Menceritakan tentang dimana nilai dan martabat wanita tak jauh lebih berharga dari segenggam uang, dimana seorang gadis lugu yang baru berusia 17 tahun menikahi pria kaya berusia 28 tahun. Jika kau berfikir ini tentang cinta maka lebih baik buang fikiran itu jauh - jauh karena ini kisah yang mengambil banyak sisi realita dalam kehidupan perempuan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Just story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6
Di dalam kamar yang sederhana namun rapi, Yeon Ji kecil duduk di atas sofa berwarna abu. Cahaya pagi yang lembut menyelinap masuk melalui celah tirai jendela, menerangi wajahnya yang penuh konsentrasi. Buku catatan kecil terbuka di pangkuannya, sementara tangan mungilnya memegang pensil yang masih terlihat baru.
Ia dengan serius mengulang pelajaran pertama yang diajarkan gurunya beberapa hari lalu, membaca dengan suara pelan, seolah takut mengganggu keheningan pagi itu.
"Ini huruf A, lalu ini B, lalu C... ini apa ya?" gumamnya, alisnya berkerut. "Bu guru bilang..."
Yeon Ji kecil menghentikan bacaannya sejenak. Ia mencoba mengingat lebih dalam apa yang diajarkan gurunya di sekolah. Matanya menatap kosong ke arah buku di pangkuannya, sementara bibirnya bergerak perlahan mengikuti kata-kata yang terngiang dalam ingatan.
Namun, suasana hening itu terpecah oleh suara yang sudah sangat akrab di telinganya.
"Yeon Ji, apa yang sedang kau lakukan?" suara berat Kim Woon terdengar dari ambang pintu.
Yeon Ji menoleh, matanya berbinar melihat sosok ayahnya. "Ayah, kau sudah datang! Aku sedang mengulang pelajaran di sekolah tadi. Hanya saja aku lupa apa nama huruf setelah C..."
Ucapnya polos, suaranya lembut dan penuh rasa ingin tahu. Ia segera bangkit dari sofa, membawa buku itu serta.
Kim Woon menatapnya tanpa ekspresi. "Yeon Ji, berikan buku itu pada Ayah. Mulai sekarang, lupakan semua tentang sekolah dan belajar."
Kening Yeon Ji berkerut. "Tapi kenapa, Ayah? Aku sangat suka sekolah. Di sana aku mengenal banyak orang, Bu Guru juga bilang bahwa belajar itu penting untuk semua orang agar bisa..."
"Yeon Ji!!" Suara Kim Woon meninggi, memotong kalimat putrinya. "Sejak kapan kau belajar membantah perintah Ayahmu?!"
Yeon Ji tersentak, tubuh kecilnya menegang. "A-aku tidak membantah, Ayah... Aku hanya menyampaikan apa yang Bu Guru katakan..."
Ia berdiri kaku, jemarinya mencengkeram buku itu dengan gemetar. Matanya menatap Kim Woon dengan penuh kebingungan dan rasa takut yang mulai merambati hatinya. Tatapan tajam ayahnya membakar seluruh keberanian yang tersisa dalam dirinya.
Kim Woon melangkah mendekat, bayangannya menelan cahaya di sekitarnya. Dengan gerakan cepat dan tanpa ragu, tangannya merampas buku dari genggaman Yeon Ji. Bunyi sobekan kertas menggema tajam di udara, seolah mencabik harapan kecil yang masih ia pegang erat.
"Ayah..." suara Yeon Ji nyaris berbisik, matanya berkaca-kaca.
"Karena buku-buku ini, kau berani membantah Ayahmu?! Kau berani menjawab perkataan Ayah hanya karena omongan seseorang yang baru saja kau kenal?!" suara Kim Woon bergetar oleh amarah.
Yeon Ji buru-buru menggeleng. "Aku minta maaf, Ayah... Aku tidak akan melakukannya lagi..."
Namun permohonan itu tak menghentikan tindakan Kim Woon. Ia meraih tas sekolah Yeon Ji, mengeluarkan buku-buku pelajaran dan seragam sekolah dari dalamnya. Semua itu ia genggam erat tanpa sedikit pun ekspresi di wajahnya. Tanpa memberi penjelasan, ia berbalik dan berjalan menuju dapur.
Panik menyergap hati Yeon Ji. Dengan mata membelalak, ia bergegas mengejar ayahnya, air mata menetes tanpa bisa ia tahan.
"Ayah! Kumohon... Maafkan aku... Aku tidak akan nakal lagi... Aku akan mendengarkan semua perintah Ayah!" suaranya bergetar, penuh ketakutan dan kepasrahan.
Namun kim woon tidak menghiraukan keberadaan putri nya, dia mengambil korek dan minyak lalu pergi ke halaman rumah.
Di halaman rumah, Kim Woon berdiri dengan tatapan kosong, menggenggam botol minyak di satu tangan dan korek api di tangan lainnya. Tanpa memedulikan tangisan putrinya, ia menyiramkan minyak ke atas tas sekolah, buku-buku pelajaran, dan seragam Yeon Ji yang tergeletak di tanah.
"Kau tidak ingin mendengarkan ayahmu, kan?! Dan ingin terus belajar?!" suaranya menggema penuh kemarahan.
"Tidak, Ayah! Tolong, maafkan aku!" Yeon Ji berlutut, memeluk kaki ayahnya erat, berusaha menghentikannya.
Namun, Kim Woon tetap tak bergeming. Dengan satu gerakan tegas, ia menyalakan korek api dan melemparkannya ke atas benda-benda yang telah tersiram minyak. Dalam sekejap, kobaran api menyala liar, menelan harapan kecil Yeon Ji bersama kertas-kertas yang mulai berubah menjadi abu.
"Tidak, Ayah!!! Jangan!!! Buku-bukuku!!!" jerit Yeon Ji, suaranya pecah dalam kepedihan.
Air matanya jatuh tanpa henti saat ia menatap api yang melahap segalanya. Bau kertas terbakar menguar di udara, menusuk hidung dan hatinya sekaligus. Kakinya bergerak, ingin menerjang ke dalam api dan menyelamatkan sisa-sisa mimpinya yang kini hangus perlahan.
Tapi sebuah genggaman kuat mencengkeram pergelangan tangannya. Kim Woon menariknya ke belakang, memaksanya menjauh dari kobaran api. Tubuh kecil Yeon Ji bergetar hebat, kedua tangannya mencoba meronta, namun cengkeraman sang ayah begitu kokoh.
Di kejauhan, Do Hyun yang tengah melintas bersama para pengawalnya memperhatikan kejadian itu
"Apa yang terjadi di sana?" tanyanya.
"Sepertinya itu buku-buku dan seragam sekolah putrinya, yang saya berikan beberapa waktu lalu," jawab Wang He, salah satu anak buahnya.
Mata tajam Do Hyun menatap Kim Woon yang tengah memaksa Yeon Ji masuk ke dalam rumah dan menguncinya di kamar.
"Tuan, haruskah saya menghentikannya?" Wang He bertanya ragu.
Do Hyun menghela napas pelan. "Tidak perlu. Itu urusan mereka. Biarkan dia mengurus putrinya sendiri."
Di sudut dapur yang remang, Kim Woon berdiri mematung. Sorot matanya kosong, seakan tenggelam dalam lautan penyesalan. Api dari kompor memantulkan bayangan samar di wajahnya yang tampak lebih tua dalam sekejap.
Kata-kata yang tadi ia lontarkan masih terngiang di telinganya, menggema seperti bisikan setan yang enggan pergi. Ia mengepalkan tangan, kukunya menekan telapak hingga hampir berdarah. Perlahan, tanpa sadar, tangannya menjulur ke atas nyala api.
Panas itu menggigit kulitnya, membakar, menyakitkan. Tapi bagi Kim Woon, rasa sakit itu tak sebanding dengan perih yang menggerogoti hatinya.
"Maafkan aku, Yeon Ji..." bisiknya lirih. "Karena begitu pengecutnya aku, hingga harus melakukan ini padamu."
Sepasang matanya yang penuh penyesalan menatap kosong ke api yang bergejolak di hadapannya.
"Aku bahkan tidak punya keberanian untuk menangis dan meminta maaf kepadamu secara langsung..."
Ia menelan ludah, tenggorokannya terasa perih.
"Seandainya aku bukan ayahmu... mungkin kau akan jauh lebih bahagia sekarang."
kakek yg egois dan berhati iblis...bagaimana jika cucux benci yeon ji berubah menjadi bucin...