"Ambil saja suamiku, tapi bukan salahku merebut suamimu!"
Adara yang mengetahui pengkhianatan Galang—suaminya dan Sheila—sahabatnya, memilih diam, membiarkan keduanya seolah-olah aman dalam pengkhianatan itu.
Tapi, Adara bukan diam karena tak mampu. Namun, dia sudah merencanakan balas dendam yang melibatkan, Darren—suami Sheila, saat keduanya bekerjasama untuk membalas pengkhianatan diantara mereka, Darren mulai jatuh dalam pesona Adara, tapi Darren menyadari bahwa Adara tidak datang untuk bermain-main.
"Apa yang bisa aku berikan untuk membantumu?" —Darren
"Berikan saja tubuhmu itu, kepadaku!" —Adara
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Belas
Sheila menghela napas panjang saat melihat rumahnya dari kejauhan. Cuaca cerah, namun hatinya terasa seberat batu di dalam lautan. Setelah semalam menginap dengan Galang, dia akhirnya beranikan diri untuk menemui suaminya. Dia harus bisa pulang dan meyakinkan Darren untuk berpisah secara baik-baik agar mendapatkan harta gono-gini.
Ketika Sheila akhirnya memasuki pekarangan rumah, rasa cemasnya semakin menguat. Dia mengayunkan tangannya dan mengetuk pintu perlahan. Detak jantungnya memecah kesunyian, menciptakan irama kegelisahan yang tak bisa dia bendung lagi.
Pintu terbuka, dan dia langsung disambut oleh pemandangan yang mengejutkan. Koper besar dan tas berisi pakaian berserakan di depan kakinya. Darren, suaminya, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi dingin, seakan tak mengenali siapa dia yang berdiri di hadapannya.
"Selamat datang di rumah yang telah kau hancurkan," ujar Darren, suaranya tajam dan penuh sakit hati.
Sheila mendongak, melihat wajah Darren yang kini penuh amarah dan kekecewaan. "Darren, aku ... Aku minta maaf. Tolong berikan aku kesempatan untuk menjelaskan semua ini," ucap Sheila, dia menjulurkan tangannya, berharap ada sedikit kelembutan di balik ketidakpedulian yang ditunjukkan suaminya.
"Pengkhianat dan tukang selingkuh," Darren menyebutnya, setiap kata menjadikannya sebuah pujian yang paling pahit. "Itulah dirimu, Sheila. Rumah ini sudah ditutup untuk orang sepertimu."
Air mata Sheila mulai menetes, mengalir deras dari sudut matanya. "Darren, aku ingin bertemu dengan Fuji. Diab... dia pasti merindukanku," penuh harap dia meminta, merasakan sakitnya kehilangan dalam berbagai kepingan waktu yang dia lalui.
Darren mencibir dan menaruh tangannya pada pinggang, tetap tegar meski dadanya mungkin tengah bergolak. "Kau telah kehilangan anakmu sejak kau memilih untuk berselingkuh. Kakiku takkan pernah mengizinkanmu untuk melihatnya lagi."
Kata-kata itu seperti belati yang menyayat hatinya. Sheila merasa seluruh dunianya runtuh saat itu juga. "Tolong, Darren. Aku berjanji aku akan memperbaiki semuanya!" Dia berusaha mendekat, mencoba meraih harapannya yang tersisa, menginginkan pengertian di wajah suaminya.
Namun Darren tidak tergoyahkan. Dia mendorong tubuh Sheila, membuatnya terhuyung ke belakang, lalu melempar tasnya keluar dengan penuh kehampaan. "Keluar dari rumah ini. Tinggalkan segalanya. Tidak ada lagi kesempatan."
Sheila terjatuh, menyaksikan tas dan koper terbanting di halaman. Dia berusaha meraih tasnya, namun pintu sudah tertutup rapat di hadapannya. Jeritannya, “Darren, tolong! Aku hanya ingin bertemu Fuji!” hanya terdengar sebagai de'sah kesedihan yang tak berujung.
Dia terdiam sejenak, hanya mendengar suara angin yang berdesir lembut di telinganya, dan harapan mulai memudar. Sheila tahu dia harus pergi, tapi langkah kakinya terasa berat. Pandangannya tertuju pada pintu itu, terkurung dalam mimpi buruk yang tak terduga.
Hatinya terasa hampa, di luar rumah yang pernah menjadi surga, dia kini dipaksa untuk merelakan segalanya. Dalam, ada kerinduan yang terus bertanya, apakah sudah terlambat untuk memperbaiki segalanya?
Saat Sheila berbalik, pandangannya tidak bisa lepas dari jendela rumah. Di sana, wajah Fuji melintas — senyuman tulus yang selalu bisa menerangi harinya. "Apa yang harus aku lakukan, Fuji? Ibu akan berjuang kembali untukmu," bisiknya.
Namun, tidak ada suara, seolah dunia terdiam mendengar deru kasih yang semakin pudar. Dan saat Harper meninggalkan rumah yang dulunya hangat itu, satu pertanyaan terngiang di pikirannya…
"Apa yang harus aku lakukan jika semuanya terasa telah hilang?"
Di luar, jalanan sepi, lampu-lampu malam mulai menyala, dan Sheila menyadari bahwa perjalanannya baru saja dimulai. Sheila menatap ke depan. Dalam setiap langkahnya yang berat, dia bertekad untuk kembali ke pangkuan putrinya, tak peduli betapa beratnya rintangan yang ada di depan.
Dengan penuh keyakinan, dia berjanji pada dirinya sendiri, "Aku akan cari cara, Darren. Ini belum berakhir. Kau tak bisa mencampakkan aku begitu saja," gumam Sheila.
Sheila lalu menghubungi Galang. Mereka berdua tinggal di apartemen yang dibelikan Adara untuk ibu mertuanya. Namun, sampai hari ini belum ditempati.
"Ingat Darren, jika memang nantinya aku tak dapat apa-apa, aku akan melakukan sesuatu yang bisa membuat karir'mu hancur. Kita harus sama-sama menderita!" seru Sheila dalam hatinya.
**
Adara mengendarai mobilnya di jalan yang sibuk, pikirannya dipenuhi dengan masalah yang belum terpecahkan. Dia membutuhkan tempat untuk melepaskan kepenatannya dan memikirkan jalan keluar. Setelah beberapa saat mobil berjalan, Adara menemukan sebuah kafe yang nyaman dan memutuskan untuk masuk.
Adara memasuki halaman parkir. Dia lalu memarkirkan mobilnya. Setelah itu dia masuk dan memilih duduk di paling ujung. Sepertinya dia ingin menyendiri.
Dia memesan secangkir kopi dan duduk sendirian di sudut ruangan, jauh dari keramaian. Adara menutup matanya dan membiarkan aroma kopi hangat memenuhi hidungnya. Dia mulai melamun, membiarkan pikirannya mengembara ke tempat yang jauh.
Waktu berlalu tanpa Adara sadari, dia terlalu tenggelam dalam lamunannya. Tiba-tiba, dia merasakan ada seseorang yang duduk di sebelahnya. Adara membuka matanya dan terkejut melihat Darren, yang sedang tersenyum padanya.
Adara merasa sedikit terkejut, tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Darren memesan secangkir kopi dan mulai berbicara, "Boleh aku duduk di sini menemani kamu?" tanya Darren.
Adara tak menjawab, hanya anggukan kepala sebagai tanda setuju. Dia lalu kembali melamun.
"Apa kamu keberatan untuk berpisah dengan Galang?" tanya Darren.
"Kenapa Kak Darren bisa berpikir begitu?" Bukannya menjawab pertanyaan Darren, dia justru balik bertanya.
"Aku melihat kau ada keraguan untuk memutuskan berpisah. Jangan mengambil keputusan setengah-setengah. Yakinkan dirimu atas apa yang kau lakukan. Pastikan jika ini yang terbaik untukmu!" seru Darren.
Adara tersenyum simpul. Dia memang keberatan berpisah dengan suaminya, tapi bukan karena masih cinta. Namun, dia memikirkan harta yang mereka beli ada beberapa atas nama suaminya. Hal itu harus dibagi dua. Bahkan dia takut jika suaminya tak mau berbagi, padahal semua di beli dengan uang hasil dari keuntungan perusahaan.
"Aku yakin ingin berpisah. Tak ada keraguan. Cuma ada sedikit yang aku pikirkan," jawab Adara dengan suara pelan.
"Apa lagi yang kamu pikirkan. Jika dia tak pernah berpikir saat menduakan kamu, kenapa kamu harus berpikir untuk berpisah. Kalau tebakanku benar, kamu memikirkan harta, aku sarankan lepaskan saja. Harta bisa dicari, tapi ketenangan jiwa akan sulit kamu dapatkan jika masih terus bersama!" seru Darren.
Adara tersenyum memandangi Darren. Pria itu lalu membalasnya. Dia jadi terpesona melihat senyum suami sahabatnya tersebut. Baru dia sadari jika Darren sangat manis dan tampan.
"Kak, apa kamu mau menolongku untuk membalas sakit hatiku pada Galang dan Sheila?" tanya Adara. Tiba-tiba sesuatu terlintas dipikirannya.
"Apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu?" tanya Darren.
"Jadilah pasanganku. Kita pura-pura menjadi pasangan kekasih. Biar kedua orang itu sakit hati," ucap Adara. Darren mengerutkan dahinya mendengar permintaan Dara.
**
Selamat Sore. Sambil menunggu novel ini update bisa mampir ke novel anak online mama di bawah ini. Terima kasih.
Good Andara jangan mau di injak 2 sama nenek gombel Sheila
kl mau pngsan,slakan aja....drpd mkin malu....😝😝😝