NovelToon NovelToon
Sebungkus Mie Instan

Sebungkus Mie Instan

Status: sedang berlangsung
Genre:Single Mom / Cerai / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Selingkuh / Janda / Romansa
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Tika Despita

Sudah empat tahun lamanya Aini menikah dengan suaminya Rendra. Namun dia tahun terkakhir Rendra tak bekerja. Sehingga kebutuhan sehari-hari di bantu bapak mertuanya. Terkadang Aini terpaksa memasak sebungkus mie instan untuk lauk makannya dirinya dan anaknya.

Disaat himpitan ekonomi, suaminya pun bertingkah dengan kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tika Despita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Selingkuh lagi

Aku kembali ke rumah dengan perasaan penuh luka dan kecewa. Rasa percaya yang baru saja mulai tumbuh selama sebulan terakhir hancur lagi oleh ulah bang Rendra. Padahal aku sudah berkorban banyak, bahkan sampai menjual cincin pernikahan kami demi dia bisa bekerja. Tapi begitu dia dapat hasil, malah digunakan untuk bersenang-senang dengan wanita lain.

Sesampainya di rumah orang tua bang Rendra, aku langsung menggendong Keenan yang sudah tertidur pulas untuk dibawa pulang ke rumah kami di sebelah. Aku tidak menceritakan apa pun kepada bapaknya bang Rendra malam itu. Rasanya belum saatnya. Aku ingin mendengar langsung dari mulut bang Rendra sendiri besok pagi, baru setelah itu aku akan bicara pada orang tuanya.

Malam ini terasa panjang. Aku tidak bisa tidur. Hujan rintik di luar jendela seolah ikut menertawakan kebodohanku. Berkali-kali aku memandangi jari manisku yang kini kosong tanpa cincin. Air mataku jatuh tanpa bisa kutahan.

Pagi pun datang. Dari arah jendela, sinar matahari menyelinap masuk pelan. Aku masih duduk di tepi ranjang dengan kepala berat, sementara Keenan masih tertidur lelap di sampingku.

Tak lama, pintu depan berderit terbuka. Suara langkah kaki yang sangat kukenal terdengar memasuki rumah. Bang Rendra pulang. Dengan wajah yang tampak lelah atau pura-pura lelah.Dia menurunkan tas kecilnya di kursi.

"Aini, bikinin Bang kopi!" katanya sambil menjatuhkan diri di sofa dan menghela napas panjang seolah habis kerja berat.

Aku tidak bergeming. Aku tetap duduk, hanya menatapnya dengan pandangan yang dingin. Jantungku berdegup cepat menahan emosi. Untung saja Keenan belum bangun, kalau tidak mungkin dia akan mendengar kami bertengkar lagi.

"Aini, bikinkan Abang kopi!" ulangnya, kali ini dengan nada sedikit lebih tinggi.

Aku menatapnya tajam. “Emangnya pagi tadi kamu gak dibikinin kopi sama wanita itu?” tanyaku datar, tapi suaraku bergetar menahan marah.

Alisnya langsung berkerut. “Maksud kamu apa, Aini? Abang capek-capek pulang kerja, kamu malah ngomong ngawur!” katanya dengan nada kesal.

“Capek pulang kerja, atau capek bermesraan sama dia, Bang?” ucapku, kali ini tanpa bisa menahan nada tinggi dalam suaraku.

Bang Rendra memijit pelipisnya, berusaha menahan emosi. “Kamu ada apa, sih, Aini? Ini masih pagi! Abang tuh capek, pusing, gajian belum turun karena atasan Abang lagi keluar kota. Kamu malah bikin ribut pagi-pagi begini!”

Aku tertawa kecil, sinis. “Heh, lucu ya kamu, Bang.”

Dia menatapku heran. “Kenapa kamu tertawa?”

“Aku semalam ke tempat kamu kerja,” kataku pelan tapi tajam. “Dan kamu gak ada di sana.”

Wajahnya langsung berubah. Sorot matanya sedikit panik, tapi dia cepat menutupi. “Mungkin waktu kamu datang, Abang lagi keliling rumah sakit. Kan sering tuh aksi pencurian di ruang pasien. Abang patroli.”

Aku mendengus. “Kamu kira aku bodoh, ya? Selama ini kamu masih berhubungan sama Dela. Bahkan dia ngaku kalau dia istri kamu! Dan semalam kamu gak lembur, tapi jalan sama dia!”

Bang Rendra terdiam sesaat, lalu memalingkan wajahnya.

“Sekarang mana uang gaji kamu?” desakku.

“Jangan ngarang lagi bilang atasan kamu keluar kota!”

“Belum Abang terima, Aini,” jawabnya pelan.

“Gak usah bohong! Seragam satpam yang kamu pakai itu aja dari hasil aku jual cincin pernikahan kita! Cincin yang aku beli sendiri supaya kamu gak malu di depan orangtuaku waktu itu!”

Mataku mulai panas. “Aku gak sudi kalau kamu dan gundik kamu itu menikmati hasil dari pengorbananku!”

Bang Rendra berdiri, suaranya meninggi. “Kamu jangan asal ngomong, Aini! Kamu gak punya bukti nuduh Abang selingkuh sama Dela!”

Aku bangkit dari dudukku. “Oke, aku memang gak punya bukti sekarang. Tapi di tubuh wanita itu pasti ada bukti!” ucapku sambil mengambil tas kecilku dan melangkah ke pintu.

Bang Rendra sigap menahan tanganku. “Kamu mau ke mana, Aini?”

“Mau ke rumah Bapak, nyuruh beliau jagain Keenan sebentar,” jawabku dingin, menarik tanganku dan terus melangkah keluar rumah.

Di teras rumah sebelah, Bapak sedang duduk sambil menyeruput kopi. Wajahnya yang tenang berubah heran melihatku datang dengan napas tersengal.

“Ada apa, Aini?” tanyanya.

“Pak, titip Keenan sebentar, ya. Aini mau ke rumah Dela,” ucapku cepat.

“Ngapain kamu ke rumah perempuan itu?” Bapak memandangku dengan dahi berkerut.

Aku menatap lurus ke depan. “Mau cari bukti perselingkuhan mereka, Pak. Karena kemungkinan besar semalam Bang Rendra tidur di sana.”

Bapak langsung tertegun, gelas kopinya nyaris terjatuh. Pandangannya beralih ke arah Bang Rendra yang berdiri di belakangku, wajahnya pucat.

“Aini cuma cemburu gak jelas, Pak!” Bang Rendra buru-buru membela diri.

Bapak menghela napas berat. “Tapi ini masih pagi, Aini…” ujarnya pelan, mencoba menenangkan.

Namun aku sudah tak peduli lagi. “Titip Keenan sebentar, Pak,” kataku dan kali ini aku tak peduli mau pagi atau mau siang.Aku akan tetap ke rumah perempuan itu.

Aku lalu melangkah pergi, menatap lurus ke depan. Dalam hati, aku berjanji, kalau hari ini aku memang menemukan bukti, maka ini akan jadi akhir dari semua kesabaranku.

_

_

"Aini, ayo kita pulang! Ini masih pagi, Aini. Malu sama tetangga!" bujuk Bang Rendra sambil setengah berlari mengikuti langkah kakiku yang cepat menuju rumah Dela.

Aku tak peduli dengan suaranya yang terdengar cemas di belakang. Nafasku memang sedikit tersengal, tapi amarahku jauh lebih besar dari lelah yang kurasa.

“Buat apa aku malu?!” bentakku tajam tanpa menoleh.

“Yang harusnya malu itu kamu, Bang! Bisa-bisanya kamu selingkuh lagi sama mantan pacarmu itu!”

Bang Rendra terdiam. Aku tahu dia menunduk, seperti biasa kalau sedang bersalah. Tapi kali ini aku sudah tak mau lagi luluh hanya karena wajah menyesalnya.

Langkahku berhenti tepat di depan rumah Dela. Aku mengetuk pintu rumah itu keras-keras, sampai terdengar gema di dalam. Tak lama, pintu terbuka dan muncul sosok ayahnya Dela, Pak Rasyid dengan wajah bingung bercampur heran.

“Oh... Aini, Rendra? Ada apa pagi-pagi begini datang ke sini?” tanyanya dengan nada sopan namun penuh tanda tanya. Matanya bergantian menatapku dan suamiku yang hanya menunduk diam.

Aku masih menahan napas, berusaha menjaga amarahku di depan orang tua itu. Tapi ucapannya berikutnya membuat jantungku serasa berhenti berdetak.

“Kamu kan baru pulang dari sini, Rendra... kok balik lagi?” kata Pak Rasyid polos, seperti tak sadar apa yang baru saja ia lontarkan.

Aku spontan menatapnya tajam. “Baru pulang dari sini?” ulangku dengan suara bergetar.

“Maksud Bapak... Bang Rendra tidur di sini semalam?”

Pak Rasyid menatapku heran, lalu menjawab santai, “Iya. Dia gak bilang sama kamu, ya?”

Kakiku langsung terasa lemas. Aku menatap Rendra yang masih bungkam di belakangku, tak berani menatap balik.

“Kenapa Bapak bisa membiarkan suami orang tidur di rumah anak bapak yang seorang janda, Pak?” tanyaku parau, menahan getir yang hampir membuat air mataku jatuh.

Pak Rasyid justru terlihat kebingungan. “Lho, apa salahnya Rendra tidur di sini? Dela kan juga istrinya.”

Aku membeku. Dunia seolah berhenti berputar. “Maksud Bapak... istrinya?” suaraku tercekat, hampir tak keluar.

Pak Rasyid mengangguk serius, seolah hal itu biasa saja. “Lah, bukannya Rendra sudah minta izin sama kamu buat nikah siri sama Dela? Dia bilang kamu sudah setuju.”

Deg.

Tubuhku bergetar hebat. Pandanganku kabur, telingaku berdengung. Semua kata-kata seakan berubah jadi suara kosong yang menggema di kepalaku.

Aku terduduk di lantai teras, tak peduli meski kain dasterku terkena debu. Air mataku mengalir begitu saja, tanpa bisa kutahan. Rasanya seperti ditampar kenyataan paling pahit yang tak pernah kubayangkan.

Bang Rendra melangkah pelan mendekat, suaranya lirih, “Aini... dengar dulu penjelasan Abang, ya.”

Tapi aku tak sanggup. Semua tenaga rasanya hilang. Aku berdiri dengan tubuh gemetar, menatapnya dengan mata merah yang penuh luka.

Tanpa berkata apa pun, aku berbalik dan melangkah pergi. Hanya suara langkahku dan isak tertahan yang terdengar di udara pagi ini.

Bang Rendra berusaha mengejarku. “Aini! Dengar dulu! Abang bisa jelaskan semuanya!” serunya sambil menggenggam tanganku dari belakang.

Aku hentikan langkahku dan menatapnya dingin. Genggamannya kulepaskan perlahan, satu per satu jarinya.

“Gak ada yang perlu dijelasin, Bang. Semuanya udah jelas...”

Suaraku pecah di akhir kalimat. “Abang udah menghancurkan semuanya. Aku... gak punya alasan lagi buat percaya.”

Aku melangkah pergi dengan dada sesak dan air mata yang tak terbendung. Di belakangku, kudengar bang Rendra terus memanggil namaku berulang kali, tapi kali ini, aku benar-benar tak menoleh lagi.

1
Kala Senja
Bagus ceritanya
Qhaqha
Semoga suka dengan karyaku ini... 😊😊😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!