airnya, ganti seprai, dan pindahkan semua perabotan dari bawah titik bocor. Cepat!" perintah Nyonya Lia.
"Baik, Nyonya Lia," Aryan mengangguk. Ia meraih kunci master dan segera menuju lift servis, menghindari lift umum yang beroperasi normal.
Beberapa saat kemudian, ia sampai di Lantai Enam. Lorongnya sunyi dan mewah. Ia berjalan cepat menuju kamar nomor lima. Dengan kunci master, ia membuka pintu.
Awalnya, kamar itu terlihat normal. Lampu masih menyala, perabotan tertata rapi. Namun, saat Aryan melangkah lebih jauh ke dalam, menuju area kasur, ia langsung disambut oleh pemandangan yang kacau.
Lantai di sekitar kasur sudah tergenang air. Airnya menetes deras dari satu titik di langit-langit kamar, persis di atas tempat tidur. Kasur king size itu basah kuyup di bagian tengah. Tirai beludru kamar juga sudah terpercik noda air kotor berwarna kekuningan.
Aryan membuang napas berat. Ia mengambil lap pel dan ember dari troli pembersih yang ia bawa. Ia mulai bekerja. Langkah pertamanya adalah membersihkan genangan air di lantai, mengepelnya berulang kali, memastikan tidak ada sisa air yang bisa membuat tamu berikutnya terpeleset.
Setelah lantai lumayan kering, ia beralih ke kasur. Ia harus mengganti seprai dan selimut yang basah kuyup itu. Ia menanggalkan seprai itu dengan cepat, dan ia harus memindahkan kasur dari tempatnya agar tidak lagi terkena tetesan air yang terus mengalir dari langit-langit. Dengan susah payah, ia mendorong kasur yang berat itu ke sudut ruangan, menjauhi titik bocor.
Saat ia mendongak, menatap lubang kecil di plafon tempat air terus menetes, sebuah pikiran langsung menghantamnya dengan keras: kebocoran air.
Pikiran itu seolah menyambungkan semua potongan teka-teki.
Kebocoran parah di Lantai Enam?
Berarti, air itu pasti datang dari Lantai di atasnya.
Lantai di atas Lantai Enam adalah... Lantai Tujuh.
Aryan berhenti mengepel. Ia berdiri tegak, air menetes di wajahnya dari langit-langit yang bocor. Ia merasakan ketakutan yang ia bawa dari kosan kini berubah menjadi keyakinan. Nyonya Lia bilang Lantai Tujuh sedang diperbaiki karena korsleting kabel. Tidak ada yang menyebutkan masalah air!
Jika Lantai Tujuh hanya masalah kabel listrik, tidak mungkin ada air sebanyak ini yang membanjiri kamar di bawahnya. Ini berarti ada masalah besar lain di Lantai Tujuh yang dirahasiakan. Apakah kebocoran itu berasal dari kamar mandi yang rusak? Atau lebih parah, apakah kebocoran itu berhubungan dengan air kotor, atau bahkan... air mata?
Aryan membuang napas, memaksakan diri untuk tenang. Ia melihat ke pintu kamar yang tertutup. Kerahasiaan yang dijaga ketat, larangan keras, bisikan hantu, dan sekarang kebocoran air yang menguatkan dugaan. Semua ini mengarah pada satu kesimpulan.
Ia menyelesaikan pekerjaannya dengan tergesa-gesa. Ia merapikan sisa-sisa kerusakan dan meletakkan ember penampung tepat di bawah tetesan air. Saat ia hendak menutup pintu kamar itu dan pergi, ia melirik kembali ke lubang kecil yang terus meneteskan air dari atas.
Rasa takut bercampur dengan desakan keingintahuan. Malam itu, ia melihat tangan hantu di sana. Pagi ini, hantu itu mengirimkan 'pesan' melalui air yang membanjiri kamar. Ia harus tahu. Ia harus memastikan apa yang sebenarnya terjadi di balik pintu besi terkunci di Lantai Tujuh.
Keinginan yang kuat dan mendesak untuk memasuki Lantai Tujuh itu kini menguasai pikirannya. Ia harus mencari cara. Ia harus mencari kunci.