Dia mendengar kalimat yang menghancurkan hatinya dari balik pintu:
"Dia cuma teman tidur, jangan dibawa serius."
Selama tiga tahun, Karmel Agata percaya cintanya pada Renzi Jayawardhana – bosnya yang jenius dan playboy – adalah kisah nyata. Sampai suatu hari, kebenaran pahit terungkap. Bukan sekadar dikhianati, dia ternyata hanya salah satu dari koleksi wanita Renzi.
Dengan kecerdasan dan dendam membara, Karmel merancang kepergian sempurna.
Tapi Renzi bukan pria yang rela kehilangan.
Ketika Karmel kembali sebagai wanita karir sukses di perusahaan rival, Renzi bersumpah merebutnya kembali. Dengan uang, kekuasaan, dan rahasia-rahasia kelam yang ia simpan, Renzi siap menghancurkan semua yang Karmel bangun.
Sebuah pertarungan mematikan dimulai.
Di papan catur bisnis dan hati, siapa yang akan menang? Mantan sekretaris yang cerdas dan penuh dendam, atau bos jenius yang tak kenal kata "tidak"?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16
Sabtu pagi di rumah bergaya Skandinavia itu terasa sepi dan damai. Sinar matahari pagi menyelinap melalui tirai linen tipis, menerangi partikel debu yang menari-nari di udara. Nani sudah pergi ke pasar tradisional sejak tadi, meninggalkan rumah dalam keheningan yang nyaman.
Di ruang keluarga, Karmel duduk bersila di sofa besar dengan secangkir kopi hangat di tangannya. Dia mengenakan piyama katun sederhana, rambutnya diikat longgar, wajahnya segar tanpa riasan. Ponsel dihadapannya menunjukkan layar panggilan video dengan Bima.
"Dirumah aja, Mas," ujar Karmel dengan suara lembut, senyum kecil menghiasi bibirnya.
"Mau jalan nggak?" ajak Bima dari seberang layar, wajahnya tampak santai dan bersahabat.
"Kemana?" tanya Karmel sambil menyeruput kopinya.
Bima berpura-pura berpikir. "Hmmm... kalau ke theme park?" suaranya terdengar antusias seperti anak kecil.
Karmel terkekeh geli. "Kayak ABG lagi ngedate aja," komentarnya, tapi matanya berbinar.
"Sekalian aja kita pakai baju SMA," Bima mengusulkan sambil tertawa, mencoba melucu.
Percakapan ringan mereka tiba-tiba terganggu ketika Renzi muncul dari kamar tamu. Pria itu baru saja bangun, rambutnya masih acak-acakan, mengenakan kaos oblong dan celana training. Matanya yang masih mengantuk langsung menyipit melihat Karmel yang tengah tertawa lepas di panggilan video.
Dengan langkah pelan tapi penuh intensi, Renzi mendekat dan tiba-tiba duduk di sisi Karmel, cukup dekat untuk masuk dalam jangkauan kamera. Dia tidak berkata apa-apa, hanya duduk diam sambil memandangi layar ponsel Karmel.
Raut wajah Karmel berubah seketika. Senyumnya pudar, tubuhnya menegang. Bima yang jeli langsung menangkap perubahan itu.
"Kenapa, Mel?" tanya Bima, suaranya penuh perhatian.
"Ah, nggak, Mas," Karmel menjawab dengan suara gugup, matanya melirik Renzi yang hanya tersenyum sinis. "Aku kayaknya mesti keluar dulu deh. Didepan ada yang manggil," bohongnya dengan buru-buru.
Di sampingnya, Renzi menyunggingkan senyum yang semakin lebar, menikmati setiap detil ketidaknyamanan Karmel.
"Oh... oke. Nanti kita sambung lagi," jawab Bima, terdengar sedikit kecewa.
Begitu panggilan berakhir, Karmel langsung melompat berdiri, wajahnya memerah karena marah.
"Ngapain sih tiba-tiba duduk disitu! Ganggu tau nggak!" serunya, suaranya bergetar.
Tapi Renzi lebih cepat. Tangannya yang kuat menarik pergelangan Karmel, membuatnya kehilangan keseimbangan dan terjatuh tepat di pangkuan pria itu. Karmel berusaha melepaskan diri, tapi Renzi sudah mengunci tubuhnya dengan erat.
"Bima Atmaja ya?" bisik Renzi di telinga Karmel, suaranya rendah tapi penuh ancaman. "Gimana kalau aku akuisisi perusahaan tambang kecil mereka itu?"
"Jangan macam-macam, Renz!" Karmel membalas sambil terus berusaha melepaskan diri. "Perusahaan Atmaja sedang berkembang!"
Tapi Renzi semakin mengencangkan pelukannya. "Hmmm... ibu manager sepertinya nggak mau perusahaan kecil itu hancur ya?" ejeknya dengan nada merendahkan. "Aku bisa kasih kamu jabatan lebih dari manager, Mel. Kamu cukup balik ke aku."
"Jangan mimpi!" seru Karmel, matanya membara dengan kemarahan dan tekad.
Karmel tiba-tiba tersentak hebat. Di tengah pergulatan mereka, sebuah sensasi tak nyaman menerpanya—sesuatu yang keras dan membesar terasa menekan di antara pahanya. Napasnya tercekat.
"Kenapa, Mel? Udah kerasa?" bisik Renzi suaranya berat, sambil dengan sengaja menggeser pinggulnya pelan, membuat tekanan itu semakin jelas dan tak terbantahkan.
"Lepas, Renz! Nanti ibu bisa liat," Karmel membalas dengan suara terengah, mencoba mencari alasan apa pun untuk menghentikannya.
"Kita bisa lanjut di kamar," tangan Renzi mulai meraba punggungnya, jari-jarinya menelusuri tulang belakang Karmel melalui bahan tipis piyamanya.
"Jangan gila kamu!" bentak Karmel, panik mulai menyergap.
Tapi Renzi tak mendengarkan. Dengan kekuatan penuh, dia mengangkat tubuh Karmel dan membaringkannya di sofa kulit yang lebar. Dalam sekejap, posisi mereka berubah—Renzi sekarang berada di atasnya, menindihnya dengan berat tubuhnya, mengurungnya antara tubuhnya dan permukaan sofa.
"Kamu tau, aku nggak suka pemberontak," ujar Renzi, tatapannya seperti es yang membekukan. "Dan aku nggak akan segan-segan untuk ngehancurin orang seperti itu. Termasuk kamu."
Untuk mempertegas ancamannya, Renzi menekan pinggulnya tepat ke pangkal paha Karmel, membuat benda keras itu semakin terasa menusuk melalui lapisan kain, sebuah klaim kepemilikan yang primitif dan menggertak.
"Aku nggak takut sama kamu, Renz!" Karmel berteriak, berusaha mendorongnya, tetapi sia-sia.
"Aku tau!" sahut Renzi, dan sebelum Karmel sempat bereaksi lagi, dia sudah menurunkankan wajahnya.
Ciuman itu datang dengan paksa, brutal, dan penuh muatan yang lebih dari sekadar nafsu. Bibir Renzi menghantam bibir Karmel tanpa kesabaran, tangannya menahan kedua pergelangan Karmel di atas kepalanya. Ciuman itu dalam, menguasai, lidahnya menyerbu seperti ingin menaklukkan setiap sudut mulutnya. Ada rasa yang bertolak belakang—di satu sisi, kenakalan tekniknya yang pernah begitu ia kenal dan rindukan; di sisi lain, kekerasan dan penghinaan di balik setiap detilnya.
Karmel mengejang, mencoba memalingkan wajah, tetapi Renzi dengan mudah menguasainya. Tubuhnya terasa seperti dikelilingi badai—panas, sesak, dan tak berdaya. Dalam kekacauan itu, indranya malah menangkap detail yang tak diinginkan: aroma sabun mandi Renzi yang masih sama, sensasi tangan besarnya yang pernah begitu akrab di tubuhnya, dan desahan napasnya yang pendek-pendek. Itu adalah pengingat menyakitkan dari keintiman yang mereka pernah bagi, kini dirusak menjadi alat penundukan.
Ciuman itu berlangsung cukup lama—terlalu lama untuk Karmel. Dunia sekelilingnya seperti menghilang, hanya menyisakan tekanan, panas, dan konflik batin yang mengoyak. Di tengah kegelapan di balik kelopak matanya yang terpejam paksa, mungkin saja ada secercah kenangan manis yang tersisa, yang segera ia tenggelamkan dalam gelombang kemarahan dan rasa dikhianati.
Kemudian, seperti diselamatkan oleh belas kasihan takdir, suara dari depan rumah membelah momen itu.
"Mel! Renz! Buka pintu! Ibu bawa belanjaan banyak!"
Suara Nani yang riang dari luar, disertai bunyi kunci berderak, menghentikan segalanya.
Renzi menarik diri dengan cepat, meninggalkan Karmel terengah-engah di sofa, bibirnya terasa bengkak dan hati yang bergejolak antara marah, malu, dan sesuatu yang lebih dalam yang tak ingin ia akui. Renzi berdiri, merapikan bajunya dengan tenang, seolah baru saja menyelesaikan rapat bisnis, bukan baru saja melanggar batas untuk kesekian kalinya.
Sementara di luar, suara Nani semakin dekat, tak menyadari badai yang baru saja mereda di ruang keluarga putrinya.
***
Sinar matahari siang menyelinap melalui jendela dapur, menerangi meja makan kayu yang telah dijejali berbagai masakan rumahan. Aroma semur daging, sayur asem, dan ikan goreng menggantung di udara, menciptakan suasana domestik yang hangat—sebuah ironi mengingat ketegangan yang menggelombang di antara ketiga penghuni rumah itu.
Nani dengan wajah berseri-seri, tak henti-hentinya mengisi piring Renzi dengan nasi dan lauk-pauk. Tangannya yang keriput terlihat gesit, menjejalkan sepotong lagi daging semur ke piring yang sudah penuh.
"Udah, Bu, kebanyakan. Nanti aku jadi gendut," Renzi terkekeh, memainkan peran anak manis yang sempurna. Matanya yang dingin, namun, sesekali melirik ke arah Karmel yang duduk di seberangnya dengan raut muak.
"Nggak papa, Renz. Jarang-jarang kan masak makanan Ibu," ujar Nani dengan tulus polos yang membuat hati Karmel tersayat. "Tapi makanannya begini doang sih. Renzi kan biasa makan makanan mahal ya."
Renzi tersenyum lembut, sebuah ekspresi yang hanya dipasang untuk konsumsi Nani. "Makanan Ibu juga kalau masuk restoran mewah jadi mahal kok."
Karmel menatap piringnya sendiri, nafsu makannya hilang sama sekali. Setiap tawa Renzi, setiap kata manisnya, terasa seperti pisau tumpul yang menggerus kesabarannya. Dia tahu persis ini semua sandiwara. Renzi sedang memainkan kartu paling ampuh: hati ibunya.
"Nggak usah terlalu manjain dia, Bu!" seru Karmel akhirnya meledak, suaranya lebih keras dari yang dia rencanakan.
Puncaknya adalah ketika Nani dengan polosnya berkata, "Renzi udah kayak anak Ibu sendiri kok."
"Masa sih, Bu," Renzi membalas, dan kali ini senyumnya berubah. Bukan lagi senyum manis, melainkan senyum tipis penuh intimidasi yang khusus ditujukan untuk Karmel. Sebuah pesan diam-diam: Lihat? Aku sudah memenangkan ibumu.
Nani hanya tertawa ringan, sama sekali tak paham. "Bener dong. Apalagi kalau Renzi nikah sama Karmel. Bisa jadi mantu Ibu beneran."
Kalimat itu seperti tamparan. Suasana di meja makan mendadak beku. Karmel membelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Renzi, sebaliknya, malah memanfaatkan momentum. Dengan tenang, dia menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Jadi Ibu setuju kalau Renzi sama Karmel...?" ujarnya, seolah sedang mengajukan proposal bisnis yang menguntungkan.
"Setuju banget, Renz!" sahut Nani dengan antusiasme penuh, matanya berbinar membayangkan masa depan yang tak akan pernah terjadi.
Karmel menjatuhkan sendoknya ke piring. Bunyi 'klenk' itu memecah kesunyian. Wajahnya memerah campur marah dan malu.
"Diih! Mimpi!" ujarnya, suaranya penuh getir sebelum akhirnya berdiri dan meninggalkan meja makan, meninggalkan separuh makanannya dan percakapan yang membuatnya ingin menjerit.
Dari belakang, dia masih bisa mendengar tawa ringan Renzi dan Nani yang melanjutkan obrolan mereka, seolah kepergiannya bukan masalah. Dan di situlah Karmel merasa paling terkalahkan—bukan di ruang rapat, bukan dalam debat bisnis, tapi di meja makan rumahnya sendiri, di hadapan orang yang paling dia cintai, yang tanpa sadar telah menjadi pion dalam permainan kotor Renzi