Revan adalah pria tampan dan pengusaha muda yang sukses. Namun di balik pencapaiannya, hidup Revan selalu berada dalam kendali sang mama, termasuk urusan memilih pendamping hidup. Ketika hari pertunangan semakin dekat, calon tunangan pilihan mamanya justru menghilang tanpa jejak.
Untuk pertama kalinya, Revan melihat kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri. Bukan sekadar mencari pengganti, ia menginginkan seseorang yang benar-benar ingin ia perjuangkan.
Hingga ia teringat pada seorang gadis yang pernah ia lihat… sosok sederhana namun mencuri perhatiannya tanpa ia pahami alasannya.
Kini, Revan harus menemukan gadis itu. Namun mencari keberadaannya hanyalah langkah pertama. Yang lebih sulit adalah membuatnya percaya bahwa dirinya datang bukan sebagai lelaki yang membutuhkan pengganti, tetapi sebagai lelaki yang sungguh-sungguh ingin membangun masa depan.
Apa yang Revan lakukan untuk meyakinkan wanita pilihannya?Rahasia apa saja yang terkuak setelah bersatu nya mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 Tidak Terima
Eliana sudah bangun sejak subuh. Ia berharap acara pertunangannya malam ini berjalan lancar tanpa hambatan apa pun. Setelah menunaikan salat, Eliana melantunkan ayat suci Al-Qur'an dengan suara merdu yang menenangkan hati. Hari ini, tak ada kegiatan lain yang ingin ia lakukan selain mempersiapkan diri untuk hari istimewa dalam hidupnya.
Begitu pula dengan Revan. Ia juga mengawali hari dengan doa dan ketenangan. Dalam hatinya, Revan berharap semuanya akan berjalan sesuai harapan tanpa gangguan dari siapa pun. Ia ingin mantap dengan keputusannya.
Sementara itu, di kediaman keluarga Wijaya, Miranda tampak gelisah. Ia mondar-mandir di dalam kamar, sesekali menatap layar ponselnya, berharap ada pesan masuk dari Celin. Dalam hati kecilnya, Miranda masih berharap Celin akan kembali, agar pertunangan Revan dengan Eliana batal sebelum sempat dimulai.
“Kamu kenapa mondar-mandir terus, Mir?” tanya Surya yang baru keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya. “Aku harap kamu tidak berbuat yang aneh-aneh malam ini. Lakukan yang terbaik, jangan sampai orang menilai buruk tentang keluarga kita,” lanjutnya dengan nada tegas sebelum pergi mengenakan pakaian.
Miranda hanya diam. Pandangannya kosong menatap jauh ke depan, seolah memikirkan sesuatu yang besar dan sulit dijelaskan.
Matahari sudah tinggi, waktu menunjukkan hampir pukul sebelas siang. Di tempat lain, Celin baru terbangun dari tidurnya. Kepalanya terasa berat setelah semalaman berpesta di klub. Ia hanya berniat tidur sebentar, tapi malah terlelap hingga siang.
“Sial! Kenapa aku baru bangun jam segini? Aku sudah terlambat!” umpatnya panik. Dengan tergesa, Celin berlari ke kamar mandi lalu bersiap. Ia harus segera pulang, agar bisa segera mempersiapkan diri untuk acara pertunangannya malam ini.
Setelah menempuh perjalanan panjang dan melelahkan, akhirnya Celin tiba di rumah. Ia langsung masuk dan hampir berlari menuju ruang keluarga. Namun langkahnya tertahan saat melihat papa dan mamanya menahannya.
“Kamu dari mana saja, Celin?! Kenapa tiba-tiba menghilang tanpa kabar?” bentak sang mama.
“Aku… aku nggak ke mana-mana, Ma. Aku cuma…” “Sudahlah! Tidak ada gunanya kamu beralasan!” potong papanya sambil menahan geram.
Celin berusaha tenang menghadapi kemarahan kedua orang tuanya. “Papa, Mama, kenapa sih marah? Harusnya sekarang kalian bersiap. Malam ini kan hari pertunangan ku dengan Revan!” katanya berusaha mengalihkan kemarahan kedua orang tuanya.
“Bersiap?!” suara papanya meninggi. “Siapa yang mau bertunangan?!”
Celin terdiam, wajahnya pucat. “Karena kelakuanmu yang gila itu, pertunangan kamu dibatalkan!” lanjut mamanya dengan nada kecewa.
“Dibatalkan?! Tidak mungkin! Revan tidak akan membatalkan pertunangan ini! Tante Miranda juga tidak akan membiarkannya!” seru Celin tak percaya.
“Itu menurutmu,” sahut papanya dingin. “Faktanya, pertunanganmu dengan Revan memang dibatalkan. Tapi acara malam ini tetap berjalan. Bedanya, Revan akan bertunangan dengan gadis pilihannya.”
“Apa?!” Celin terperanjat. “Tidak! Itu tidak boleh terjadi! Aku yang seharusnya mendampingi Revan!” Tanpa pikir panjang, ia segera berbalik hendak pergi. “Aku harus ke sana! Aku harus menghentikan pertunangan itu!”
“Celin! Celin!” panggil mamanya panik.
“Biarkan saja dia, Ma,” ujar sang papa datar. “Kita lihat apa yang bisa dilakukan anak keras kepala itu.”
Celin melangkah cepat keluar rumah, langsung masuk ke dalam mobil. Dengan wajah penuh amarah dan mata berkaca-kaca, ia menyalakan mesin dan melaju dengan kecepatan tinggi menuju tempat acara pertunangan Revan.
Beberapa menit kemudian, ia tiba di depan gedung megah. Lampu-lampu terang, hiasan bunga, dan musik lembut terdengar dari dalam. Celin turun dari mobil, menggenggam erat tas kecilnya. Nafasnya memburu, dadanya sesak menahan emosi.
Namun baru beberapa langkah menuju pintu gedung, tiba-tiba seseorang muncul dari belakang dan membekap mulutnya rapat-rapat. Celin berusaha berontak, tapi genggaman orang itu terlalu kuat.
Para tamu mulai berdatangan dan memenuhi ruangan yang telah didekorasi indah. Lampu-lampu kristal menggantung megah di langit-langit, memantulkan cahaya lembut yang menambah kesan hangat dan elegan. Aroma bunga segar memenuhi udara, menciptakan suasana penuh kebahagiaan.
Paman dan bibi Eliana sudah hadir sejak sore tadi. Sela, sepupu Eliana yang juga datang bersama mereka, tampak terpesona memandangi dekorasi ruangan. “Ya ampun, ini baru pertunangan, Gimana nanti kalau pernikahannya? Pasti lebih mewah lagi,” gumamnya takjub sela.
Sementara itu, Nadia datang agak terlambat karena harus mengurus butik terlebih dahulu.
Eliana baru saja selesai didandani oleh seorang perias profesional. Malam ini, ia tampak begitu cantik dan anggun.
Fatma yang dari tadi menemani Putri nya berniat untuk keluar. “El, Ibu keluar dulu ya. Nanti Ayahmu mencari ibu. Kamu nggak apa-apa kan ditinggal sendiri?” Eliana tersenyum lembut. “Iya, Bu. Tenang aja, El baik-baik saja kok.”
Fatma pun keluar dari kamar untuk menemani suaminya yang tengah berbincang dengan beberapa teman lamanya.
Tak lama setelah Fatma keluar, pintu kamar kembali terbuka. Kali ini, sosok yang masuk adalah Nenek Sonya. Wajahnya berseri-seri melihat Eliana yang tampak begitu cantik malam itu. “El... kamu cantik sekali, Nak,” ucap nenek Sonya dengan suara lembut.
Eliana tersenyum dan menunduk hormat. “Terima kasih, Nek.”
Nenek Sonya lalu duduk di sisi Eliana, menatap gadis itu dengan penuh kasih sayang. “El, nenek mau mengucapkan terima kasih karena kamu sudah mau menerima lamaran cucu nenek. Walaupun semuanya terjadi begitu cepat dan di luar dugaanmu.” Ia menggenggam tangan Eliana dengan lembut. “Nenek cuma punya satu harapan, Nak. Semoga selama Revan menjadi pendampingmu, ia bisa selalu setia dan memprioritaskan kamu di atas apa pun. Dan kamu... kamu juga harus tetap kuat di sisinya. Apa pun halangan dan cobaan yang menghadang nanti, bertahanlah. Jangan biarkan siapa pun mengambil apa yang telah menjadi hak mu, apa lagi sampai merendahkanmu. Kamu harus bisa melawan, dengan cara yang bijak. Ingat, nenek akan selalu di pihakmu.”
Eliana menatap nenek Sonya dengan mata yang mulai berkaca. “Terima kasih, Nek... atas nasihat dan kepercayaannya. El akan berusaha melakukan yang terbaik untuk mendampingi Revan.”
Nenek Sonya mengangguk kecil lalu berdiri. Ia mengambil kotak kecil dari tasnya dan membuka penutupnya perlahan. Di dalamnya, terlihat kalung indah yang malam sebelumnya telah nenek Sonya hadiah kan untuk Eliana. “El, sekarang... kalung ini jadi milikmu,” ucapnya sambil mengenakannya di leher Eliana.
Eliana menyentuh liontin itu dengan hati-hati. “Terima kasih, Nek. El berjanji akan menjaganya baik-baik.”
“Baiklah, Nenek keluar dulu. Nenek mau lihat suasana di luar.” Sebelum membuka pintu, Nenek Sonya menoleh sebentar dan tersenyum. “El, ingat pesan Nenek tadi ya.”
Eliana mengangguk. “Iya, Nek.”
Begitu pintu tertutup, Eliana memandangi dirinya di cermin. Gaun cantik, kalung indah, dan riasan sempurna seolah melengkapi kebahagiaannya malam ini. Dalam hatinya, ia terus berdoa agar acara pertunangannya berjalan lancar dan sesuai harapan.
Saat Eliana sedang termenung di depan cermin, terdengar suara pintu kamar terbuka kembali. Ia menoleh, dan kali ini yang masuk adalah Miranda.
Wajah wanita itu tampak angkuh dan dingin, jauh dari kesan ramah. Ia melangkah perlahan mendekati Eliana, menatap gadis itu dari ujung kepala hingga kaki dengan pandangan tajam.
Setelah beberapa detik dalam keheningan, Miranda akhirnya bicara dengan nada datar tanpa basa basi. “Jangan pikir karena semua orang menerima kamu menjadi calon istri Revan, aku juga akan mudah menerimamu. Aku tidak akan pernah merestui hubungan kalian. Jangan berharap terlalu banyak dari pertunangan ini, karena begitu Celin kembali, dialah yang akan menjadi istri Revan.” Miranda menatap Eliana lurus, suaranya meninggi sedikit. “Kamu tidak pantas mendampingi putraku. Dan satu lagi, saham yang diberikan Revan padamu, harus kau kembalikan.”
Eliana tetap tenang. Wajahnya lembut, tapi matanya menyimpan ketegasan. “Tante pikir apa yang saya harapkan dari pertunangan ini? Hanya karena Tante dari keluarga terpandang, jadi Tante pikir bisa seenaknya merendah orang lain. Dan tante pikir saya mengincar harta anak tante, atau bahkan berharap lebih? Eliana menatap Miranda dengan tenang dan tanpa takut. “Bagi saya, semua itu tidak penting, Tante. Saya berada di sini bukan karena ambisi atau kepentingan pribadi. Jika wanita pilihan Tante tidak pergi, tidak mungkin saya berada di sini dan mungkin saya bahkan tidak akan pernah mengenal Revan. Jadi jangan salahkan saya atas apa yang terjadi. Ini semua karena kebodohan wanita pilihan Tante sendiri.”
Miranda menatap Eliana dengan mata membulat. Ia tak menyangka gadis itu berani bicara setegas itu. “Kamu!” seru Miranda geram.
Eliana hanya tersenyum tipis. “Dan soal saham itu, Tante... Revan memberikannya atas kehendaknya sendiri. Saham itu sekarang sudah menjadi hak saya. Kalau pun suatu hari Tante berhasil menyatukan Revan kembali dengan wanita pilihan Tante, saham itu tetap tidak akan saya kembalikan. Anggap saja sebagai kompensasi atas semua yang sudah terjadi.”
Miranda mengepalkan tangannya, menahan amarah yang hampir meledak. “Dasar wanita tidak tahu diri! Belum apa-apa kamu sudah berani bicara seperti ini!”
“Terserah Tante mau menilai saya seperti apa,” jawab Eliana tenang. “Saya tahu sebaik apa pun saya berperilaku, tetap tidak akan terlihat baik di mata Tante.”
Eliana lalu berbalik menghadap cermin lagi, sementara Miranda terdiam sesaat, menatap punggung gadis itu dengan tatapan penuh emosi. Untuk pertama kalinya, Miranda menyadari, gadis yang akan menjadi tunangan putranya bukanlah wanita lemah yang bisa ia kendalikan.