Murni, seorang biarawati yang sedang cuti karena ingin menyembuhkan jiwa setelah terganggu mimpi-mimpi buruk yang terus berdatangan, menerima pesan aneh di ponselnya -suara paniknya sendiri yang membuatnya penasaran. Ia mengikuti petunjuk yang membawanya ke sebuah warung makan tua yang hanya buka saat malam.
Di warung itu ia bertemu dengan Mahanta, seorang juru masak pendiam yang misterius. Namun warung itu bukan warung biasa. Pelanggannya adalah jiwa-jiwa yang belum bisa pergi, dan menu makanannya bisa menenangkan roh atau mengirimnya ke dalam kegelapan. Murni perlahan terseret dalam dunia antara hidup dan mati. Ia mulai melihat masa lalu yang bukan miliknya. Meskipun Mahanta tampaknya menyimpan rahasia gelap tentang siapa dirinya dan siapa Murni sesungguhnya, pria itu bungkam. Sampai cinta yang semestinya dilarang oleh langit dan neraka merayap hadir dan mengungkapkan segalanya.
L'oubli (B. Perancis): keadaan tidak menyadari atau tidak sadar akan apa yang sedang terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Season 1 ; Bab 10 – Rasa Yang Asing
Seolah disengat, Murni mundur satu langkah.
“Aku harus pulang.” Dengan gugup ia memutar tubuh.
Mahanta hanya menatapnya pergi, tidak menahan.
Murni melesat keluar dari warung. Malam menggigit tubuhnya dengan angin lembap. Ia menengadah, membiarkan dingin malam mengusir rasa hangat di pipinya. Lalu berjalan cepat, seolah ingin menjauh dari sesuatu yang tak bisa ia hadapi.
Di kamar sewanya yang sempit, Murni menghadap cermin dan menatap bandul salib kayu kecil yang tergantung di kalungnya. Tangannya yang gemetar terangkat, menyentuh salib itu dan menggenggamnya, lalu ia memejamkan mata.
Ia tidak tahu apa yang ia rasakan. Ia hanya merasa… sangat berdosa, dan… kotor.
Mungkinkah itu yang disebut tertarik pada lawan jenis? Dosa kedagingan yang disebutkan dalam Alkitab? Tidak bisa! Tidak boleh! Bagaimana mungkin!
Ia memang belum sah menjadi biarawati, belum mengucapkan kaul kekal. Tapi ia telah melewati tahap postulansi, dua tahun masa penegasan tentang niat seseorang yang ingin menjadi biarawati. Murni lulus tanpa kesulitan, ia sudah yakin, hatinya sungguh-sungguh ingin melayani Tuhan.
Kini ia sedang dalam tahap novisiat selama dua tahun lagi. Tahap novisiat ini lebih menggali dan memupuk hubungan dengan Tuhan melalui doa dan keimanan, serta mengembangkan semangat misionaris melalui pengalaman kerasulan. Sebagai seorang novis, ia memang telah mengenakan seragam biarawati, tapi belum sah sebagai biarawati.
Setelah tahap novisiat, barulah ia akan mengucapkan kaul, itu pun baru kaul sementara yang bisa berlangsung enam hingga sembilan tahun. Jika ia tetap teguh, barulah ia akan mengucapkan kaul kekal. Jalan menuju biarawati tidak mudah. Hati seseorang benar-benar harus bulat, teguh, tidak tergoda akan hal-hal lain selain melayani Kristus, menjadi pengantinNya.
Selama ini mata Murni selalu tertuju ke kayu salib, tidak pernah melirik ke kanan ke kiri. Setiap pagi, bangun tidur ia berlutut mengucap syukur. Kadang ia pergi ke kapel untuk menyalakan lilin dan berdoa di depan patung Bunda Maria. Setelah itu baru melakukan aktifitas lain.
Orang-orang luar mungkin melihat hidupnya membosankan, tapi ia tidak merasa begitu. Hatinya damai, telinganya teduh, tidurnya nyenyak tanpa mimpi.
Entah mengapa tiba-tiba saja mimpi buruk itu menghampirinya suatu malam. Disusul dengan malam-malam berikutnya. Awalnya Murni mengabaikannya. Namun ketika mimpi itu terasa kian nyata, ia mulai gelisah.
Dan saat ini, ia terpaku di depan cermin. Tiba-tiba menyadari bahwa sejak ia pergi ke Warung Murni, mimpi-mimpi itu tidak pernah datang lagi.
Apakah mimpi itu sebuah petunjuk agar ia bertemu Mahanta?
Mengapa? Untuk apa?
Dan sekarang… rasa ini…
Air bening perlahan bergulir dari sudut mata dan mengalir di pipinya.
“Aku adalah pengantinMu... Tuhan,” bisiknya pelan, patah. “Tapi kenapa aku... merasa begini?”
Murni memejamkan mata, ingin mengusir rasa itu. Namun, bayangan Mahanta malah menari-nari di benaknya. Tatapan itu. Suara beratnya. Wajah yang tampan. Dan… aroma tubuhnya.
“Maafkan aku... maafkan aku… ampuni hambaMu yang telah berdosa ini…”
Murni menggenggam salib lebih erat. Lalu jatuh tersungkur di lantai. Ia berlutut dan mulai mengucapkan doa Salam Maria.
Salam Maria, penuh rahmat, Tuhan sertaMu, terpujilah Engkau diantara wanita, dan terpujilah buah tubuhMu Yesus. Santa Maria, Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini, sekarang dan waktu kami mati. Amin.
Bunda Maria yang baik dan murah hati, jauhkanlah diriku dari dosa, jadikanlah tubuhku murni dan jiwaku suci.
Malam itu, Murni komat-kamit berdoa semalam suntuk.
"Tuhan, aku takut. Aku belum pernah merasakan ini sebelumnya. Tapi mengapa aku merasa seperti mengkhianatiMu. Aku merasa ini salah. Perasaan yang kurasakan pada Mahanta tadi seharusnya tak boleh ada. Jika ini cobaan, jadikan aku kuat. Tapi jika ini takdir... aku mohon…"
Lalu ia terdiam. Karena jauh di lubuk hatinya, ia tak yakin ingin memohon apa.
—
Murni merapatkan kerah gaunnya. Hawa dingin seperti selimut es yang dilempar begitu saja ke tubuh dunia. Warung Murni menyala temaram, seolah cahaya lampunya enggan menerangi terlalu banyak, seolah ingin mengatakan bahwa ini tempat rahasia yang tidak boleh diketahui banyak orang.
Namun... ada yang berbeda.
Itu bukan gang terpencil yang gelap, di kiri kanan jalan terdapat semak-semak rendah dengan bunga warna-warni yang bermekaran. Begitu banyak bunga mekar sampai di udara tercium wangi samar yang terasa manis di hidung.
Hari belum terlalu malam, tampak dari langit yang berwarna jingga keemasan. Murni agak heran. Bukankah Warung Murni hanya buka mulai tengah malam hingga jam tiga pagi? Mengapa hari ini berubah?
Murni berjalan perlahan dan merasakan kakinya dingin. Ia menunduk dan melihat ternyata kakinya telanjang. Gaun panjang yang dikenakannya terasa halus, melambai menyapu tanah.
Mahanta telah berdiri di ambang pintu, seolah menanti kedatangannya. Dan… laki-laki itu tersenyum. Bukan senyum tipis samar. Tapi senyum hangat yang sampai ke matanya, sehingga membuat Murni hampir tidak mengenalinya.
Itu tidak biasa.
Mengapa hari ini semuanya tampak janggal?
Mahanta bahkan mengulurkan tangan, dan Murni, di luar kehendaknya, menyambut tangan itu.
Begitu tangan mereka saling menggenggam, Mahanta menariknya ke dalam pelukan. Dan Murni… tidak berusaha melepaskan diri. Seolah ia merasa… sangat merindukan lelaki itu. Seolah mereka telah berpisah berabad-abad lamanya. Padahal malam kemarin mereka baru bertemu.
Berdua mereka melangkah masuk ke dalam warung. Mahanta membimbingnya duduk di kursi yang biasa ia duduki, lalu lelaki itu menghilang ke dapur. Api di kompor menyala kecil, menjaga panci mendidih perlahan. Aroma daging dan rempah menguar, namun tidak ada pelanggan. Tak ada suara lonceng pintu, tak ada bisikan dari lorong-lorong waktu.
Mahanta membawa sup daging itu ke hadapannya, membiarkan Murni menghidu aromanya. Itu benar-benar membuat perutnya keroncongan, bahkan air liurnya terasa mendadak encer.
Mahanta tertawa kecil, lalu mulai menyendok satu potongan daging, meniupnya perlahan, dan setelah dirasa tidak akan membakar lidah, menyuapkan ke mulut Murni.
Murni… tanpa ragu membuka mulut, menerima potongan daging itu dan mulai mengunyah. Itu benar-benar nikmat, empuk, bumbunya sangat meresap, dan kuahnya benar-benar gurih.
“Enak?” Mahanta bertanya, menatap Murni dengan intens.
Murni menatapnya. Lelaki itu tampak lebih rapi. Rambutnya masih acak-acakan tapi pakaiannya… tidak berwarna abu-abu lusuh. Kali ini dia mengenakan kemeja hitam, bukan, semacam jubah dengan bagian dada yang terbuka, menunjukkan otot dadanya yang kencang.
Murni ingin mengalihkan pandang, karena itu tidak pantas. Tapi matanya berlawanan dengan niatnya. Bukan mengalihkan pandang, sebaliknya, Murni mengangkat matanya ke arah wajah Mahanta, balas menatap dengan berani.
Mata Mahanta juga berbeda. Masih sehitam malam dalam, tetapi bercak yang biasanya berwarna keunguan sepertinya saat ini berwarna merah dengan titik kuning seperti nyala api. Apakah mata Mahanta berubah-ubah warna sesuai emosinya?
“Kau membuatkan aku makanan seenak ini terus, mau bikin aku gemuk ya?! Murni menuduh. Terkejut sendiri karena ia berani mencandai lelaki itu.
Mahanta tertawa, lepas, hampir tergelak, kepalanya sampai terdorong ke belakang. Setelah itu, dia mengulurkan tangan dan menangkup pipi Murni, bahkan mengusap dengan ibu jarinya!
Anehnya, Murni bergeming. Tidak menghindar.
“Kau tidak mungkin gemuk. Kau adalah makhluk paling cantik, paling sempurna yang pernah kulihat, itu sebabnya aku…”
Mendadak… pintu warung bergetar keras. Lonceng di atasnya berdering, tapi tak ada yang masuk.
Angin dingin menerobos lewat celah jendela. Api kompor bergetar. Mangkuk-mangkuk di rak dapur bergemerincing satu per satu, seolah ada tangan-tangan tak kasatmata yang menyentuhnya.
Murni tersentak bangkit. “Apakah ini... gempa?”
Mahanta berdiri perlahan, pandangannya tajam mengarah ke pintu. “Bukan.”
Lalu... sesuatu masuk.
Bukan manusia. Bukan hantu. Tapi... bayangan.
Ia tak memiliki bentuk jelas. Seperti noda hitam yang merayap dari lantai, menjalar di dinding, mengendap di udara. Cahaya lampu menyusut begitu ia bergerak. Wujud itu seperti kumpulan asap basah yang bernapas.
Murni menahan napas, tubuhnya membeku.
Bayangan itu berputar-putar di tengah ruangan, lalu menukik mendekati meja tempat Ardi duduk malam sebelumnya.
Lalu suara itu terdengar.
"Yang belum mati... tidak boleh diselamatkan..."
Suara itu seperti berasal dari balik batu besar, berat, dan kosong. Murni menutup telinganya, tapi suara itu merayap langsung ke pikirannya.
Mahanta berdiri tegak. Matanya menyala samar, seperti bara api jauh di dasar sumur gelap. Dia menatap bayangan itu, dan untuk pertama kalinya, Murni melihat jejak kekuatan yang bukan dari dunia ini.
“Dia tidak diselamatkan,” kata Mahanta. Suaranya dalam dan mantap. “Dia memilih.”
Bayangan itu menggeliat dan berbalik. Mahanta menarik tubuh Murni ke dalam pelukannya. Murni membiarkan lelaki itu memeluknya, tubuhnya gemetar. Entah karena takut pada bayangan itu, atau karena emosi yang tidak ia mengerti akibat tubuh mereka yang menempel tanpa jarak.
Bayangan itu kian dekat…
Murni memejamkan mata.
"Kau melanggar batas, Obitus..."
Obitus?
Tiba-tiba saja ia merasa pelukan Mahanta mengendur. Kedua tangan yang dengan erat melingkari tubuhnya tidak lagi terasa.
Murni membuka mata.
Terkejut melihat… Mahanta kini hanya sekumpulan asap hitam. Seperti gumpalan asap dari kebakaran hutan, bergulung-gulung naik, lalu keluar pintu.
“Mahanta… Mahanta!” Murni mengejar asap itu.
Tapi di luar, hanya ada keheningan.
kesedihan ,bebannya pindah ke murni ?
🤔
apakah jiwa nya blm kembali ke asal
masih gentayangan
tapi kebanyakan semakin di larang semakin penasaran