Bara, pelaut rasional, terdampar tanpa koordinat setelah badai brutal. Menjadi Musafir yang Terdampar, ia diuji oleh Syeikh Tua yang misterius: "Kau simpan laut di dadamu."
Bara menulis Janji Terpahit di Buku Doa Musafir, memprioritaskan penyembuhan Luka Sunyi keluarganya. Ribuan kilometer jauhnya, Rina merasakan Divine Echo, termasuk Mukjizat Kata "Ayah" dari putranya.
Bara pulang trauma. Tubuh ditemukan, jiwa terdampar. Dapatkah Buku Doa, yang mengungkap kecocokan kronologi doa dengan keajaiban di rumah, menyembuhkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19: IKHTIAR YANG BERBUAH PERTOLONGAN TAK TERDUGA
Kenaikan Air yang Mengancam
Pagi itu di Pulau Cadas Sunyi, Bara sedang berjalan tertatih-tatih di sekitar bebatuan besar, mencari sumber makanan minimalis setelah puasanya yang melelahkan. Ia berhasil bertahan dari godaan untuk menyerah dan pulang yang muncul saat ia berikhtiar puasa, tetapi kini fisiknya menuntut energi segera.
Tiba-tiba, ia menyadari sesuatu yang aneh. Air pasang naik jauh lebih cepat dan lebih tinggi dari biasanya, membanjiri area Akar Bakau Gergasi yang selama ini ia anggap sebagai batas aman. Air laut yang dingin itu kini mulai merayap naik, mendekati Cadas Sunyi tempat ia biasa berteduh.
Ini adalah ancaman fisik baru. Bara segera bergerak panik. Hal pertama yang ia selamatkan bukanlah sisa makanannya, melainkan Buku Doa Musafirnya.
Ia mengambil buku itu, tetapi bagian bawah tasnya sudah terendam air. Buku itu basah kuyup, tinta-tinta doa yang ia tulis di halaman depan mulai luntur. Bara merasakan ketakutan yang hebat. Ia tidak takut mati, tetapi takut kehilangan satu-satunya bukti spiritual dan komunikasi dengan keluarganya yang telah ia jaga selama ini.
Ia berlari mengevakuasi semua perlengkapannya, mendaki ke tempat yang lebih tinggi di punggung bebatuan. Bara duduk di sana, memeluk buku basah itu ke dadanya.
“Ya Rabb, jangan ambil ini. Ini adalah ikhtiarku,” bisiknya, suaranya serak. Ia memeras air dari sampul buku itu, berharap keajaiban membuat kertasnya tetap utuh.
Kesepian Ganda
Setelah Bara berhasil naik ke tempat yang lebih tinggi, ia melihat ke sekeliling. Laut terlihat ganas, memukul-mukul batu di bawahnya.
Ia berharap Syeikh Tua (Wali Allah) akan muncul, seperti yang pernah terjadi saat ia menghadapi kelelahan dan trauma besar. Wali Allah selalu muncul saat Bara berada di puncak krisis spiritual dan fisik.
Bara menunggu, matanya menyapu hutan cemara dan bebatuan di sekitarnya. Namun, Wali Allah tidak ada. Kesunyian pulau terasa semakin memekakkan.
Aku ditinggalkan. Aku menghadapi ancaman ini sendirian.
Godaan untuk menyerah kembali muncul. Setelah ikhtiar puasa yang intens, kini ia merasa dikhianati oleh ketidakmunculan Wali Allah.
Bara menahan diri. Ia mengingat senyum damai Mala yang ia lihat dalam mimpinya saat ia berpuasa, senyum yang ia yakini adalah konfirmasi bahwa doanya sudah diterima. Senyum itu adalah bukti konkrit bahwa ikhtiarnya telah bekerja, meskipun keajaiban fisik Wali Allah ditahan darinya.
“Tidak. Aku tidak akan menyerah,” Bara berbisik, memejamkan mata. Ia memeluk buku yang basah itu, membiarkan kehangatan daun kering (yang ia temukan setelah pasrah karena kapal hilang) menenangkan jiwanya.
Bara duduk di sana untuk waktu yang lama, memeras air dari buku doanya, menunggu air pasang surut.
Paket Anonim yang Tiba
Di rumah, Rina masih memikirkan tagihan listrik yang terbayar misterius di hari sebelumnya. Ia telah memeriksa semua rekening bank dan bertanya kepada Bunda Ida, tetapi tidak ada yang mengaku.
Pikiran Rina kini terbagi: separuh mencoba mencari jawaban logis, separuh lagi semakin yakin pada Realisme Magis. Ia memegang daun kering dari Mala, yang kini ia simpan di dompetnya, sebagai simbol konfirmasi Ayah kepada putrinya.
Saat ia berjalan ke kotak pos, ia melihat sebuah paket kecil tanpa nama pengirim tergeletak di sana. Paket itu dibungkus kertas cokelat sederhana, tidak ada prangko, seolah diletakkan langsung oleh seseorang.
Rina merasa merinding. Ia membawa paket itu masuk, hatinya berdebar. Ia berharap ini bukan ancaman.
Ia membukanya. Di dalamnya, Rina menemukan uang tunai dalam jumlah kecil, sekitar lima ratus ribu rupiah. Uang itu tidak menyelesaikan masalah finansial jangka panjangnya, tetapi cukup untuk biaya hidup seminggu ke depan.
Di bawah uang itu, terdapat catatan kecil, robek di pinggirnya, tertulis dengan tulisan tangan asing: "Sesungguhnya, sesudah kesulitan ada kemudahan."
Rina terduduk di sofa. Kalimat itu. Itu adalah ayat yang sering diucapkan Bara saat mereka menghadapi kesulitan di masa lalu. Bara selalu mengingatkannya tentang janji itu saat ia merasa tertekan dalam mencari pekerjaan dan menghadapi masalah rumah tangga.
Air mata Rina menetes. Ini bukan Bunda Ida. Ini adalah konfirmasi spiritual bahwa pertolongan datang dari "saluran" yang terhubung dengannya dan Bara. Ini adalah keajaiban yang dipersonalisasi, balasan atas ikhtiar sujudnya di tengah kelelahan.
“Ayah masih hidup,” bisik Rina pada dirinya sendiri, keyakinan spiritualnya menguat dengan bukti yang nyata dan tak terduga.
Ultimatum dari Realitas
Tepat setelah Rina menyembunyikan paket itu, bel rumah berbunyi nyaring.
Ia membuka pintu dan mendapati Bapak Harjo, agen asuransi yang sebelumnya memberi batas waktu. Ia berdiri di sana dengan wajah serius.
“Selamat pagi, Bu Rina. Saya minta maaf datang tanpa pemberitahuan,” kata Harjo, nadanya dingin dan formal.
“Ada apa, Pak Harjo?” Rina berusaha mempertahankan ketenangan yang baru ia dapatkan dari paket anonim itu.
“Waktu kita semakin sempit, Bu Rina. Batas waktu untuk pengajuan akta kematian semakin dekat. Jika Anda tidak mengambil keputusan logis, Anda akan kehilangan hak atas asuransi dan properti Anda akan terancam oleh hutang,” Harjo memberi Ultimatum Baru.
“Saya tidak bisa, Pak Harjo. Suami saya masih hidup.”
Harjo tertawa kecil, tawa yang sinis. “Bu Rina, Anda mendapat mimpi, anak Anda yang berkebutuhan khusus mengucapkan satu kata, dan ada yang membayar tagihan Anda, lalu Anda menganggap itu bukti nyata? Mana bukti yang bisa saya pegang, Bu? Mana bukti yang bisa diserahkan ke pengadilan?”
Rina terdiam. Ia memegang daun kering di dompetnya, dan mengingat kehangatan Paket Anonim.
“Buktinya adalah keyakinan saya, Pak Harjo. Saya tidak akan menjual aset. Saya tidak akan mengajukan akta kematian,” Rina menolak ultimatum Harjo. Ia kini melihat keajaiban mikro ini sebagai ikhtiar yang terbayar, meskipun logika menolaknya.
“Anda sedang menghancurkan masa depan anak-anak Anda, Bu Rina. Pikirkan ulang.” Harjo menyerahkan sebuah map berisi dokumen dan pergi, meninggalkan Rina sendirian di pintu, diapit oleh tekanan logis dan keyakinan spiritual.