WARNING❗
CERITA INI BUAT YANG MAU-MAU SAJA.
TIDAK WAJIB BACA JUGA BILA TAK SUKA.
⚠️⚠️⚠️
Setelah hampir satu tahun menjalani pernikahan, Leon baru tahu jika selama ini sang istri tak pernah menginginkan hadirnya anak diantara mereka.
Pilihan Agnes untuk childfree membuat hubungannya dengan sang suami semakin renggang dari hari ke hari.
Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Debby, sahabat Leon yang sekian lama menaruh rasa yang tak biasa pada Leon.
Badai perpisahan pun tak bisa mereka hindari.
Tapi, bagaimana jika beberapa tahun kemudian, semesta membuat mereka kembali berada di bawah langit yang sama?
Bagaimana reaksi Leon ketika tahu bahwa setelah berpisah dari istrinya, Leon tak hanya bergelar duda, tapi juga seorang ayah?
Sementara keadaan tak lagi sama seperti dulu.
"Tega kamu menyembunyikan keberadaan anakku, Nes." -Leonardo Alexander-
"Aku tak pernah bermaksud menyembunyikannya, tapi ... " -Leony Agnes-
"Mom, where's my dad?" -Alvaro Xzander-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sekolah Baru
#06
Bel rumah berbunyi, Al segera berlari ke arah pintu, seolah tahu siapa yang datang pagi-pagi.
“Uncle!”
“Hai, Jagoan! Sudah siap sekolah?”
Rama menyapa Al dengan akrab, karena hanya pria itu yang Al kenal sejak kecil, bahkan tak jarang menggantikan peran ayah dalam hidup Al. Hingga Agnes tak perlu bersusah payah melakukan tugas yang seharusnya diemban sang mantan suami.
Agnes sudah menutup lembaran masa lalunya bersama Leon, kini ia tengah menjalin hubungan dengan Rama yang menjadi atasannya. Sang pengusaha restoran itu, terpikat dengan Al ketika suatu hari ia tak sengaja mengantar Agnes yang panik karena putranya masuk IGD akibat reaksi alergi.
“Sudah, Uncle. Ayo, kita berangkat sekarang!” ajak Al bersemangat.
“Al— biar Uncle sarapan dulu, Nak.”
“Oh, iya, lupa. Ayo Uncle, hari ini Mommy masak nasi goreng lagi, tapi aku tak mau. Jadilah aku makan roti panggang, enyaakk!”
Rama tersenyum melihat tingkah Al yang lucu dan menggemaskan, anak itu telah memikat hatinya, jauh sebelum Rama terpikat pada ibunya. “Ah, Uncle asli indonesia, makan pagi ya nasi goreng, nasi uduk, nasi kuning, ketoprak, bubur ayam—”
“Iiihh itu makanan tinggi lemak, tinggi kalori, dan rendah serat, aku tak mau.” Al menolak sarapan berat semacam itu di pagi hari.
“Cerewet sekali kamu—” gumam Agnes, tapi juga gemas dengan gaya Al berceloteh.
“Mom, besok aku mau sarapan buah lagi,” pinta Al, membuat senyum di bibir Agnes menghilang.
Wanita itu menarik nafas berat, sarapan buah adalah kebiasaan mantan ibu mertuanya, dan kini, menurun ke Al yang sering menolak makanan berat di pagi hari.
“Iya,” jawab Agnes dengan senyum, namun, kedua matanya berkaca-kaca.
“Tante, biar aku yang antar jemput Al ke sekolah, karena pekerjaanku cukup fleksibel,” kata Rama pada Mama Wina.
“Syukurlah, Mama bisa membereskan barang-barang di rumah, belum semua keluar dari koper.”
“Tante, harus banyak istirahat, nanti tunggu ART baru saja, aku masih menunggu kabar dari agen penyalur ART, semoga tak lama.”
“Percuma, di kasih tahu, Mas. Mama tak akan mau dengar,” sela Agnes, tahu karena Mama Wina memang tak bisa diam tanpa aktivitas di dalam rumah.
“Iya, toh. Mama bisa linu-linu kalau hanya diam saja,” sungut Mama Wina.
Rama tersenyum, “Iya, juga, Tante. Tapi jangan ekstrim, ya, aktivitasnya.”
“Itu sudah pasti, Tante sudah tahu batasannya, kok.”
Beberapa saat kemudian, Al pun pergi sekolah dengan diantar Rama, karena Agnes masih harus mengurus persiapan pembukaan tokonya.
“Bye, Jagoan, have fun di sekolah, ya?” pesan Rama, pada Al. Pria itu tak lupa merapikan pakaian serta rambut Al yang sedikit berantakan.
“Okay, Uncle,” balas Al dengan tawa cerianya. Bocah itu pun melambai, dan dengan percaya diri masuk ke halaman sekolah barunya.
Sementara tak jauh dari mereka salah seorang murid TK yang sama juga baru turun dari mobil, bedanya gadis kecil itu diantar kedua orang tuanya.
Sesaat Al terkesima melihat pemandangan tersebut, karena sejak lahir, ia tak pernah tahu siapa ayah kandungnya.
Pernah ia bertanya pada mommy-nya.
•••
“Mom, Where's my dad?”
“Daddy, tinggal terpisah jauh dari Mommy dan Al.”
Anak sepintar Al tak mungkin hanya mencerna jawaban sederhana itu begitu saja, “Kenapa jauh, itu fatih, dan shofia tinggal dengan ayah dan ibu mereka, kenapa aku tidak?”
“Karena dulu, sebelum Al lahir, Mommy dan Daddy sudah sepakat hidup terpisah. Tapi jangan khawatir, Mommy janji, suatu saat Mommy akan membawa Al bertemu Daddy.”
Dengan hati yang pedih Agnes menjawab, betapa Agnes merasa berdosa pada putra semata wayangnya tersebut. Dulu dirinya yang tak mengharap kehadiran anak, hingga ia dan suaminya terpaksa berpisah karena perbedaan keinginan tersebut.
Kini, setelah Al hadir, semua sudah terlambat, hidup Al seperti puzzle yang kehilangan beberapa kepingannya, tak akan pernah menjadi gambar keluarga sempurna seperti yang ia inginkan.
Agnes pun memeluk Al, menahan sesak dan air mata yang hendak membuncah, “Please, don't cry, Mom. Al janji tak akan bertanya soal Daddy lagi.”
“I'm so sorry, Jagoan,” bisik Agnes.
•••
Sejak saat itu, Al tak pernah lagi bertanya hingga kini, takut sang mommy sedih dan murung kembali.
Sementara itu.
“Bye, cantik. Belajar yang pintar, ya?” pesan Adhis ketika Mayra hendak melangkah. Tak disangka gadis kecil itu kembali memutar tubuhnya.
“Nnda, namanya cekolah memang halyus jadi pintal, maca halus diulyang lyagi, Nnda kulyang klyeatip, nih.” Mayra melengos, Adhis tercengang, sementara suaminya tertawa geli.
Adhis heran, “Salahku dimana, sih? Kadang aku berpikir dia bukan anakku, tapi musuhku sendiri.”
Dean merangkul pundak istrinya, tersenyum penuh penghiburan, agar istrinya tak terbawa bad mood hanya karena tingkah putri kecil mereka. “Dia anakmu, Sayang, Anak kita. Tapi dia tumbuh dilingkungan yang keras diantara saudara laki-laki, jadi maklumilah jika ia sedikit jutek.”
Adhis hanya bisa berdecak, mau bagaimana lagi, tapi anak gadisnya menjadi kesayangan opa dan oma-nya karena menjadi satu-satunya cucu perempuan Opa Andre dan Oma Bella hingga saat ini.
“Ayo, kita pulang, aku ngantuk sekali,” keluh Dean, ia baru pulang jaga malam. “Syukurlah, nanti siang Leon bersedia jemput Mayra.”
“Lho, kok—”
“Katanya mereka mau kencan.”
Adhis hanya tersenyum sambil menggeleng. “Paling mau borong jajanan lagi.”
“Biarkan saja, uang Leon tak akan habis jika hanya untuk memborong isi minimarket,” kekeh Dean, seraya membukakan pintu mobil untuk sang wanita kesayangannya.
•••
“Selamat pagi, Teman-teman,” sapa Bu Tyas pada anak-anak yang tahun ini menjadi murid barunya.
Kelas terasa sunyi, tak ada satupun yang menjawab, sebagian besar karena perasaan ragu-ragu. Anak-anak lucu itu hanya saling menatap satu sama lain.
Bu Tyas tersenyum melihat reaksi murid-muridnya, “Kalau Ibu bilang, selamat pagi, Teman-teman, maka teman-teman boleh jawab, good morning! Mengerti semua?”
“Mengerti, Bu.”
“Wah, hebat, Teman-teman. Ayo Ibu ulang lagi, ya? Selamat pagi, Teman-teman.”
“Good morning!”
“Pintar, sekarang tepuk tangan untuk teman-teman hebat TK Mutiara Ibu.”
Bu Tyas bertepuk tangan dengan diiringi para murid yang ikut melakukan hal serupa. Bu Tyas mengajak anak-anak untuk membuka kelas pagi dengan berdoa bersama, sesudah itu melakukan gerakan ringan agar para murid bersemangat memulai pelajaran.
“Nah, setelah ini, Ibu akan memilih pasangan untuk kalian. Jadi sampai pulang sekolah nanti, kalian akan bekerja sama dengan pasangan kalian sebagai 1 tim yang kompak.”
“Tim yang paling kompak, akan mendapatkan hadiah dari Ibu. Setuju, Teman-teman?!” seru Bu Tyas dengan suara lantang.
“Setuju!”
“Silahkan Bu Ciki, Bu Raina, dan Bu Salsa.”
Para ibu guru tersebut, segera berpencar membagi murid-murid menjadi berpasang-pasangan dalam satu tim. Masing-masing tim terdiri dari satu anak laki-laki dan satu anak perempuan.
Begitu pula Mayra dan Al yang kebetulan menjadi satu tim, Mayra yang biasanya ceplas-ceplos dan mudah penasaran, langsung bertanya pada Al dengan suara cadel yang menjadi ciri khasnya.
“Kok, mata kita cama, cih, walnana bilu? Lambut juga cama,” cetus Mayra.