Lana, seorang gadis yang tumbuh dalam pengabaian orangtua dan terluka oleh cinta, harus berjuang bangkit dari kepedihan, belajar memaafkan dan menemukan kembali kepercayaan pada cinta sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lidya Riani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 8 Ulang Tahun Nenek
Lana menatap layar ponselnya, pesan singkat dari orang tua muridnya barusan mendarat di sana. Nafasnya berhembus lemah, kekecewaan menyelinap di hatinya. Jadwal les sore ini tiba-tiba dibatalkan, padahal ia sudah bersiap dengan materi dan perangkat mengajarnya.
Setiap Senin hingga Kamis sore, Lana mengabdikan diri untuk membimbing anak tetangganya yang masih duduk di bangku SD. Matematika dan Bahasa Inggris adalah dua mata pelajaran yang selalu ia siapkan dengan cermat.
Lana meregangkan tangannya yang terasa kaku, otot-ototnya memprotes karena terlalu lama duduk.
"Ah, sudahlah," gumamnya.
Jika les hari ini batal, ia bisa pulang lebih awal dan merawat tanaman kesayangannya di halaman belakang. Tanaman-tanaman itu pasti merindukan sentuhan tangannya yang lembut. Selain itu, ia juga bisa fokus berlatih soal-soal latihan, demi meraih beasiswa impiannya.
Waktu adalah komoditas berharga bagi Lana. Ia segera memasukkan buku-buku ke dalam tas, langkahnya mantap menuju pintu kelas. Jam tangannya berdetak, mengingatkannya pada segudang rencana yang sudah tersusun rapi di benaknya. Kebiasaan merencanakan hari membuatnya merasa lebih produktif, setiap detik terasa berarti.
Lana berbeda dari teman-temannya. Ia lebih suka menyendiri, menjauh dari keramaian yang menurutnya hanya membuang-buang waktu. Dilla, sahabatnya, seringkali merasa gemas dengan keseriusan Lana yang berlebihan. Ajakan menonton film, belanja, atau sekadar nongkrong selalu ditolak mentah-mentah. Namun, mata Lana akan berbinar jika diajak ke perpustakaan, pameran seni, atau lokakarya kerajinan tangan.
Langkah kaki Lana membawanya ke halte bus terdekat. Alunan lagu favorit dari headphone mengiringi perjalanannya. Tepat saat ia akan menempelkan kartu transportasi, sebuah tangan tiba-tiba menahannya.
Lana menoleh, mendapati Sakha yang terengah-engah, seolah baru saja menyelesaikan maraton.
"Sakha? Ada apa?" tanyanya heran.
"Kamu jalan cepat sekali, dari tadi aku panggil, tapi kamu tidak dengar," jawab Sakha, nafasnya masih memburu.
Lana menepuk jidatnya, merasa bersalah. "Maaf, aku pakai headphone," ujarnya sambil menunjuk headphone yang tergantung di lehernya.
Mereka bergeser ke tepi halte, memberi ruang bagi penumpang lain.
"Memangnya ada apa?" tanya Lana lagi.
"Kamu ada jadwal les hari ini?"
Lana menggeleng.
"Batal."
Sakha menjentikkan jarinya.
"Ke rumah, yuk? Nenek ulang tahun hari ini."
"Hah? Nenek ulang tahun? Hari ini?" Mata Lana membulat, terkejut.
Sakha mengangguk.
"Nenek ingin kamu datang."
"Hmm..." Lana tampak ragu. "Boleh saja, tapi..."
"Kamu ada acara lain?"
Lana menggeleng.
"Aku belum menyiapkan hadiah untuk nenek, masa datang dengan tangan kosong."
"Tidak apa-apa, Nek. Nenek hanya ingin kamu datang."
Lana menggigit bibirnya, bimbang.
"Baiklah," akhirnya ia setuju.
Sakha meraih tangan Lana, menggenggamnya erat, dan membawanya keluar dari halte.
Lana tersentak, menarik tangannya dengan canggung. Sakha menoleh, menatapnya bingung.
"Aku bisa jalan sendiri," ucap Lana, pipinya merona.
...-------------...
Rumah Nenek Yasmin menyambut mereka dengan hangat. Nenek langsung memeluk Lana, senyumnya merekah.
"Selamat ulang tahun, Nek. Maaf, Lana tidak membawa hadiah, Sakha baru memberitahu hari ini," jelas Lana, merasa tidak enak.
"Tidak apa-apa, Sayang. Kedatanganmu saja sudah membuat nenek bahagia," ujar Nenek, mengusap kepala Lana dengan penuh kasih sayang.
Lana merasa canggung, tidak terbiasa dengan perlakuan penuh kasih seperti ini. Bahkan dari orang tuanya sendiri, ia tak pernah mendapatkannya. Ia hanya bisa tersenyum kaku, tidak tahu harus bersikap seperti apa.
Nenek Yasmin mengajak Lana makan malam bersama.
"Orang tuamu sudah pulang dari luar kota?" tanya Nenek di sela-sela obrolan.
Lana menggigit bibirnya, melirik Sakha, seolah meminta pertolongan.
"Oh, itu... ayah dan bunda, belum, Nek. Mungkin bulan depan," jawab Lana terbata-bata.
Sakha melihat ketidaknyamanan di wajah Lana, raut gugup yang selalu muncul setiap kali gadis itu berbicara tentang orang tuanya.
"Oh iya, Nek, kata Mama, dia akan mengirim hadiah untuk nenek, sudah sampai belum paketnya?" Sakha mencoba mengalihkan perhatian.
"Eh, masa? Belum ada, tuh. Coba nanti nenek tanya Bi Maya, takutnya lupa diberikan ke nenek," sahut Nenek.
Nenek kembali menawarkan hidangan, membuat perut Lana terasa penuh.
"Jadi, Mama Sakha tinggal di Kanada, pulangnya setahun sekali. Sakha sebenarnya sudah diajak ikut tinggal di sana, tapi dia tidak mau meninggalkan nenek, kan? Maunya di sini saja sama nenek, kan?" goda Nenek.
"Ih, nenek percaya diri sekali," bantah Sakha, pipinya merona.
"Suka tidak mengaku kalau sayang sama nenek, kan? Dasar kamu!" Nenek mencubit pipi Sakha gemas.
Melihat kedekatan Sakha dan Nenek Yasmin, hati Lana menghangat. Ia selalu merindukan kehangatan keluarga seperti ini, sesuatu yang membuatnya percaya bahwa kebahagiaan keluarga itu masih ada.
Setelah makan malam, mereka menonton serial favorit Nenek Yasmin. Sakha terlihat bosan, hanya berbaring di sofa sambil bermain ponsel. Lana membantu mengupas buah dan memotongnya kecil-kecil untuk Nenek.
Selama menonton, Nenek terus mengomel, mengkritik alur cerita dan akting para pemain. Lana menanggapi semua keluhan Nenek dengan senyum geli. Nenek memang suka mengomel, tapi ia tetap tidak mau mengganti saluran televisi.
"Nenek, marah-marah terus. Sakha ganti nih filmnya," ujar Sakha, mengambil remote.
"Eh, awas ya kamu, ganti saluran, nenek tidak kasih uang jajan sebulan," ancam Nenek.
"Duh, beraninya mengancam. Biar nanti Sakha minta sama Mama saja," balas Sakha, menjulurkan lidahnya.
"Ish, dasar cucu nakal!" Nenek melempar bantal ke arah Sakha, yang hanya tertawa-tawa.
Lana berdiri, merebut remote dari tangan Sakha. Sakha mendongak, menatap Lana yang memasang wajah serius. "Belajar sana, jangan ganggu nenek," usir Lana.
"Dih, sendirinya juga tidak belajar," balas Sakha.
"Besok ada PR, lho. Kamu tidak mengerjakan PR?" tanya Lana santai.
"Bohong," jawab Sakha tidak percaya.
"Ih, enggak percaya! PR Matematika dan Seni Budaya. Aku sudah selesai dari kemarin," ujar Lana bangga.
"Nah, lo, tahu rasa. Sana belajar! Nenek mau nonton berdua saja sama Lana," usir Nenek.
Wajah Sakha langsung panik, melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 20.30. Ia beranjak dan berlari ke kamarnya. Nenek dan Lana tertawa melihat tingkahnya.
Tak lama setelah pemuda itu pergi, ponsel Lana bergetar, pesan dari Sakha muncul di layar.
"Tunggu aku selesai mengerjakan PR, ya! Pulangnya aku antar."
...----------------...
tak bapak tak ibu sama aja dua duanya jahat sama anak sendiri