Pura-pura menikah dengan tetangga baru? Tentu bukan bagian dari rencana hidup Sheina Andara. Tapi semuanya berubah sejak tetangga barunya datang.
Davison Elian Sakawira, pria mapan berusia 32 tahun, lelah dengan desakan sang nenek yang terus menuntutnya untuk segera menikah. Demi ketenangan, ia memilih pindah ke sebuah rumah sederhana di pinggir kota. Namun, hari pertama justru dipenuhi kekacauan saat neneknya salah paham dan mengira Sheina Andara—tetangga barunya—adalah istri rahasia Davison.
Tak ingin mengecewakan sang nenek, Davison dan Sheina pun sepakat menjalani sandiwara pernikahan. Tapi saat perhatian kecil menjelma kenyamanan, dan tawa perlahan berubah menjadi debaran, masihkah keduanya sanggup bertahan dalam peran pura-pura?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rembulan Pagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. Langkah Sunyi Menuju Sheina
Davison tiba di hotel kecil yang terletak cukup strategis, tidak jauh dari pusat kota. Tempat ini memang bukan hotel mewah, tapi menurutnya sudah cukup nyaman sebagai tempat singgah sementara selama rumahnya direnovasi. Ia sudah mengantisipasi ketidaknyamanan di rumahnya, jadi memilih menginap di sini agar bisa beristirahat dengan tenang, sekaligus menghindari hiruk-pikuk tukang yang bekerja renovasi.
Setelah menyerahkan kartu identitas, petugas hotel memberikan kunci kamar untuk dua malam ke depan. Davison membawa tas yang sudah berisi pakaian dan beberapa keperluan lain, sebagai bekal jika perjalanan harus berlangsung lebih lama dari perkiraan. Ia sengaja menyiapkan segala sesuatu dengan matang, agar tidak repot jika harus keluar mendadak.
Belum sempat ia beristirahat, telepon genggamnya bergetar. Nama Ari muncul di layar. Ia mengangkatnya dengan sedikit rasa penasaran.
"Kenapa, Ri?" sapanya.
"Dev, barang-barang sudah aku pesan bareng istriku. Terus, dia bilang mau beli sofa, pakai uang kamu, boleh nggak?" tanya Ari dengan nada sedikit ragu tapi berharap Davison mengiyakan.
Tanpa pikir panjang, Davison menjawab, "Ya, beli aja. Kalau memang sudah urusan istri kamu, aku percaya."
"Oke, thanks sobatku."
"Oh ya Ri, soal pengantaran, atur besok lusa aja, soalnya besok rumah mau dicat dulu. Jadi biar nggak kena cat," jelas Davison
Ari tersenyum, "Oke, aku ngerti. Besok lusa aja pengantarannya."
Telepon berakhir. Davison memasukkan kembali ponselnya ke saku lalu melangkah menuju mobil. Tas yang dibawanya terasa agak berat, tapi itu sudah ia siapkan dari rumah. Pakaian yang cukup untuk beberapa hari ke depan, serta beberapa dokumen penting sudah ia susun rapi.
Sesampainya di kamar hotel, setelah meletakkan tas di atas tempat tidur, telepon genggamnya kembali berdering. Kali ini, yang menelepon adalah neneknya. Davison sudah mulai merasa ada sesuatu yang janggal. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mengangkat telepon.
"Kalian lagi di mana?" tanya nenek dengan suara penasaran.
"Di hotel," jawab Davison, berbohong tentang Sheina tapi tidak dengan dirinya.
"Sheina sudah tidur belum?" suara nenek terdengar riang di seberang sana.
Davison berpikir cepat dan menjawab, "Sheina lagi mandi, Nek."
Terdengar tawa nenek di ujung telepon. "Ini sudah jam delapan malam, Sheina baru mandi? Lagi ngapain kalian? Cicit nenek sebentar lagi bakal muncul, ya? Aduh, nenek nggak sabar nimang cicit."
Davison menghela napas panjang, merasa campur aduk antara lega dan sedikit cemas. "Nenek bilang mau lihat Dev menikah sebelum nenek meninggal. Sekarang nenek malah mau lihat cicit ditambah mau nimang lagi."
Neneknya terdengar sedikit kesal. "Lah, terus kenapa? Kalau nenek masih diberi umur, nenek mau lihat cicit, mau nimang cicit yang lucu. Ya sudah, nikmati waktu sana bareng istri kamu. Jangan buat nenek khawatir."
Telepon pun terputus. Davison menatap ponselnya beberapa saat, rasa lega perlahan menyusup, namun kekhawatiran tetap ada. Ia mulai berpikir, mungkin akan lebih baik kalau ia bisa mendapatkan nomor Sheina. Takut jika neneknya tiba-tiba menghubungi atau mengirim pesan ke Sheina dan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Ia meletakkan ponsel di meja, lalu menatap jendela kamar yang menampilkan pemandangan kota mulai gelap. Besok ia akan mengusahakan untuk bertemu dengan Sheina, agar semuanya bisa berjalan lancar dan tanpa kejutan yang tak diharapkan.
"Sheina Andara," gumam Davison.
Tangannya kembali meraih ponsel di meja. Kali ini bukan untuk mengirim pesan atau menelepon siapa pun. Jempolnya membuka aplikasi media sosial, lalu mulai mengetik:
Sheina Andara.
Beberapa nama muncul. Davison menggeser layar perlahan, matanya menelusuri satu per satu, hingga berhenti pada satu akun yang terasa familiar. Tidak ada foto profil, tidak ada bio mencolok. Hanya nama: Sheina A.
Dengan hati-hati, ia mengetuk profil itu.
Benar. Postingan pertamanya adalah foto Sheina, sendirian di sebuah toko buku. Pose diam, kepala sedikit menunduk sambil memegang buku bersampul cokelat tua. Tidak ada senyum lebar, tidak ada keterangan panjang. Hanya caption pendek:
"Tempat paling jujur adalah rak buku yang berdebu."
Davison terdiam beberapa detik. Ia terus menggulir layar, tapi tidak menemukan hal personal. Tidak ada selfie, tidak ada foto bersama teman, tidak juga foto keluarga.
Perhatiannya beralih ke bagian highlight, satu lingkaran bertuliskan “Petik”.
Ia mengetuk.
Satu demi satu, layar menampilkan kutipan.
“Beberapa orang lahir untuk mencintai diam-diam, tanpa perlu diingat, apalagi dibalas.”
“Jika tak bisa jadi rumah, setidaknya jangan jadi badai.”
“Bagian sakit dari kehilanganmu adalah kehilangan bagian dari diriku yang ikut bersamamu.”
Tak satu pun menampilkan wajah Sheina. Semua hanya teks, latar buram, dan kadang potongan gambar langit atau jalanan malam. Ada sesuatu dalam pilihannya—dalam senyapnya akun itu—yang membuat Davison menarik napas pelan.
Ia menatap layar beberapa saat, lalu berkata lirih pada dirinya sendiri:
“Ternyata dia bukan perempuan seperti yang aku pikirkan.”
“Dia berbeda.”
Malam kian sunyi. Tapi hati Davison justru mulai bergerak.
...****************...
Keesokan paginya, suasana rumah Sheina dipenuhi aroma tumisan dan suara-suara kecil yang bersahut-sahutan. Di dapur, ibunya sudah sejak subuh memasak sambil sesekali mengecek loyang berisi kue yang siap dititipkan ke warung. Ia bergerak cekatan, rambut disanggul asal, apron bermotif bunga mulai terlihat terkena noda tepung dan mentega.
Di ruang tengah, adik Sheina, Sean, yang masih duduk di bangku SMA, baru saja selesai mengenakan seragam. Ia berdiri di depan cermin, merapikan dasi sambil mendengarkan musik lewat earphone yang hanya terpasang di satu telinga.
Ayah Sheina, seorang PNS yang mengajar seni musik di SMP negeri, sedang bersiap dengan jas hitam dan tas selempang berisi lembaran partitur dan buku-buku pelajaran. Meski usianya sudah tidak muda, semangat mengajarnya tetap sama seperti tahun-tahun awal menjadi guru.
"Ibu, ini sosis aku dua ya," kata Sean dari meja makan sambil duduk dan mulai membuka nasi bungkusnya.
"Eh, kenapa dia dapet dua sih?" tanya Sheina yang baru saja duduk. Rambutnya masih agak basah, wajahnya sedikit kusut karena belum sepenuhnya terjaga.
Ibunya menoleh, sambil membalik adonan kue, "Tadi ibu kira kamu nggak suka sosis, jadi ibu kasih ke adikmu."
"Ngga suka dari mana? Itu makanan paling worth it di nasi kayak gini," sahut Sheina sambil manyun.
"Besok ibu buatin lagi, yang lebih banyak buat kamu," jawab ibunya, mencoba menenangkan.
Ayahnya tertawa kecil sambil memakai sepatu. "Udah lah, jangan ribut soal sosis. Ayah berangkat dulu, ayo Sean, ikut ayah, nanti telat."
Sean bangkit dari kursinya sambil mengunyah cepat-cepat, lalu mengambil tasnya. "Bye, Shein," ucapnya sambil nyengir dan sengaja menunjukkan sosis terakhir di garpunya.
Sheina hanya melirik sebal, tak membalas.
Setelah ayah dan Sean pergi, rumah terasa sedikit lebih tenang. Sheina membereskan piringnya, pamit ke ibunya, lalu keluar rumah. Udara pagi itu masih sejuk, langit cerah tanpa awan. Ia membuka ponsel dan hendak memesan ojek online.
Namun, sebelum jari-jarinya sempat menekan aplikasi, sebuah mobil hitam berhenti di depan pagar rumahnya. Mesin mobil masih menyala, dan kaca bagian pengemudi perlahan turun. Sosok Davison muncul di balik kaca, mengenakan kemeja putih rapi berbalut jas abu-abu, rambutnya sedikit berantakan namun tetap terkesan santai.
Sheina terdiam. Langkahnya terhenti di teras.
"Ayo bareng," ucap Davison singkat.
Sheina mengerutkan alis, belum sepenuhnya percaya bahwa laki-laki itu muncul tepat di depan rumahnya pagi-pagi.