Sebuah kecelakaan tragis merenggut segalanya dari leon—kesehatan, kepercayaan diri, bahkan wanita yang dicintainya. Dulu ia adalah CEO muda paling bersinar di kotanya. Kini, ia hanya pria lumpuh yang terkurung dalam kamar, membiarkan amarah dan kesepian melumpuhkan jiwanya.
Satu demi satu perawat angkat kaki, tak sanggup menghadapi sikap Leon yang dingin, sinis, dan mudah meledak. Hingga muncullah seorang gadis muda, seorang suster baru yang lemah lembut namun penuh keteguhan hati.
Ia datang bukan hanya membawa perawatan medis, tapi juga ketulusan dan harapan.
Mampukah ia menembus dinding hati Leon yang membeku?
Atau justru akan pergi seperti yang lain, meninggalkan pria itu semakin tenggelam dalam luka dan kehilangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 Ancaman
Sejak sore, Nayla sudah dipoles oleh makeup artis profesional yang didatangkan langsung oleh Leon. Pria itu ingin Nayla tampil luar biasa malam ini, bukan hanya untuk dikenalkan sebagai kekasihnya di hadapan para rekan bisnis, tetapi juga sebagai pembuktian bahwa ia telah bahagia dan sepenuhnya melupakan Clarissa. Leon cukup yakin, Clarissa akan hadir di pesta ulang tahun pernikahan Tuan Jason.
Leon sendiri telah bersiap dalam balutan setelan Jaz hitam yang membingkai tubuh tegapnya dengan sempurna. Meski duduk di kursi roda, ia tetap tampak gagah dan memancarkan wibawa. Di depan cermin, Leon merapikan dasi kupu-kupunya, tersenyum tipis melihat bayangannya sendiri. Tak ada lagi rasa rendah diri seperti dulu. Semenjak Nayla hadir, hidup dan kepercayaan dirinya berubah drastis.
Begitu merasa penampilannya sempurna, Leon keluar dari kamar dan menuju ke depan pintu kamar Nayla. Ia mengetuk pelan. Yang membukakan pintu adalah makeup artis Nayla.
“Maaf, Tuan Leon. Nona Nayla belum selesai dirias. Mohon tunggu sebentar lagi,” ujar sang perias sopan sebelum menutup kembali pintu.
Leon mengangguk. “Iya, tidak apa-apa.” Meski sebenarnya dia mulai tidak sabar.
Ia duduk di kursi rodanya dengan pandangan kosong ke arah pintu. Diam-diam Leon tersenyum menyadari satu hal, untuk pertama kalinya, ia rela menunggu wanita selama ini hanya untuk melihat hasil akhirnya.
"Kalau sampai nggak cantik, awas saja," gumamnya pelan, pura-pura kesal padahal hatinya penuh rasa penasaran.
Beberapa menit kemudian, pintu kamar terbuka. Seorang wanita keluar dengan anggun, menggandeng tangan perias yang tadi. Nayla tampak luar biasa cantik dalam balutan gaun yang mereka pilih dibutik kemarin. Riasannya terlihat natural namun elegan, memunculkan kesan manis dan dewasa. Rambut panjangnya ditata dalam sanggul rendah beraksen gelombang lembut, dihiasi jepit bunga kristal kecil yang membuatnya tampak seperti putri bangsawan.
Leon terdiam. Matanya membulat, mulutnya sedikit menganga. Jantungnya berdebar tidak karuan, badannya mendadak dingin dan hangat secara bersamaan. Nayla, gadis yang bisa dengan mudah membuatnya gugup, kini berdiri di hadapannya dalam penampilan paling memukau.
“Bagaimana, Tuan? Cantik, kan?” tanya perias sambil tersenyum bangga.
Leon berdeham, berusaha menyembunyikan kekagumannya. “Ya... lumayanlah,” jawabnya datar, meski dalam hati ia sangat takjub.
Nayla langsung cemberut. “Lumayan?” ucapnya kesal dalam hati . “aku berdandan lama, dan cuma dibilang ‘lumayan’?”
Leon hanya terkekeh pelan, melihat ekspresi Nayla. Lalu segera mengalihkan perhatian. “Ayo kita berangkat. Jangan sampai terlambat.”
“Baik, Tuan... eh, Sayang.” Nayla hampir lupa dengan peran yang harus ia mainkan malam ini.
Tanpa mereka sadari, dari kejauhan, seseorang tengah memandangi Nayla dengan tatapan tajam penuh ketertarikan. Pria itu begitu terpesona hingga hasrat untuk memiliki Nayla semakin membara. Malam ini, rencananya akan mulai dijalankan.
Di dalam mobil, suasana hening namun penuh kehangatan. Leon tak henti mencuri-curi pandang ke arah Nayla. Gadis itu terlalu cantik untuk diabaikan malam ini. Sementara Nayla pun beberapa kali melirik Leon. Saat pandangan mereka bertemu, keduanya buru-buru membuang muka.
“Uh, anak-anak ini,” Rafa yang menyetir di depan sampai menggeleng sambil tersenyum geli melihat tingkah dua orang di belakangnya lewat kaca spion.
Setibanya di lokasi acara, Rafa mendorong kursi roda Leon, sedangkan Nayla berjalan di samping mereka. Kehadiran pasangan itu langsung mencuri perhatian tamu undangan. Tak terkecuali Clarissa yang telah lebih dulu hadir. Wajahnya berubah kaku melihat Leon bersama seorang wanita cantik yang menggandeng tangannya.
Tuan Jason, pria paruh baya yang menjadi tuan rumah, turun langsung menyambut mereka. Wajahnya penuh suka cita.
“Leon! Terima kasih sudah datang,” sambut Tuan Jason dengan ramah. “Senang sekali rasanya melihatmu di sini.”
“Terima kasih atas undangannya, Tuan Jason.”
Sang istri Tuan Jason juga menyapa Nayla dengan hangat. “Kau pasti Nayla? Senang bertemu denganmu. Leon beruntung mendapatkan wanita secantik dan seanggun dirimu.”
“Terima kasih, Nyonya,” jawab Nayla dengan senyum sopan.
Saat Leon memperkenalkan Nayla sebagai kekasihnya, pasangan Jason pun mendo'akan kebahagiaan mereka dan berharap hubungan itu berlanjut ke jenjang pernikahan.
Setelah perkenalan selesai, Leon berbisik, “Kalau kau merasa tidak nyaman, beri tahu aku. Kita bisa langsung pulang.”
Nayla tersenyum. “Tenang saja, aku masih nyaman di sini.”
Leon mengangguk. “Baiklah. Tapi kalau nanti aku sudah bisa berjalan, aku ingin mengajakmu berdansa di pesta seperti ini.”
Nayla menoleh. “Tentu saja. Aku yakin kau akan bisa berjalan lagi.”
Beberapa rekan bisnis mulai menghampiri Leon, mengajak bicara soal proyek kerja sama dan bisnis lainnya.Tentu saja Nayla tidak paham apa yang mereka bicarakan, jadi ia memutuskan mengambil minuman dan cemilan yang telah disediakan.
Namun dari kejauhan, Clarissa yang sedari tadi memperhatikan mereka, langsung melangkah mengikuti Nayla. Ia tidak sendiri, dua temannya ikut serta.
“Hai, calon Nyonya Mahesa,” sapa Clarissa dengan senyum palsu.
“Oh, ini kekasih barunya Tuan Leon? Cantik juga. Siapa namamu?” tanya salah satu temannya sambil menatap sinis.
Nayla diam. Ia tahu arah pembicaraan ini tidak akan menyenangkan.
“Namanya Nayla,” jawab Clarissa cepat. “Tapi aku tidak tahu nama belakangnya. Sepertinya bukan dari keluarga terpandang atau pengusaha. Tak ada yang kenal juga. Aneh ya?”
“Dari keluarga mana, Nayla? Apakah orang tuamu pengusaha juga?” tanya temannya yang lain.
Clarissa menyela dengan suara keras, “Sepertinya bukan. Lagipula, kalian tahu nggak kenapa Leon bisa sampai menjadikannya kekasih? Karena mereka pernah tidur bersama. Dia sendiri yang bilang ke aku, kan Nayla?”
Teman-temannya sontak terkejut. “Tidur bersama?! Serius?”
Clarissa mengangguk puas. “Iya, memang dia seperti itu. Wanita seperti ini bisa apa lagi untuk mendapatkan pria seperti Leon? Kalian tahu kan, Leon sekarang sudah cacat. Tapi wanita yang haus harta tidak akan peduli. Yang penting uang!”
Komentar-komentar itu membuat Nayla memerah, bukan karena malu, tapi karena marah. Ia tak tahan lagi.
“Aku—”
Namun sebelum sempat Nayla membalas, suara familiar terdengar.
“Sayang…”
Leon tiba-tiba datang menghampiri dan langsung menggenggam tangan Nayla. “Aku mencari-cari kamu.”
Ia lalu mengecup tangan Nayla lembut, tanpa memedulikan kehadiran Clarissa dan teman-temannya.
“Ada apa? Wajahmu tampak kesal,” tanya Leon, mengerutkan kening.
Nayla menghela napas. “Tadi mereka bertanya macam-macam soal aku. Aku hanya ingin menjelaskan bahwa hubungan kita bukan karena harta, tapi karena kita saling mencintai.”
Leon tertawa kecil, lalu sekali lagi mengecup tangan Nayla.
“Biarkan saja, Sayang. Mereka bebas berprasangka. Yang penting, aku tahu kamu tulus. Dan jika kamu memang menginginkan hartaku, aku rela memberikannya. Apalagi… tidak lama lagi kita akan menikah.”
Nayla menoleh cepat. “Menikah?” pikirnya dalam hati. “apa ini tidak berlebihan."
Leon lalu memandang Clarissa dan berkata tegas, “Jangan ganggu calon istriku lagi. Jika kalian berani mengulanginya, aku tidak akan segan memutus semua kerja sama dengan perusahaan kalian.”
Setelah itu, Leon langsung menggandeng Nayla pergi, meninggalkan Clarissa dan teman-temannya yang terdiam dengan wajah tercoreng malu. --- Perjalanan pulang mereka diwarnai dengan keheningan. Nayla duduk dengan pandangan menerawang ke luar jendela mobil. Kata-kata Clarissa terus terngiang di telinganya. "Perempuan seperti kau hanya mengincar harta pria seperti Leon." Tuduhan itu terasa menampar. Nayla bukan wanita seperti itu, dan ia terluka karena Clarissa begitu meremehkannya.
Sesampainya di rumah sekitar pukul sepuluh malam, Nayla membantu Leon kembali ke kamarnya. Setelah memastikan Leon nyaman di tempat tidur, Nayla berpamitan. Namun, saat ia hendak berbalik pergi, tangan Leon menahan pergelangan tangannya.
"Nayla..." panggil Leon lembut, matanya menatap dalam, seolah ingin menembus gundah di balik wajah gadis itu. "Jangan kau hiraukan apa yang dikatakan Clarissa tadi. Kau tak perlu takut... Aku akan selalu ada untukmu."
Kata-kata itu, meski singkat, mampu menenangkan badai di hati Nayla. Ia menatap Leon, lalu tersenyum tulus.
"Terima kasih, Tuan. Selamat malam."
Nayla keluar, melangkah menuju kamarnya. Ia membersihkan diri dan menghapus sisa make-up di wajahnya. Saat hendak berbaring, ia menyadari gelas di nakasnya kosong. Dengan langkah ringan, Nayla turun ke dapur untuk mengisi air.
Namun, baru saja menginjak lantai bawah, suara seseorang memanggilnya.
"Nayla! Kebetulan sekali, aku baru mau ke kamarmu."
Nayla menoleh. Lisa berdiri di ujung lorong dengan senyum ramah, sikap yang terasa asing baginya.
"Ada apa, Lisa?" tanya Nayla, sedikit curiga.
"Aku mau ajak kamu ke taman rumah belakang. Salah satu pekerja kita sedang ulang tahun. Kami buat pesta kecil-kecilan. Yuk, ikut!"
Nayla sebenarnya lelah, namun tak enak hati jika menolak.
"Baiklah. Kau duluan saja, nanti aku susul," jawab Nayla.
Sebelum pergi, Nayla memutuskan untuk memberi tahu Leon. Ia tidak ingin Leon mencari-carinya dan justru khawatir.
"Tuan," panggil Nayla pelan sambil mengetuk dan mendorong pintu kamar. "Apakah Tuan sudah tidur?"
Leon yang masih terjaga segera menjawab, "Belum. Ada apa?"
"Saya barusan bertemu Lisa. Katanya ada pesta kecil di taman rumah belakang untuk merayakan ulang tahun salah satu pekerja. Saya diundang ke sana."
Leon diam sejenak, lalu mengangguk. "Pergilah. Tapi jangan terlalu lama."
"Baik, Tuan. Terima kasih."
Nayla pergi ke taman yang dimaksud. Pesta sederhana itu sudah berlangsung. Beberapa pekerja tertawa sambil menikmati camilan ringan dan musik yang mengalun pelan.
"Nayla!" Lisa kembali mendekat. "Temani aku ke dalam rumah sebentar, ya. Aku lupa ambil kado yang masih di kamarku."
Nayla menurut. Mereka berjalan bersama menuju rumah pekerja. Namun, sebelum sampai di kamar, Lisa mendadak berhenti dan memegangi perutnya.
"Aduh... perutku sakit. Bisakah kamu ambilkan saja kadonya? Di atas meja, kotak pink."
Nayla sempat ragu. "Masuk ke kamar orang lain,,, rasanya tak enak."
"Tolonglah, Nayla. Aku benar-benar nggak tahan," desak Lisa, ekspresinya memelas.
Akhirnya Nayla masuk. Ia melihat kotak pink yang dimaksud dan segera mengambilnya. Tapi saat hendak berbalik keluar, pintu kamar mendadak tertutup dengan keras.
Nayla menoleh. Matanya membelalak melihat Dika berdiri di depan pintu dengan senyum mengerikan.
"Dika? Apa yang kamu lakukan?" tanyanya waspada. "Kenapa kau tutup pintunya?"
"Aku hanya ingin... menghabiskan malam denganmu, Nayla."
"Apa maksudmu?!"
"Aku sangat mencintaimu, dan ingin memilikimu. Tapi kau tak pernah melihatku. Hanya dengan cara ini aku bisa memilikimu."
Nayla segera berbalik dan mencoba berteriak. Namun Dika bergerak cepat, mendekap mulut Nayla dengan tangan besar dan kuatnya. Dalam sekejap, ia melakban mulut dan tangan Nayla lalu mengikatnya di tiang ranjang. Nayla berjuang, matanya penuh air mata dan ketakutan.
Sementara itu, Leon yang masih berada di kamarnya tak bisa tidur. Perasaan tidak enak menghantam dadanya berkali-kali.
"Apa ini?" gumamnya, memegang dada. "Kenapa aku merasa... Nayla dalam bahaya?"
Tanpa pikir panjang, Leon menggerakkan kursi rodanya keluar kamar. Di dapur, ia bertemu Paman Juan yang terlihat terkejut.
"Tuan? Malam-malam begini mau ke mana?"
"Aku harus mencari Nayla. Perasaanku tidak tenang."
Leon melaju ke arah taman belakang, namun langkahnya terhenti saat melihat pintu rumah pekerja terbuka. Tanpa ragu, ia masuk dan melihat sekeliling, sepi. Tapi pandangannya terpaku pada satu kamar yang pintunya tidak tertutup rapat.
Dengan hati-hati, Leon mendorong pintu. Pemandangan di depannya membuat napasnya tercekat.
Matanya membelalak, tubuhnya membeku.
"DIKA!!!" seru Leon, suaranya menggema keras di dalam kamar.
tak ada gangguan apa pun
dan Segera bisa jln untuk mempelai pria nya
lanjut thor ceritanya
do tunggu up nya
lanjut bacanya
mungkin ini karena masih Leon yg dingin dan nayla polos dan pemalu,
up yg rutin thoor