Satu-satunya hal yang lebih buruk dari dunia yang rusak adalah mengetahui ada dunia lain yang tersembunyi di baliknya... dan dunia itu juga sama rusaknya.
Rania (21) adalah lulusan arsitektur terbaik di angkatannya. Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya sebagai kurir paket. Baginya, sarkasme adalah mekanisme pertahanan, dan kemalasan adalah bentuk protes diam-diam terhadap industri yang menghancurkan idealisme. Dia hanya ingin hidup tenang, mengabaikan dunia, dan membayar sewa tepat waktu.
Tapi dunia tidak mau mengabaikannya.
Semuanya dimulai dari hal-hal kecil. Bayangan yang bergerak sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Sensasi dingin yang menusuk di gedung-gedung tua. Distorsi aneh di udara yang hanya bisa dilihatnya, seolah-olah dia sedang melihat kota dari bawah permukaan air.
Rania segera menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Dia adalah satu-satunya yang bisa melihat "Dunia Cermin"-sebuah cetak biru kuno dan dingin yang bersembunyi tepat di balik realita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6: HIPOTESIS JAMUR HITAM
Kafe itu hening.
Satu-satunya suara adalah desisan pelan dari mesin espreso yang baru saja dimatikan oleh Reza, dan napas Rania yang pendek-pendek dan tercekat. Dia masih menunduk, mencengkeram tepi meja kayu solid itu seolah-olah itu adalah satu-satunya pelampung di lautan yang baru saja mencoba menelannya.
Reza berdiri kaku selama beberapa detik, tatapannya beralih dari sosok Rania yang gemetar ke jalanan di luar, lalu kembali lagi. Kata-kata terakhir Rania—*"Aku dalam masalah besar"*—tergantung di udara yang berbau kopi, berat dan nyata.
Dia bertindak.
Dia berjalan ke pintu depan, membalik tanda "BUKA" menjadi "TUTUP", dan mengunci slot kuningan yang berat itu.
"Oke," katanya, suaranya dipaksakan untuk tenang, seolah berbicara pada hewan yang terluka. "Oke, Ra. Kamu aman di sini. Tidak ada... tidak ada apa pun di sini."
Rania tidak menjawab. Dia hanya gemetar.
Reza menghilang ke ruang belakang. Dia kembali satu menit kemudian dengan segelas air putih dan sepasang sandal jepit hotel yang sudah usang.
"Minum," perintahnya, meletakkan gelas itu di atas meja. Airnya bergetar. "Dan pakai ini. Lantai bisa jadi kotor."
Rania menatap sandal jepit itu, lalu ke telapak kakinya yang kotor, hitam oleh aspal dan debu. Dia baru sadar betapa dinginnya kakinya. Dia menyelipkan kakinya ke sandal itu secara mekanis. Dia meraih gelas air dengan kedua tangan, membawanya ke bibirnya, dan meminumnya dalam satu tegukan panjang yang serakah. Air itu dingin dan *nyata*.
"Sekarang," kata Reza, menarik kursi dari meja seberang dan duduk di hadapannya, menjaga jarak aman. "Mulai dari awal. Pelan-pelan. Apa yang kamu lihat?"
Rania menelan ludah. Dia menatap mata Reza yang tulus dan khawatir di balik kacamata tebalnya. Dia ingin memberitahunya. Dia *perlu* memberitahunya.
"Aku..." suaranya serak. Dia berdeham. "Aku di apartemen. Tadi pagi. Langit-langitnya... retak."
"Oke," kata Reza, mengangguk pelan. "Apartemenmu tua, Ra. Wajar."
"Tidak." Rania menggelengkan kepalanya dengan keras. "Tidak wajar. Retakannya... dingin. Seperti porselen. Dan... dan benda itu *bocor*, Za. Cairan hitam kental. Baunya seperti... petir."
Mata Reza melebar sedikit, tapi dia tetap diam.
"Aku lari," lanjut Rania, kata-kata itu kini tumpah keluar. "Aku lari keluar. Aku pikir aku... aku gila. Aku pikir aku mengalami halusinasi. Aku pikir aku cuma *burnout*."
"Itu mungkin," kata Reza hati-hati. "Kamu memang kerja terlalu keras."
"TIDAK!" Suara Rania naik, sedikit histeris, membuat Reza tersentak. "Bukan itu! Karena saat aku di luar... aku melihatnya. Aku melihat *mereka*. Di mana-mana."
"Mereka siapa? Orang yang mengejarmu?"
Rania tertawa. Tawa itu adalah suara yang mengerikan, di ambang tangisan. "Bukan orang. Ikan."
Reza mengerutkan kening. "Ikan?"
"Ikan mas," bisik Rania. "Ikan mas koki raksasa. Sebesar bus. Sebesar... sebesar gerbong kereta. Mereka terbuat dari... cahaya. Oranye. Dan mereka berenang di udara. Mereka menembus gedung. Mereka... mereka ada di mana-mana, Za. Langit penuh dengan mereka. Dan kamu... kamu tidak bisa melihatnya."
Dia menatap Reza, putus asa, memohon agar Reza mengerti, memohon agar Reza bilang dia juga melihatnya.
Reza menatap Rania. Dia tidak tertawa. Dia tidak mengejek. Dia hanya terlihat sangat, sangat sedih. Dan takut.
Melihat ekspresi Reza, Rania hancur.
Dia tahu bagaimana kedengarannya. Dia mendengarkan kata-katanya sendiri. *Ikan mas seukuran bus*.
Diagnosisnya yang pertama kembali dengan kekuatan penuh. Psikosis. Skizofrenia. Dia sudah tamat.
Dia menundukkan kepalanya lagi, bahunya berguncang. "Aku gila," isaknya, air mata panas akhirnya menetes, membersihkan jejak kotoran di pipinya. "Za, aku gila. Aku benar-benar sudah gila."
Reza terdiam lama. Dia mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, otaknya yang selalu aktif bekerja keras.
"Oke," katanya akhirnya. "Oke, mari kita anggap kamu *tidak* gila. Mari kita anggap kamu... sakit. Sakit fisik."
Rania mengangkat kepalanya, air matanya membuat pandangannya kabur. "Apa bedanya?"
"Beda," kata Reza tegas. "Gila itu... permanen. Sakit itu... sementara. Ada penyebabnya. Ada obatnya. Mari kita runut." Dia berubah menjadi mode peneliti mitos urbannya. "Kapan ini mulai? Kapan pertama kali kamu merasa *aneh*?"
RANIA berpikir, mengusap hidungnya. "Kemarin. Setelah... setelah pekerjaan aneh yang kamu berikan itu. Toko antik."
Mata Reza berbinar. "Toko Antik Kuno Warisan. Pak Tua Yusuf."
"Ya," kata Rania. "Tempatnya pengap. Aneh. Dingin. Dan aku... aku menyentuh mangkuk tua berdebu di konternya. Setelah itu... semuanya jadi aneh. Refleksi yang *lag*. Mimpi *blueprint*. Dan pagi ini... langit-langitku bocor dan... ikan."
"Toko pengap," ulang Reza, lebih pada dirinya sendiri. Dia meraih laptop lamanya dari bawah konter, membukanya. Dia mulai mengetik dengan cepat.
"Za, apa yang kamu lakukan? Aku butuh psikiater, bukan Google."
"Ssst. Toko barang antik... bangunan tua tidak terawat... sindrom bangunan sakit..." Reza bergumam sambil terus mengetik. Dia mengklik beberapa tautan, memindai artikel-artikel ilmiah dan blog-blog *fringe science*.
Lalu dia berhenti.
"Ra," katanya, nadanya datar. "Kamu bilang tokonya pengap? Seperti apa baunya?"
"Seperti... debu," kata Rania. "Debu tua. Dan seperti... jamur. Sangat apek."
"Ya," kata Reza, membalikkan laptopnya agar Rania bisa melihat.
Di layar ada artikel dari jurnal medis, penuh dengan istilah-istilah teknis. Reza menunjuk ke satu paragraf yang dia tandai.
"Dengarkan ini," kata Reza, membacanya. "*Stachybotrys chartarum*, atau 'jamur hitam beracun', sering ditemukan di bangunan yang rusak karena air dan ventilasinya buruk. Paparan spora *mycotoxin* dalam konsentrasi tinggi... dapat menyebabkan gejala neurologis yang parah."
Rania membacanya bersamanya.
"...Gejala termasuk disorientasi, kebingungan, kecemasan akut, dan dalam kasus yang ekstrem, halusinasi visual dan taktil yang jelas... Pasien melaporkan melihat 'cahaya bergerak', 'pola geometris', dan mengalami 'gangguan persepsi sensorik'..."
Sebuah keheningan baru memenuhi kafe.
Rania menatap layar itu. Lalu menatap Reza.
Sebuah pelampung. Sebuah jangkar. Sebuah penjelasan *rasional*.
"Jamur," bisik Rania. Kata itu terasa enak di lidahnya. Masuk akal.
"Kamu masuk ke bangunan tua yang terkontaminasi," jelas Reza, suaranya kini penuh keyakinan. "Kamu menghirup spora beracun dalam dosis besar. Itu *meracuni* otakmu. Itu menjelaskan *segalanya*. Langit-langit yang bocor, refleksi yang salah, bau ozon... dan ya, bahkan ikan mas seukuran bus. Itu semua halusinasi... tapi halusinasi *kimiawi*. Bukan psikosis."
Rania merasakan gelombang kelegaan yang begitu besar hingga membuatnya lemas.
Dia tidak gila. Dia hanya... keracunan jamur.
"Ya," katanya, air mata kini adalah air mata kelegaan. "Ya, itu pasti. Itu... itu sangat logis."
Tentu saja, itu tidak menjelaskan *mengapa* langit-langitnya retak dengan pola yang sama persis seperti mangkuk itu, atau *mengapa* refleksinya tersenyum, atau *mengapa* ikan-ikan itu mengikuti denah kota. Tapi untuk saat ini, dia tidak peduli. Dia punya musuh yang bisa dia lawan: jamur.
"Oke," kata Rania, menyeka wajahnya. Dia menghabiskan airnya. "Oke. Jadi... apa yang harus kulakukan?"
"Pertama, kamu tidak kembali ke apartemen itu. Mungkin jamurnya sudah menyebar lewat ventilasi," kata Reza. "Kedua, kamu harus ke dokter. UGD. Katakan kamu terpapar jamur hitam beracun."
"Dokter," ulang Rania. Ya. Dia bisa melakukan itu.
"Kamu bisa menginap di tempatku malam ini. Di sofa," tawar Reza. "Setelah kita ke dokter."
Rania mengangguk, rasa terima kasihnya pada temannya yang aneh tapi brilian itu tak terhingga. Dia merasa seperti manusia lagi. Dia merasa... waras.
Dia bersandar di kursinya, kelelahan yang luar biasa kini mengambil alih sisa-sisa adrenalinnya.
Dia menatap ke luar jendela. Ke jalanan yang ramai.
Semuanya tampak normal. Tidak ada ikan. Tidak ada distorsi. Hanya lalu lintas pagi yang membosankan. Mungkin karena dia sudah tahu "penyebabnya", otaknya berhenti memproduksinya.
Dia tersenyum kecil. Senyum tulus pertama dalam dua puluh empat jam. "Terima kasih, Za. Kamu baru saja menyelamatkan hidupku."
"Tentu saja," kata Reza, menutup laptopnya. "Sekarang, biar aku buatkan kopi sungguhan. Kamu butuh kafein untuk melawan racun jamur itu."
Rania tertawa kecil. Dia mengawasi Reza yang berbalik badan menuju mesin espreso-nya.
Dia mengalihkan pandangannya kembali ke jendela, menikmati kenormalan itu.
Dia berkedip.
Dan untuk sepersekian detik—sepersekian detik yang terlalu singkat untuk diproses, tapi terlalu panjang untuk diabaikan—semuanya berubah.
Selama satu *frame* film yang membeku, dia tidak melihat jalanan.
Dia melihat *blueprint* oranye dari mimpinya, ditumpangkan di atas realitas.
Setiap tepi bangunan di seberang jalan, setiap bingkai jendela, setiap trotoar, bersinar dengan garis neon oranye yang presisi.
Dan di antara garis-garis itu, di tengah jalan, sebuah *glitch* sesaat memperlihatkan sisik raksasa dari ikan koi yang sedang melewatinya.
Rania menutup matanya rapat-rapat, dadanya sesak.
"Tidak," bisiknya pada dirinya sendiri. "Tidak. Itu cuma... efek sisa. Racunnya masih di sistemku. Cuma efek sisa."
Dia memaksa dirinya untuk tetap tenang. Dia tidak akan memberitahu Reza. Dia sudah punya jawaban. Dia akan berpegang teguh pada jawaban itu.
Jamur. Itu hanya jamur.