"Apakah kamu sudah menikah?" tanya Wira, teman satu kantor Binar. Seketika pertanyaan itu membuatnya terdiam beberapa saat. Di sana ada suaminya, Tama. Tama hanya terdiam sambil menikmati minumannya.
"Suamiku sudah meninggal," jawab Binar dengan santainya. Seketika Tama menatap lurus ke arah Binar. Tidak menyangka jika wanita itu akan mengatakan hal demikian, tapi tidak ada protes darinya. Dia tetap tenang meskipun dinyatakan meninggal oleh Binar, yang masih berstatus istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Akikaze, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kita Akhiri Saja
"Maaf sudah selalu merepotkan, Anda Pak," Ucap Binar di sela-sela pekerjaannya mendampingi Aksa bertemu dengan calon sponsor di mallnya. Sejak memutuskan hubungan kerja dengan Martin, praktis Aksa harus mencari sponsor pengganti untuk mallnya tersebut. Tidak mudah karena dari awal berdirinya, Martin adalan sponsor utama, penyandang dana terbesar untuk keberlangsungan mall tersebut.
"Kenapa selalu mengucap maaf?" Aksa berbalik badan sebelum masuk ke dalam lift untuk kembali masuk ke ruangannya. Binar berhenti mendadak, jika lanjut berjalan, bukan tidak mungkin dia akan menubruk Aksa. "Kamu tidak ada merepotkan saya, cuma pesan saya, kamu harus kerja profesional terlepas dari apa masalahmu, saya pun tidak mau tahu.
Aksa masuk ke dalam ruangannya yang sepi, Putra tidak berada di sana, sementara Binar juga kembali ke ruangannya yang tak jauh dari ruangan Aksa.
Aksa duduk di kursinya, membelakangi mejanya, ingatannya kembali pada penuturan Putra jika Binar memang sedang ada masalah pribadi.
"Dia sudah menikah, Pak," ujar Putra kala itu.
Aksa tidak mempermasalahkan status pada karyawannya, entah masih lajang atau sudah menikah, yang jelas dia ingin karyawannya profesional. Aksa memijit keningnya, dari tangisannya semalam sudah menjadi isyarat jika Binar memang tidak baik-baik saja.
"Jangan ikut campur," Aksa menegaskan pada dirinya sendiri.
Guyuran air dingin ke wajahnya malam itu membuat nafsu yang menguasai dirinya perlahan menghilang, dia mulai sadar dari pengaruh obat yang dicampurkan Martin di minumannya. Binar benar-benar di luar prediksi, berani menyiram air tepat di wajahnya, air dingin pula yang baru dia keluarkan dari lemari pendingin. Andai saja Binar tidak menyiramnya, maka satu skandal akan tercipta. Rasanya tidak mungkin karirnya akan baik-baik saja kalau dia memiliki skandal dengan istri orang.
Aksa mendengus. Para pewarta mulai teralihkan saat kedatangannya ke pesta itu dia ditemani oleh Binar, seorang wanita. Di mana pesta tersebut sebenarnya mayoritas didatangi oleh laki-laki, sesuai permintaan Martin.
Ini hanya soal balas budi, bukan yang lain. Aksa memegang dadanya meyakinkan dirinya. Rasanya tidak elok jika dia memperlakukan istimewa sekretarisnya itu.
Binar menerima panggilan telepon dari ponselnya, mendengarkan dengan seksama lawan bicara. Tidak ada kalimat yang keluar, yang ada hanya mendengarkan dengan seksama. Sungguh tidak dia sangka, musibah yang dia terima datang bertubi-tubi. Satu masalah dengan Tama belum beres, kini dia dihadapkan dengan berita jika Ibunya masuk ke rumah sakit karena serangan jantung. Ayahnya sendiri yang mengabarkan berita tersebut.
Sadar akan perekonomian keluarganya yang bukan orang kaya, Binar akan bertanggung jawab dengan biaya yang diperlukan. Untung saja dia sudah bekerja, walau tak ada tabungan lebih setidaknya dia akan menanggung semuanya.
Binar menelungkupkan wajahnya di atas meja. Ayahnya mengabarkan jika Ibunya sudah membaik, Binar tak perlu datang kesana. Meski hati tak tenang, Binar mengiyakan apa yang dipesankan oleh Ibunya itu.
Binar mendongak, kembali duduk dengan tegak. Tangannya kembali meraih ponselnya, membuka layar dan mengecek saldo yang masih dia punyai. Masih jauh dari cukup untuk membayar rumah sakit Ibunya, mau minta Tama juga tidak mungkin.
Binar berjalan gontai di area lobby, dia hendak pulang setelah memastikan semua kerjaannya selesai. Binar duduk di sebuah bangku yang ada di sekitar pintu masuk gedung. Menunggu ojek pesanannya tiba. Binar melihat sekeliling gedung, di depannya jalan raya di mana banyak orang lalu-lalang, di matanya mereka terlihat bahagia tanpa kesedihan apapun. Binar beberapa kali menarik nafas panjang.
Seseorang duduk di sebelahnya, dari aromanya dia sudah sangat hafal. Orang yang seharian ini dia hindari.
"Apa kamu sudah yakin dengan keputusan kamu, Bi?" tanya Tama tanpa menoleh, begitu juga Binar.
"Apa kamu tidak takut jika orang kantor ini tahu tentang kita dengan kamu duduk seperti ini?" Binar menjawab dengan balas bertanya dengan suara dingin. Tama terdiam sesaat. Binar mengecek ponselnya, dia kesal karena orderannya tiba-tiba dicancel. Tersirat rasa kecewa di wajahnya. "Besok, aku akan mengambil semua barang-barangku, silahkan kamu urus semuanya Mas," ucapnya tanpa ada keraguan sedikitpun. Tama menoleh ke samping.
"Bi..."
"Aku tidak akan menuntut apapun dari kamu, Mas."
Binar berdiri dan melangkah menuju ojek yang akhirnya berhasil dia pesan, Binar memakai helm dan meminta ojek tersebut lekas meninggalkan area gedung ini. Sepanjang perjalanan, Binar merasakan angin menerpa wajahnya, rambutnya bergoyang menari-nari bertarung dengan angin. Rasanya dia ingin berteriak sekencang-kencangnya. Dia amat yakin, tidak ada hal yang perlu dia pertahankan dengan laki-laki yang menikahinya setahun yang lalu itu. Binar tersenyum kecut, lalu menyeka bulir air matanya yang menetes di sudut matanya. Tapi dia tahu akan dirinya, dirinya tak akan menyerah dengan keadaan ini.
Binar baru saja selesai mandi, lalu berganti baju. Banyak juga baju yang dibawakan oleh Putra tadi pagi, bahkan dia belum perlu mengambil baju di rumah Tama. Tapi dia sudah bilang ke Tama bahwa besok dia akan mengambil barang-barangnya, meskipun ada rasa jijik yang menggelayutinya, maka mau tidka mau dia harus mengambilnya.
Binar duduk di teras rumah mungil yang dia sewa, sambil menikmati malam yang tenang, aroma kopi memenuhi indra penciumannya. Rumah sebelah nampak sepi, mungkin pemiliknya sudah istirahat karena ini sudah terlalu larut untuk sekedar ngobrol.
Binar menyesap kopinya, kemudian pandangannya kembali ke jalanan yang sudah mulai sepi dari para manusia yang tengah hendak menuju tujuan. Apa yang akan terjadi dengan keluarganya jika sampai tahu berita perpisahannya dengan suaminya nanti. Apakah Ibunya akan baik-baik saja? mengingat kini Ibunya tiba-tiba terkena penyakit jantung.
"Ibu tidak apa-apa Binar...kamu sehat kan di sana?" terngiang kembali ucapan Ibunya sore tadi saat mereka melakukan panggilan video, wanita kesayangannya itu nampak lemah, tapi sudah terlihat bugar. Binar mengangguk memastikan jika dia baik-baik saja pada Ibunya.
"Binar baik-baik saja Bu...ibu jangan banyak fikiran ya biar ibu lekas pulih dan pulang bersama Ayah dalam keadaan sehaaaat banget," Binar menghibur.
"Nak Tama mana? belum pulang kerja kah dia?" Ibunya mencari Tama. Binar terdiam sesaat, sedang merangkai alasan yang pas.
"Ini masih sore Bu, mas Tama belum pulang. Ibu nitip salam ke mas Tama? nanti Binar sampaikan ke mas ya..."
Binar kembali menyesap kopinya hingga tinggal gelasnya saja. Binar menatap langit yang gelap, seolah tengah menggambarkan apa yang kini dia rasakan.
Rasanya tidak ada lagi adaptasi untuknya untuk hidup sendiri, bahkan dia mulai merasakan nyaman saat berada di kesunyian. Binar merapatkan selimutnya dan sudha bersiap untuk tidur, mengarungi malam yang pekat sepekat apa yang dirasakannya kini.