Di Desa Asri yang terpencil, Fajar Baskara, seorang pemuda multitalenta ahli pengobatan tradisional, harus menyaksikan keluarganya hancur—ayahnya lumpuh karena sabotase, dan adiknya difitnah mencuri—semuanya karena kemiskinan dan hinaan. Setiap hari, ia dihina, diremehkan oleh tetangga, dosen arogan, bahkan dokter lulusan luar negeri.
Namun, Fajar memegang satu janji membara: membuktikan bahwa orang yang paling direndahkan justru bisa melangit lebih tinggi dari siapapun.
Dari sepeda tua dan modal nekat, Fajar memulai perjuangan epik melawan pengkhianatan brutal dan diskriminasi kelas. Mampukah Fajar mengubah hinaan menjadi sayap, dan membuktikan pada dunia bahwa kerendahan hati sejati adalah kekuatan terbesar untuk meraih puncak kesuksesan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BERBURU PEKERJAAN
Uang Fajar tinggal empat puluh ribu rupiah.
Ia duduk di kasur tipisnya, menghitung berulang kali dengan tangan gemetar. Empat lembar sepuluh ribu. Itulah semua yang ia miliki di dunia ini.
Sewa kos sudah dibayar untuk bulan ini—sisa tiga ratus ribu dari ibunya. Tapi biaya hidup? Makan, transportasi (bensin sepeda), pulsa untuk telepon keluarga, fotokopi materi kuliah, dan kebutuhan-kebutuhan kecil lainnya—semuanya sudah menghabiskan seratus enam puluh ribu dalam tiga minggu.
Empat puluh ribu untuk seminggu ke depan. Itu artinya kurang dari enam ribu per hari.
Kalau nasi bungkus lima ribu satu kali, berarti aku hanya bisa makan sekali sehari. Dan itu berarti minggu depan uangku habis total.
Fajar menatap langit-langit kamarnya yang bocor. Kalau hujan, air menetes tepat di sudut kasur dan ia harus tidur meringkuk di sudut lain yang sempit.
Aku harus cari kerja. Harus. Kalau tidak, aku tidak akan bertahan sampai akhir semester.
Keesokan harinya, Fajar memulai perburuan kerja.
Ia sudah mencatat 20 lowongan pekerjaan paruh waktu dari papan pengumuman kampus, grup WhatsApp mahasiswa, dan selebaran-selebaran yang ditempel di warung-warung sekitar kampus. Ia akan melamar semuanya. Apapun pekerjaannya. Apapun gajinya. Yang penting halal dan bisa menghidupi dirinya.
LAMARAN PERTAMA: Kasir Minimarket Indomaret
"Maaf ya, Dek. Kita cari yang bisa kerja shift malam full. Jam 10 malam sampai 6 pagi. Kamu bisa?"
"Saya kuliah pagi, Pak. Kalau shift malam, saya tidak akan bisa kuliah."
"Ya sudah kalau begitu. Maaf ya. Kita butuh yang full availability."
Ditolak.
LAMARAN KEDUA: Pelayan Restoran Cepat Saji
Fajar duduk di depan HRD—seorang wanita muda yang menatapnya dengan tatapan menilai dari atas hingga bawah.
"Kamu pernah kerja di food service sebelumnya?" tanya wanita itu sambil membuka CV Fajar yang sangat sederhana—dibuat di Microsoft Word, dicetak di rental komputer dengan uang 1.000 rupiah.
"Belum, Bu. Tapi saya cepat belajar. Saya bisa—"
"Belum ada pengalaman ya," wanita itu memotong. "Kami cari yang sudah berpengalaman minimal 6 bulan di bidang yang sama. Maaf ya."
Ditolak.
LAMARAN KETIGA: Penjaga Toko Buku
"Kamu bisa kerja Senin sampai Jumat jam 8 pagi sampai 5 sore?"
"Tidak bisa, Pak. Saya kuliah jam 8 sampai 2."
"Oh begitu. Ya sudah, kita cari yang full-time. Terima kasih sudah datang."
Ditolak.
LAMARAN KEEMPAT: Kurir Online Shop
"Kamu punya motor?"
"Tidak, Pak. Tapi saya punya sepeda. Saya bisa—"
"Sepeda?" Bapak pemilik online shop itu tertawa pelan. "Gimana mau kirim barang cepat pakai sepeda? Mana mungkin. Maaf ya, Dek."
Ditolak.
LAMARAN KELIMA: Barista Café
Fajar masuk ke café kecil yang nyaman dengan aroma kopi menyeruak. Ia melamar untuk posisi barista assistant.
Manajernya—seorang lelaki muda berpenampilan hipster—menatap Fajar dengan tatapan tidak yakin.
"Kamu bisa buat kopi?"
"Belum pernah, Pak. Tapi saya bisa belajar—"
"Hmm..." Manajer itu menatap penampilan Fajar lebih seksama. Kemeja lusuh, celana sobek, sepatu bolong. "Penampilanmu... agak kurang meyakinkan untuk kerja di café, Dek. Café kita kan café Instagram-able, konsumennya anak-anak muda hits. Kamu harus dress up minimal decent. Kamu punya baju yang lebih proper?"
Fajar terdiam. Ia tidak punya. Kemeja yang ia pakai ini adalah yang terbaik yang ia miliki.
"Maaf ya," kata manajer itu dengan nada sedikit kasihan. "Kamu coba lamar lagi kalau sudah siap."
Ditolak.
Satu hari berlalu. Lima lamaran, lima penolakan.
Hari berikutnya, Fajar mencoba lima tempat lagi. Hasilnya? Ditolak semua. Alasannya beragam:
"Jam kuliah bentrok."
"Belum ada pengalaman."
"Penampilan kurang meyakinkan."
"Kamu terlalu kurus, tidak cocok jadi security."
"Kami butuh yang punya laptop sendiri untuk data entry."
Hari ketiga, Fajar melamar lima tempat lagi. Ditolak semua.
Total: 15 lamaran dalam tiga hari. 15 penolakan.
Malam itu, Fajar duduk di pinggir kasurnya dengan kepala tertunduk. Ia menatap empat lembar uang sepuluh ribu yang tinggal dua lembar—dua puluh ribu rupiah. Sisanya sudah habis untuk makan nasi bungkus tiga hari terakhir dan bensin sepeda untuk keliling melamar kerja.
Perutnya keroncongan. Hari ini ia hanya makan sekali—pagi, nasi bungkus tanpa lauk seharga tiga ribu rupiah. Sore dan malam ia hanya minum air putih dari keran.
"Kenapa... kenapa tidak ada yang mau menerima aku..." bisiknya pelan, suaranya bergetar. "Aku mau bekerja keras. Aku siap kerja apa saja. Tapi kenapa tidak ada yang
lama" ngeselin fajar.
kok demi hemat fajar ga bawa sepeda ke kampus?
kalaw jalan kaki bukan nya hemat malah lebih boros di waktu dan tenaga.