Selina harus menelan pahit kenyataan di kala dirinya sudah bercerai dengan mantan suami hasil perjodohan. Ternyata tak lama setelah itu, dia menemukan dirinya tengah berbadan dua.
Selina akhirnya memutuskan untuk membesarkan bayinya sendiri, meskipun harus menjadi ibu tunggal tak membuatnya menyerah.
Berbeda dengan Zavier. Mantan suaminya yang hidup bahagia dan mewah dengan kekasihnya. Seseorang sudah hadir di hidup pria itu jauh sebelum kedatangan Selina.
Akankah kebenarannya terungkap seiring berjalannya waktu? Belum lagi Selina Kini harus terjebak dengan seorang bos yang sangat menyebalkan.
Ikuti kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Haruskah mengalah?
Selina menghela napas lelah. Sebenarnya, ia merasa pengap menggunakan masker, tapi karena Kim masih berada di kafe, Selina tetap harus memakainya.
“Lin, kamu dipanggil sama Pak Bos ke ruangannya,” ucap Emel yang baru masuk ke dapur sambil menaruh nampan.
“Sekarang?” Selina menoleh, keningnya berkerut.
“Iya, kayaknya gara-gara yang semalam deh,” jawab Emel pelan.
Selina seketika gugup. Wajahnya menegang.
“Udah sana, samperin Pak Bos. Biar aku yang anter ini,” kata Emel sambil meraih nampan berisi minuman.
Selina menelan ludah. Selama bekerja di kafe ini, belum pernah sekalipun ia dipanggil dengan cara seperti ini. Rasa cemas bercampur takut membuat langkahnya terasa berat.
Dengan ragu, Selina membuka pintu ruangan berlapis logam itu. Nafasnya tercekat saat matanya menangkap sosok yang tak ia sangka. Di dalam sana, selain Nathan, juga ada kekasih pria itu. Panik, Selina buru-buru mengangkat maskernya sebelum Kim menoleh ke arahnya.
Nathan mendongak saat mendengar pintu terbuka, sedikit terkejut melihat Selina yang masuk dengan masker yang menutupi wajahnya.
“Sini, duduk,” kata Nathan. Nada suaranya tidak marah, tapi tegas.
Selina melangkah pelan lalu duduk di kursi tamu. Dari ekor matanya, ia bisa melihat Kim yang sedang bersandar di sofa, menatap layar ponselnya.
“Ada apa ya, Pak?” tanya Selina. Suaranya ia keraskan sedikit.
Kim yang tadinya asyik dengan ponselnya, kini meletakkannya di meja dan mengalihkan pandangan, menatap Selina.
“Saya dapat laporan dari orang yang membooking kafe kita tadi malam,” ucap Nathan perlahan, sorot matanya meneliti wajah Selina. “Katanya, kamu menumpahkan minuman ke kemejanya.”
“Pak… saya… saya nggak sengaja,” katanya gugup, suaranya terdengar memelas. “Saya udah minta maaf, tapi dia malah nyolot, Pak. Dia… dia bahkan menghina saya, melontarkan kata-kata yang nggak pantas…”
“Pak Nathan tahu sendiri kalau selama saya bekerja, saya nggak pernah bersikap judes atau cuek sama pelanggan… meskipun saya sakit sekalipun,” ucap Selina lirih.
Nathan mengangguk pelan. “Saya tahu itu. Tapi masalahnya, Jayden itu orang yang cukup terkenal di sini. Usaha bisnisnya sedang berkembang pesat, dan dia punya banyak relasi yang sering datang ke kafe kita.” Nathan berhenti sejenak, lalu menatap Selina lebih serius. “Makanya saya bilang tadi malam, kalian harus melayani dia sebaik mungkin.”
“Maaf, Pak…” Selina menunduk dalam, kepalanya tertunduk, kalau sudah begini dia tidak akan membelah dirinya.
Kim yang sejak tadi diam, menatap Selina penuh iba. “Udah, Nath. Dia kan bilang nggak sengaja. Setahuku, Jayden emang orangnya agak temperamen.”
Nathan menghela napas kasar, mengangguk, lalu kembali menatap Selina. “Baiklah. Tapi tolong, lain kali lebih hati-hati. Saya nggak mau masalah ini terulang lagi.”
Selina mengangguk cepat. “Iya, Pak. Saya janji akan lebih hati-hati.”
Nathan tiba-tiba menyipitkan mata. “Tapi, kenapa tiba-tiba kamu pakai masker? Padahal biasanya nggak pernah.”
“Muka saya lagi banyak jerawatnya, Pak. Saya malu kelihatan sama pelanggan. Jadi saya pakai masker biar lebih sopan.”
Nathan memperhatikannya beberapa detik, lalu akhirnya mengangguk. “Baiklah. Kalau begitu, silakan kamu keluar.”
“Terima kasih, Pak…” Selina menghela napas lega. Setelah menangkupkan kedua tangannya, ia berdiri dan keluar dari ruangan itu.
“Dia itu mamanya Ian,” ucap Nathan tiba-tiba, menatap ke arah pintu yang baru saja ditutup Selina.
“Oh… jadi dia mamanya Ian?” Ia sedikit mengangkat alis, penasaran. “Siapa namanya? Aku penasaran banget sama wajahnya tadi.”
“Namanya Selina.”
“Selina?” Kata Kim sedikit terkejut.
Nathan menangkap perubahan ekspresi kekasihnya. “Kenapa? Kamu kelihatan kaget. Ada apa?”
“Selina siapa? Maksud aku… nama lengkapnya.”
“Selina Kenzia, kalau nggak salah.”
Kim terperangah. Napasnya tiba-tiba tercekat. “Selina… Kenzia?” Katanya, matanya membola dan wajahnya agak menegang.
“Kenapa, sayang? Kenapa muka kamu tegang gitu?” tanya Nathan sedikit khawatir.
Napas Kim sedikit memburu. Ia mencengkeram lengan Nathan. “Aku mau ketemu dia… aku… aku harus mastiin sesuatu.” Suaranya bergetar. Gadis itu lekas bangkit dan segera keluar ruangan, meninggalkan Nathan yang masih kebingungan.
“Gimana? Kamu nggak dimarahin, kan?” tanya Emel begitu Selina kembali ke dapur.
Selina menggeleng pelan. “Nggak, kok. Pak Bos cuma ngasih peringatan aja,” jawabnya, mencoba tersenyum di balik maskernya.
“Syukurlah…” Emel ikut bernapas lega.
“Ternyata di sana juga ada—”
“Pacar Pak Bos kesini,” potong Emel cepat, matanya melirik ke arah pintu.
Selina spontan menoleh, dan benar saja—Kim berdiri di ambang pintu dapur. Tatapan matanya tak beralih, menancap lurus pada wajah Selina yang masih tertutup masker.
Selina meneguk ludah kasar. Jantungnya berdetak kencang saat ditatap intens oleh Kim.
Kim perlahan melangkah mendekat.
“Ap… apa yang membuat Nona ke sini?” tanya Emel sembari mencoba tersenyum.
Namun Kim tidak mengindahkannya. Ia tetap menatap Selina, sorot matanya campur aduk.
“Buka maskermu,” perintah Kim.
Selina terkejut, matanya melebar. Ia menelan ludah lagi, dia tidak melupakan fakta bahwa Nathan mungkin sudah membocorkan identitasnya.
“Apa kamu nggak dengar? Buka maskermu. Aku pengen lihat wajahmu,” ulang Kim, lebih keras.
Selina menggeleng cepat, suaranya bergetar. “Nggak… saya… saya nggak bisa… kamu… kenapa tiba-tiba—”
“Kenapa harus takut?” potong Kim cepat, nadanya meninggi.
Selina terdiam.
“Pak Nathan bilang namamu Selina Kenzia. Dan kamu seorang single parent… nama anakmu Ian.” Kim menarik napas panjang. “Aku hanya ingin memastikan… apakah kamu orang yang sama dengan mantan istri abangku.”
Mata Selina langsung membola lebar, begitu juga dengan Emel yang ada di sampingnya.
“Aku pernah ketemu anakmu di toilet,” ucap Kim dengan suara bergetar. “Aku sudah melihat wajahnya. Rambut Ian persis seperti rambutku… dan wajahnya mirip sekali dengan abangku waktu kecil.”
Air mata Selina jatuh tanpa bisa ia tahan. Lututnya terasa lemas seakan kehilangan tenaga.
Ia memejamkan mata sejenak, berusaha mengatur napasnya yang tersengal.
“Na… nama saya memang Selina Kenzia,” katanya akhirnya.
“Ta-tapi saya bukan orang yang kamu maksud. Saya tidak mengenal dirimu… begitu pun keluargamu.” Selina memaksa suaranya terdengar tegar.
“Anakku mungkin kebetulan saja mirip dengan kakakmu.” lanjutnya.
Kim mendengus tak percaya, emosinya sulit dikendalikan. Dengan gerakan cepat, ia mengangkat tangannya, hendak meraih masker Selina.
Namun secepat kilat, Emel menahan pergelangan tangan Kim. “Nona… maaf, jangan seperti ini. Tolong hargai privasi dia.”
“Tidak!” Kim menggeleng. “Aku nggak akan berhenti sebelum dia membuka maskernya!”
“Jangan memaksanya, Nona,” suara Emel tetap tenang meski nadanya tegas.
Kim menghempaskan tangan Emel dengan kasar. Matanya berkaca-kaca, napasnya memburu. Ia menatap Selina lama, sebelum akhirnya berbalik dan berlalu meninggalkan dapur.
Begitu pintu menutup, tubuh Selina langsung roboh ke lantai. Masker yang menutupi wajahnya ia lepaskan, dan isak tangisnya pecah tanpa bisa ia tahan lagi.
“Apa yang harus aku lakukan setelah ini?” katanya di sela isakan, kedua tangannya menutupi wajah. “Dia pasti nggak akan diam saja…”
Emel berjongkok di sampingnya, menepuk bahu Selina pelan. “Kata aku, mending kamu kasih tahu dia yang sebenarnya. Terus minta dia untuk merahasiakan ini dari keluarganya. Lakuin ini demi Ian. Putramu pasti senang bisa ketemu Kim. Aku mohon… turunin ego kamu kali ini.”
Selina tak menyahut. Ia benar-benar bingung harus mengambil langkah apa sekarang.
padahal lembek