Kalandra merupakan siswa pintar di sekolah dia selalu datang tepat waktu, Kalandra bertekad untuk selalu membahagiakan ibunya yang selama ini sendiri menghidupinya. Kalandara ingin memiliki istri yang sifatnya sama seperti ibunya dan setelah dia berkata seperti itu, ternyata semesta mendengar doanya Kalandra bertemu seorang gadis cantik ketika dia membaca buku di perpustakaan. Kalandra terpesona oleh gadis itu yang belakangan di ketahui bernama Aretha. Apakah Aretha juga punya perasaan yang sama seperti Yang Kalandra rasakan. Jangan lupa selalu tunggu cerita menarik dari Kalandra dan Aretha ya...!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hani Syahada, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6 CPPP
Aku pun segera mengucapkan kalimat “sampai jumpa” untuk mengakhiri pembicaraan ini, karena aku tidak hanya merasakan ingin pipis tetapi perutku juga tiba-tiba mules sepertinya ini panggilan alam, aku pun segera membuka pintu kamar mandi tetapi di saat ingin buang air besar, ternyata air PDAM-ku mati, sehingga aku harus balik lagi untuk menyalakannya.
Aku tidak tahu siapa yang tiba-tiba mematikan putaran air PDAM ini, yang membuat kegiatanku terganggu, karena sudah dari kemarin air PDAM-ku menyala kemudian mati.
Aku curiga kalau ada orang yang usil, maklum saja air PDAM-ku jauh dari rumah, kenapa bisa begitu karena rumahku seperti bukit yang menjulang tinggi sehingga aliran air tidak bisa lancar mengalir ke rumah, dan membuatku harus turun ke bawah untuk menyalakannya.
Namun yang membuat aku makin kesal adalah kenapa air PDAM-nya harus mati sekarang di saat perutku mules karena tegang, aku pun berbicara kepada ibuku tentang masalah ini.
“Ibu, air PDAM-nya mati lagi! Andra sudah capek bolak-balik bu, siapa sih.. Yang usil sama kita bu? Kenapa mereka menyala matikan PDAM kita, sudah tahu air itu penting! Tapi kenapa masih saja ada orang yang usil!”
Ucapku dengan rasa kesal sampai ke ubun-ubun karena masalah air ini.
Aku sebenarnya sudah melaporkan masalah ini ke pada pengelola PDAM-nya namun sampai sekarang belum ada tanggapan, padahal aku sudah mengajukan komplen dari bulan lalu, tapi sampai saat ini laporan itu belum juga di gubris.
Aku mencoba menanyakan kepada warga lain soal air PDAM ini, namun kata mereka lebih baik aku mengganti saja air PDAM dengan air sumur karena kebetulan di belakang rumahku ada sumur yang di buat oleh ayahku ketika menikah dulu, tetapi semenjak ayahku meninggal sumur itu tidak pernah di pakai lagi oleh ibuku.
Aku pun berbicara dengannya lagi.
“Jadi bagaimana ini bu, kalau di biarkan terus-menerus kita hanya akan rugi karena membayar PDAM tanpa memakainya!”
Ucapku dengan nada sedih karena tanggapanku tentang air PDAM tidak pernah di gubris oleh pihak pengelolanya.
Apa karena di rumahku hanya tinggal berdua jadi mereka seenaknya meremehkan masalah air ini.
“Maaf ya... Nak, gara-gara ini kamu jadi sedih! Ibu akan berbicara sama pihak pengelola PDAM untuk mencabut saja PDAM kita dan beralih ke sumur di belakang rumah, karena ibu juga sudah melihat kemarin sumur kita sangat jernih dan bisa di rebus untuk di konsumsi, awalnya ibu ragu untuk menggunakannya tapi sekarang tidak lagi! Ibu juga akan membeli pompa air untuk sumur kita!”
Ucap ibuku yang berusaha menenangkan amarahku.
“Baik bu, Andra akan ikuti saran ibu! Maaf ya... Bu, Andra jadi kesal begini!”
Aku merasa bersalah setelah memperlihatkan kekecewaanku kepada ibu karena sebelumnya aku tidak pernah sekesal ini, hanya karena masalah PDAM, ibuku juga harus membeli pompa air lagi untuk menganti PDAM.
Ibuku tidak pernah memperlihatkan rasa kecewa atau pun kesal di raut wajahnya dan yang aku lihat hanya senyum manis di bibir serta dahi yang mulai terlihat keriput karena usia, dahi yang keriput menandakan sudah berapa banyak masalah dan rintangan yang ibu alami sampai sekarang, apalagi ayahku sudah tidak ada tentu hanya ibulah yang menanggung beban berat tersebut.
Namun ibuku tidak pernah memperlihatkan rasa sedihnya sedikit pun meski dengan anaknya sendiri, aku kemudian memeluk ibu dengan perasaan bangga karena punya ibu sebaik dirinya.
“Nak, kamu kenapa kok, tiba-tiba peluk ibu? Ucapnya bingung karena selama ini aku tidak pernah memperlihatkan rasa sayangku secara langsung.
“Aku ingin peluk ibu saja, karena ibu selalu menemaniku! Terima kasih ya... Bu, selalu ada untukku!” ucapku sambil menangis di pelukan ibu dan tidak terasa air mataku membasahi pipi.
“Iya nak, sebagai orang tua sudah sepantasnya ibu melakukan ini, karena ini tanggung jawab ibu! Suatu saat ketika kamu sudah menikah kamu akan mengerti! Oh iya... Nak, bukannya kamu ada janji ya.. sama Aretha di danau Bara-bara besok! Ibu akan mempersiapkan baju yang bagus untukmu!”
Ucap ibu dengan sangat antusias jika menyangkut Aretha.
Aku pun yang awalnya menangis, tiba-tiba saja terdiam karena kaget serta heran tentang bagaimana bisa ibuku tahu kalau aku ada janji dengan Aretha besok, bukannya tadi aku hanya berbicara di telepon tapi bagaimana bisa ibu tahu, apa mungkin Aretha yang memberi tahu tapi masak iya Aretha yang memberi tahukan hal ini.
“Bagaimana bisa ibu tahu kalau aku ada janji dengan Aretha besok!”
Ucapku dengan penuh rasa penasaran, karena aku berbicara dengan Aretha di kamar jadi apa mungkin ibu mendengar percakapanku.
“Ibu tahu nak, karena Aretha sendiri yang bilang sama ibu, kalau kalian akan janjian di danau Bara-bara! Bahkan ibu juga di ajak oleh Aretha untuk sama-sama pergi ke sana, tapi ibu menolak! Karena ibu tahu kamu ingin berbicara berdua dengannya!” ucap ibuku sambil menggodaku.
Jadi ternyata tebakanku benar kalau Aretha-lah yang memberi tahu ibuku, tapi apa dia tidak mengetahui kalau laki-laki dan perempuan tidak ada yang namanya pertemanan murni karena salah satunya pasti akan timbul rasa suka. Lalu kenapa dia mengajak aku kesana, kalau dia juga mengajak ibuku, apa mungkin ini hanya sekedar rasa penasarannya tentang danau itu.
Jadi apa yang aku pikirkan tentang rasa ini, hanya terjadi padaku saja dan dia tidak, atau dia benar-benar hanya menganggap aku sebagai temannya tapi kan memang dari awal dia bilang begitu.
Aku saja yang terlalu banyak berharap lebih. Namun tidak apa-apa jika dia nantinya tidak punya rasa yang sama, yang penting aku tetap berbicara kepadanya tentang rasa ini, meskipun nanti jawaban dia tidak seperti yang aku harapkan, lebih baik aku mengungkapkanya dari pada nanti menyesal.
Apalagi setelah ini aku juga akan kuliah tentu pertemuan kita akan semakin sedikit, aku tidak tahu setelah ini dia lanjut kuliah di mana karena aku belum bertanya, apa nanti saja aku bertanya kepadanya apalagi ibuku sudah sangat antusias kalau sudah menyangkut soal Aretha, jangan-jangan ibuku sudah menganggap Aretha calon mantunya lagi, tapi kalau nanti dia menolak aku harus bagaimana, aku tidak boleh berpikir seperti itu takutnya nanti menjadi doa.
Lebih baik aku berdoa yang baik-baik saja agar hasilnya juga baik. Aku sangat menantikan pertemuan besok dan karena itu juga aku tidak bisa tidur, padahal biasanya setelah selesai belajar aku langsung tidur namun tidak tahu kenapa hari ini seperti ini, apa mungkin aku juga kepikiran soal perasaanku yang akan aku ungkapkan besok tapi bukanya aku dari tadi sudah memikirkannya.
Aku terus mengecek teleponku bolak-balik berharap dapat salam “selamat malam” dari Aretha dan setelah bolak-balik mengecek telepon tanpa sadar aku tertidur, dan ketika fajar tiba aku pun menyiapkan baju serta celana yang bagus untuk bertemu Aretha, ibuku juga tidak lupa memasak lebih awal, agar aku bisa makan lebih cepat dan setelah selesai makan aku pun berpamitan kepada ibuku serta memohon restu, agar setelah ini ibu mendapatkan calon menantu.