Terjebak Pernikahan Dengan Musuh

Essa pulang dengan wajah mematut, dia singgah ke toko milik orang tuanya untuk membantu menutup tokonya karena jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

“Kamu dari mana Sa?” tanya sang Ibu.

“Habis ketemu sama si Bayu, Mah.” Sahut Essa sambil membenahi barang-barang yang di pajang diluar toko.

“Gimana hubungan kamu sama Sasya?”

“Gak gimana-gimana Mah, putus aja.” Sahutnya tanpa menoleh, dia masih tetap sibuk menata kotak-kotak kayu tempat telur yang sudah kosong.

“Terus sama Maureen? Kalian kan saling benci?”

Essa menjeda pekerjaannya sejenak, namun dia kembali menyibukkan diri dengan pekerjaannya.

“Siapa yang bilang kita saling benci? Itu hanya ketika kami masih kecil, sekarang kami sudah dewasa,” sahutnya.

“Sa, kamu nyesel ya nikahin Maureen? Seandainya Ibu gak teriak pas buka toko dan liat kalian tidur bareng, kamu gak harus nikahin dia.” Ucap Bu Hasna dengan nada sedih.

“Walaupun Ibu gak teriak dan orang gak tahu, kalau aku merasa aku melakukan kesalahan aku tetep akan tanggung jawab ko Bu.” Jawab Essa tanpa ragu.

Bu Hasna menghela nafas berat, dia tahu putranya anak yang baik, namun entah mengapa kejadian seperti itu bisa menimpanya, Essa tiba-tiba melakukan kesalahan yang begitu besar yang membuat dia harus menikahi wanita seperti Maureen, yang dimata Hasna tak ada cocok-cocoknya untuk bersanding dengan sang putra.

“Sa, itu Maureen kan?” pekik sang Ibu.

Essa menoleh, benar itu Maureen dia antar pulang oleh Arkan menggunakan mobilnya.

“Bukan Bu. Ibu pasti salah liat,” tepisnya tak peduli dia lekas menyelesaikan pekerjaannya.

“Ibu gak salah liat Sa, itu beneran Maureen. Dia di anter pulang sama laki-laki lain, kamu sebagai suami harus bersikap tegas sama dia, jangan biarkan dia bersikap seenaknya kaya gitu.” Ucapnya bersungut kesal.

“Udah selesai Bu. Ibu mau Essa anter pulang dulu?” ucap Essa enggan menanggapi ucapan sang Ibu.

“Gak usah Sa, Ibu bisa pulang bareng Adek kamu. Pergilah dan susul istri kamu.” ucapnya dengan raut wajah tak suka.

Essa hanya mengangguk dan beralih menaiki sepeda motornya, kemudian pergi menuju kediaman mertuanya. Tak lama kemudian dia pun sampai, dia sempat berpapasan dengan mobil Arkan beberapa saat lalu. Tampak, Maureen masih berdiri diluar rumah saat Essa datang, dia memutar bola matanya malas.

“Assalamualaikum,” ucap Maureen pun dengan Essa, mereka masuk beriringan. Kedatangan mereka disambut senyuman lembut dari Ibu Arumi.

“Kalian pulang bareng?” tanyanya dengan binar terang di matanya.

Maureen sudah buka mulut hendak membantah, namun Essa lekas menyambar, “Iya Mah, kami pulang bersama.” Sahutnya.

“Apaan sih Lu, orang gue di anter Arkan juga,” ucapnya tak terima, Essa hanya meliriknya dengan tatapan tajam sebagai respon.

“Astagfirullah Reen, Kamu masih di anter pulang sama Arkan? Reen kamu udah gak lajang lagi Nak, kenapa kamu mau pulang di anter cowok lain!”

“Arkan bukan cowok lain Mah, dia pacarnya Maureen!” protesnya.

Essa menghela nafas berat kemudian meninggalkan Ibu dan anak itu yang tengah berdebat di ruang keluarga.

“Pacar kamu bilang? Ingat nak kamu udah nikah, Mamah ingin kamu mengakhiri hubungan kamu sama Arkan.” tegas sang Ibu.

“Gak Mah, Maureen cinta sama Arkan. Maureen gak bisa hidup tanpa dia.”

“Astagfirullah, istighfar Maureen. Kamu kalau ngomong jangan sembarangan, ingat Essa sekarang yang udah jadi suami kamu.”

“Bodo amat, aku gak peduli.”

“Kamu tahu Maureen, Mamah pernah liat cinta mati kamu itu jalan bareng di mall bareng cewek, dan apa yang dia bawa selain cewek... Anak.” ujarnya.

Bukannya percaya Maureen malah tertawa mendengar ucapan sang Ibu, “Oke Maureen tahu Mamah gak suka sama Arkan, tapi please jangan ngomong sembarangan soal dia Mah, itu jatuhnya fitnah loh.”

“Mamah gak ngomong sembarangan Reen, Mamah liat dengan mata kepala Mamah sendiri, kalau si Arkan jalan bareng cewek sambil gendong anak dan pegangan tangan." Lelah Ibunya menjelaskan tapi Maureen sangat bebal dan seolah menutup mata dari segala berita miring tentang Arkan yang di dengarnya dari orang lain.

Maureen menghela nafas pelan, “Udah ya Mah, Maureen capek mau istirahat dulu,” pungkasnya untuk mengakhiri percakapan tersebut.

Dia pergi meninggalkan Ibunya dan masuk ke dalam kamar, tampak Essa tengah bermain dengan ponselnya, dia bahkan tak menoleh saat Maureen memasuki kamar.

“Sa, elu beneran udah putus ama pacar lu?” tanya Maureen memulai percakapan sambil menaruh tasnya di atas nakas.

“Gue bukan elu yang akan mempertahankan hubungan haram.” Sarkasnya tanpa menoleh.

Maureen berdecak kesal, “gue pacaran sama Arkan udah lebih dari setahun, sedang kita menikah baru kemaren Essa, itupun karena terpaksa, bahkan sampai saat ini gue masih bingung letak kesalahan gue dimana.”

Essa mendengus kasar, “oke gue faham, tapi seenggaknya lu gak harus lah ngasih tahu nyokap lu secara terang-terangan kalau lu pulang di anter cowok lu. Lu tahu gue berusaha menutupi itu semua dari nyokap lu ataupun nyokap gue.” Jelas Essa.

“Haha, kenapa harus di tutupin gue gak ngerasa melakukan hal yang salah, justru yang salah itu hubungan gue sama elu.”