Urban legend bukan sekadar dongeng tidur atau kisah iseng untuk menakuti. Bagi Klub Voli SMA Higashizaka, urban legend adalah tantangan ritual yang harus dicoba, misteri yang harus dibuktikan.
Kazoi Hikori, pemuda kelahiran Jepang yang besar di Jerman. masuk SMA keluarganya memutuskan untuk kembali ke tanah kelahirannya, namun tak pernah menyangka bergabung dengan klub voli berarti memasuki dunia gelap tentang legenda-legenda Jepang. Mulai dari puisi terkutuk Tomino no jigoku, pemainan Hitori Kakurenbo, menanyakan masa depan di Tsuji ura, bertemu roh Gozu yang mengancam nyawa, hingga Elevator game, satu per satu ritual mereka jalani. Hingga batas nalar mulai tergerus oleh kenyataan yang mengerikan.
Namun, ketika batas antara dunia nyata dan dunia roh mulai kabur, pertanyaannya berubah:
Apakah semua ini hanya permainan? Atau memang ada harga yang harus dibayar?
maka lihat, lakukan dan tamat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SkyMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hitori Kakurenbo
Malam yang sama saat Masayuki mengusulkan pada teman-temannya untuk memainkan permainan kokkuri-san.
Di rumahnya Haya bertekad untuk bermain petak umpet dengan hantu. Setelah mendapatkan tantangan dari sahabat sekaligus rivalnya Eri dia membulatkan tekadnya mencoba permainan itu.
Sungguh Eri merupakan sahabat yang baik karena mengusulkan permainan yang membahayakan nyawa ini.
Tapi ketahuilah saat dia menolak Eri tertawa terbahak-bahak meledek ketakutan Haya. Lihatlah sekarang dia akan membuktikan pada Eri dia tidak selemah yang Haya bicarakan.
Haya menyiapkan beberapa kamera dirumahnya dan entah keadaan yang berpihak padanya atau malah sebaliknya minggu kemarin orangtuanya pergi ke luar kota mereka akan pulang nanti lusa.
"Eri sialan! Lihat saja setelah kau melihat rekaman ini kau akan ternganga dan tak mampu berkata apapun selain memuji ku! Kau dan kesombongan mu akan hancur satu detik saat kau mulai melihat rekaman ini!" Dia terus memaki Eri seraya menyalakan kamera yang dia pasang di setiap sudut strategis yang dapat mencangkup seluruh ruangan dirumahnya. Haya pun memakai satu kamera dikepalanya dan mulai menyalakannya.
Dia telah menyiapkan bahan-bahannya seperti boneka berbentuk manusia yang terbuat dari kain tentunya, beras, gelas yang berisi air garam, benang merah dengan jarumnya, potongan kuku, dan gunting.
Dia diam diruang tamu tak ingin terlalu sepi Haya menyalakan televisi dengan saluran yang telah diganti pada mode static atau layar semut.
Diatas meja telah tersedia bahan-bahan tadi lilin yang menyala satu-satunya pencahayaan di rumah Haya.
Tidak ingin repot pergi ke wastafel Haya membawa wajah yang berisi air.
"Watashi no namae wa Fujiwara Haya, aku akan memainkan permainan Hitori Kakurenbo untuk membuktikan pada sahabatku Watabene Eri jika kau dan papan ouija mu itu tidak ada apa-apanya, setelah kau melihat rekaman ini kau tidak mempunyai apapun lagi untuk dibanggakan, jadi Eri nikmati vidionya dan ucapkan sayonara pada cerita lama mu,"
Pertama Haya mengambil boneka lalu menyayat perut boneka itu. Dia mengeluarkan isi dari boneka itu dan menganti jeroannya dengan beras, potongan kuku dan supaya lebih greget Haya menggoreskan jari telunjuknya dengan pisau.
"Ittai," Dia meringis merasakan nyeri setetes demi setetes darah mulai keluar dari jari Haya. Diteteskan darah itu pada perut boneka Haya sedikit menekan jarinya supaya lebih banyak darah yang keluar.
Selanjutnya dia menjahit sayatan boneka itu dengan benang merah. Di Jepang benang merah diyakini sebagai nadi manusia unsur dari kehidupan.
"Eri, nama boneka ini adalah Eri," Haya menyeringai memikirkan ekspresi apa yang akan ditunjukan Eri nanti.
"Eri kau yang berjaga," Haya mengucapkan kata itu sebanyak tiga kali. Lalu dia menyimpan boneka itu di atas wadah berisi air.
Dia mengambil gelas berisi air garam sesegera mungkin Haya berlari mencari tempat persembunyian yang aman.
Dia memilih untuk bersembunyi di dalam guci besar di kamar orangtuanya.
Sungguh disana sangat sempit dan sumpek bahkan tangannya harus memegang bunga imitasi. Posisi dia berjongkok melipat kedua kakinya.
Dia sedikit ketakutan tapi dia harus kuat bagimana pun dia ingin menertawakan wajah Eri nanti.
Sepuluh menit berlalu belum ada tanda apa-apa keadaan masih sangat sepi dan lama kelamaan kaki Haya mulai kesemutan dia bergerak tak nyaman.
Tok
Tok
Tok
Suara pintu diketuk berbarengan dengan suara pintu terbuka. Haya semakin bergetar ketakutan.
Suara derap langkah terdengar jelas menghampiri dirinya.
"Haya-chan kamu dimana?" Suara serak terdengar jelas ditelinga Haya.
Haya semakin ketakutan dia berusaha kuat agar tangannya tidak bergetar, keringat dingin memenuhi tubuhnya dia ingin ini cepat berakhir.
'Kami-sama lindungilah aku' dalam hati dia berdoa pada Tuhan agar dia baik-baik saja.
"Haya-chan aku akan menghampiri mu," Boneka itu berjalan kearah lemari di samping guci besar Haya bersembunyi.
"Haya-chan dimana kamu? Didalam lemari?" Dengan kasar dia menarik pintu lemari hinga berbunyi,
Brak!
"Tidak ada?" Dia membalikan badannya ke kiri dan ke kanan.
Jantung Haya berpacu dengan cepat, dia mengigit bibirnya untuk menahan tangisannya. Bahkan Haya harus menahan nafasnya saat mendengar suara langkah kaki menghampirinya.
"Haya-chan dimana kamu? Dibalik kasur mu?" Boneka itu mengintip ke kolong kasur.
"Tidak ada?"
"Aku mendengar detak jantung mu, desah nafas mu terdengar jelas dari sini tidak usah bersembunyi karena aku sudah menemukan dirimu! Keluarlah,"
Haya membulatkan matanya di sudah berusaha menahan nafasnya dan mengontrol detak jantungnya apakah benar dia bisa mendengarnya.
"Keluarlah! Kau dimana! Dibawah meja! Di dalam kamar mandi?! Atau... Didalam guci?" Haya semakin mengigil ketakutan, dia telah berusaha keras untuk tidak bernafas dengan keras, darah mulai mengalir dari bibirnya dia terus mengigit bibirnya untuk menahan isak tangisnya.
Sementara diluar sana suara pecahan barang terdengar jelas.
Boneka itu mendorong guci didekat meja rias sampai pecah.
"Kau dimana!" Tak lama dia tertawa terbahak-bahak seolah ada yang membuat lelucon tapi tawa itu membuat Haya semakin ketakutan.
Suara benda dilempar menimbulkan suara gaduh yang memekakkan telinga.
Air mata Haya semakin mengalir deras dia terus berdoa pada Tuhan supaya dilindungi dari roh jahat.
Brak!
Haya terkejut dengan suara pintu yang ditutup dengan keras.
Hening.
Dengan keadaan kaki yang bergetar hebat Haya berusaha berdiri untuk melihat keadaan luar.
Sungguh kamar ortunya yang rapi kini seperti kapal pecah. Dia terisak pelan berusaha keluar lewat nakas yang berada di sampingnya.
Dia berusaha berjalan keluar, tangannya bergetar memegang gelas berisi air garam.
Perasaan ragu menghampirinya tapi ingin cepat menyelesaikan permainan ini. Haya membuka pintu kamar orang tuanya.
Hening tidak ada suara televisi yang tadi dia dinyalakan.
Dia bernafas lega, dia hanya perlu menemukan boneka itu dan semuanya berakhir.
Langkah pertama dia keluar kamar tiba-tiba...
"Kau ketemu," Dia dikejutkan dengan keberadaan boneka itu didepan wajahnya.
Haya berteriak keras tapi dengan cepat dia masukan air garam ke mulutnya lalu dia semburkan pada boneka ini.
Boneka itu jatuh begitu saja didepan kaki Haya. "Aku... Yang menang!"
Haya kembali menyemburkan air garam sampai tersisa setengahnya.
Dia mengambil boneka itu lalu kembali ke ruang tamu yang berada di lantai bawah. Haya meletakkan kembali boneka itu di tempat asalnya. Menyemburkan kembali sisa air garam pada boneka itu.
Dia menuju saklar lampu menyalahkan semua lampu dirumahnya. Haya meniup lilin yang tinggal setengahnya, mengambil telpon genggam yang dia simpan didekat televisi. Melepaskan kamera lalu mematikannya dia simpan kamera itu didekat televisi.
Dia berlari keluar rumah, mengunci pintu lalu menelepon seseorang.
"Eri aku akan menginap di apartemen mu,"
TBC