Dulu, dia hanyalah seorang anak jalanan—terlunta di gang sempit, berselimut kardus, hidup tanpa nama dan harapan. Dunia mengajarinya untuk tidak berharap pada siapa pun, hingga suatu malam… seorang gadis kecil datang membawa roti hangat dan selimut. Bukan sekadar makanan, tapi secercah cahaya di tengah hidup yang nyaris padam.
Tahun-tahun berlalu. Anak itu tumbuh menjadi pria pendiam yang terbiasa menyimpan luka. Tanpa nama besar, tanpa warisan, tanpa tempat berpijak. Namun nasib membawanya ke tengah keluarga terpandang—Wijaya Corp—bukan sebagai karyawan, bukan sebagai tamu… tapi sebagai calon menantu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Portgasdhaaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Peringatan Pertama
Damian menjauhkan tubuhnya.
Tanpa pikir panjang, ia memutar kursi rodanya—mendorongnya sekuat tenaga ke arah pintu. Nafasnya pendek-pendek. Kepanikan mulai menggerogoti akalnya.
“ANTON!!” teriaknya. “Panggil semua penjaga!! KUNCI SEMUA PINTU!! SEKARANG JUGA!!”
Lorong rumah langsung bergemuruh. Suara langkah kaki tergesa, pintu-pintu dibuka, perintah bersahutan terdengar dari para pelayan yang kalut mendengar teriakan tuan muda mereka.
“S-siap, Tuan Muda!” sahut Anton dari kejauhan.
“PERINTAHKAN SEMUA PENJAGA UNTUK MEMAKAI SENJATA! REKRUT LEBIH BANYAK MEREKA! AKTIFKAN MODE SIAGA PENUH! PASANG CCTV TAMBAHAN!”
Damian meluncur ke ruang tengah, tubuhnya nyaris terhempas dari kursi roda karena terlalu cepat mendorong. Tapi ia tak peduli. Kepalanya dipenuhi bayangan kamera kecil, paket mengerikan, email sabotase, dan pesan ancaman...
Langkah-langkah berat tiba-tiba terdengar dari arah tangga utama.
Damian menoleh cepat.
Darius Lim muncul dari balik pilar, mengenakan jas gelap, wajahnya tegas seperti batu. Mata tajam pria paruh baya itu langsung mengunci Damian, menatap tajam penuh tekanan.
“Apa yang sedang terjadi di rumah ini, Damian?”
“P-Paman...” Damian langsung menahan laju kursi rodanya. Bahunya terangkat karena napas belum juga stabil. “Aku... aku nggak tahu harus mulai dari mana...”
“Apa maksudmu? Kamu tau? Barusan banyak laporan tentang investor-investor yang kabur. Aset dibekukan. Dan aku baru saja mendapat kabar bahwa saham kita anjlok dua puluh persen dalam satu pagi.” Darius mendekat, suaranya semakin tajam. “Jadi aku tanya lagi, Damian... APA YANG SUDAH KAU LAKUKAN?!”
Damian menggeleng cepat. “Bukan aku... bukan aku yang mulai ini semua…”
“Lalu siapa?!” bentak Darius.
Damian terdiam sesaat. Napasnya tercekat.
Matanya menatap lurus… tapi terlihat kosong, seolah terbayang wajah seseorang.
“…Keluarga Wijaya…” katanya pelan. “Ya! Itu pasti ulah mereka!”
Darius mengernyit.
“Apa?”
“Jangan bercanda! Mereka tidak memiliki kemampuan untuk melakukan itu. Bahkan saat kita menyerang mereka, mereka tidak bisa berbuat banyak.” Darius melotot, merasa ponakannya itu sedang bermain-main.
“Laki-laki itu...” Damian menggertakkan gigi, tubuhnya masih gemetar. “Semua ini pasti ulah dia!”
Darius menatap tajam, belum paham arah kalimat Damian.
“Siapa yang kau maksud?”
Damian menatap lurus ke arah paman satu-satunya itu.
Suaranya gemetar… tapi tegas.
“Arka.”
Darius mengeraskan rahangnya. Suara langkahnya menggema saat ia mendekat dengan sorot mata menyala.
“Arka? Maksudmu lelaki yang tidak jelas asal-usulnya itu?” Darius mendesis. “Damian, aku tidak punya waktu untuk bercanda!”
Damian mencengkeram sandaran kursi rodanya, berusaha mempertahankan kendali atas dirinya yang nyaris meledak oleh panik dan ketakutan.
“Aku tidak bercanda, Paman!” katanya lebih keras, hampir seperti teriakan.
Darius menatap Damian lekat-lekat. Wajahnya keras, tapi sorot matanya mulai bergeser—dari marah, menjadi curiga.
“Jangan-jangan... ini semua memang ulahmu sendiri,” gumamnya dingin. “Kesalahan manajemen. Kecerobohanmu dalam memimpin. Lalu sekarang kau cari kambing hitam?”
“Tidak!!” Damian membentak. “Aku dapat paket berisi... tangan manusia pagi ini! EMPAT tangan! Satu di antaranya... mengenakan jam tangan yang aku berikan sendiri... itu pasti tangan orang-orang yang aku kirim untuk menculik Laras.” Damian mencoba mengatur nafasnya, tapi tubuhnya masih bergetar hebat. “Dan juga.. di jendela kamarku ada kamera tersembunyi dan pesan peringatan.”
Darius terdiam sejenak. Matanya menyipit.
“Kalaupun hal itu memang benar, itu tidak menjelaskan bagaimana bisnis kita tiba-tiba jatuh hanya dalam satu malam.”
Damian kini terdiam. Perkataan pamannya memanglah benar. Keluarga Lim merupakan salah satu dari sembilan keluarga yang mengatur negara ini dari balik bayang. Tidak ada pihak yang cukup kuat untuk menjatuhkan mereka apalagi hanya dalam satu malam. Hal itu mustahil. Kecuali Sembilan Naga lain ada yang bekerja sama untuk menjatuhkan mereka.
“Paman...apakah menurutmu ada Sembilan Naga yang diam-diam ikut campur?”
Darius tidak langsung menjawab.
Ia membalikkan badan perlahan, berjalan ke arah jendela besar yang menghadap ke taman belakang rumah. Tangannya terkepal di balik punggung, dan napasnya mulai terdengar berat. Diamnya bukan karena tidak tahu... melainkan karena sedang menimbang sesuatu yang jauh lebih besar dari konflik pribadi Damian.
“Jika ada lebih dari satu Sembilan Naga yang turun tangan dan bekerja sama,” gumamnya perlahan, “maka bukan hanya saham kita yang ambruk. Kantor pusat bisa terbakar. Bank bisa membekukan semua dana tanpa peringatan. Dan… mungkin bahkan kita semua tidak akan hidup cukup lama untuk menyadari apa yang terjadi.”
Damian menelan ludah. Tubuhnya membeku di kursi roda.
Darius kembali menatap Damian, kali ini dengan pandangan lebih tajam, lebih dingin.
“Tapi sejauh ini... tidak ada indikasi mereka terlibat. Lagi pula, hubungan kita dengan mereka baik-baik saja selama ini.” Ia menyipitkan mata. “Itu berarti ada satu kemungkinan lain.”
Damian mengangkat wajahnya, bingung. “Apa maksud Paman?”
Darius mendekat, menunduk sedikit agar sejajar dengan Damian. Suaranya mengecil, penuh tekanan.
“Bisa jadi, lelaki bernama Arka itu… bukan hanya boneka keluarga Wijaya.”
Damian menatap tak percaya. “Paman… maksudmu dia bekerja untuk seseorang yang jauh lebih berkuasa?”
Darius menggeleng pelan. “Entahlah... Kita harus memastikan itu. Lagi pula di negara ini, aku ragu ada yang lebih berkuasa dari Sembilan Naga. Kecuali Arka memiliki dukungan dari luar negeri.
“Kalau begitu... siapa dia sebenarnya?”
Darius tidak menjawab.
Ia hanya berjalan pelan ke arah meja besar di tengah ruangan, lalu mengambil sebuah map tebal yang dibawa salah satu asistennya.
“Aku akan cari tahu,” katanya singkat. “Selama ini kita terlalu fokus pada keluarga Wijaya. Kita pikir mereka lemah dan mudah dikendalikan. Tapi Arka... dia seperti duri di daging. Tidak terlihat… tapi bisa membunuh.”
Darius membuka map itu, memperlihatkan berkas-berkas rahasia, foto satelit, rekam jejak pergerakan ekonomi keluarga Wijaya, dan catatan digital yang bahkan Damian belum pernah lihat.
“Kita akan lacak semuanya. Dari mana dia datang. Siapa yang pernah berhubungan dengannya. Apa latar belakangnya. Dan… apa kelemahannya.”
Darius menatap lurus ke arah Damian.
“Karena jika kita tidak menemukan celahnya terlebih dahulu…” gumamnya berat, “…dia akan menemukan kita duluan.”
Damian merinding.
Untuk pertama kalinya… ia menyadari bahwa ia bukan lagi pemburu. Ia sedang diburu.
Darius menutup map dengan satu tangan.
“Hubungi orang-orang lamaku. Rahasia. Jangan lewat jalur komunikasi utama. Dan mulai malam ini… siapa pun yang masuk atau keluar dari rumah ini, harus kita ketahui alasannya.”
Damian mengangguk perlahan, tubuhnya masih gemetar.
Kepalanya dipenuhi ratusan pertanyaan yang tak punya jawaban. Tapi satu hal yang paling menakutkan adalah… ia sadar Arka bahkan belum muncul secara langsung. Belum menyentuh satu pun anggota keluarga Lim secara fisik—namun sudah berhasil membuat kekacauan seperti ini.
Bagaimana jika malam ini lelaki itu datang sendiri?
Bagaimana jika… paket itu hanya peringatan kecil?
Damian memalingkan wajah. Tiba-tiba udara terasa menipis. Ia merasa seperti seekor tikus yang sedang bersembunyi di balik dinding, sementara kucing itu sudah mulai mengendus pintu.
Darius menoleh ke jendela. Mentari mulai menembus tirai tipis yang berayun pelan.
“Anak itu…” gumamnya, seolah pada dirinya sendiri, “…Siapa dia sebenarnya?”