Empat tahun berlalu, Jagat Hartadi masih larut dalam perasaan cinta tak berbalas. Dia memilih menjalani hidup sendiri, hingga suatu malam dirinya membantu seorang wanita yang pingsan di pinggir jalan.
Jenna, itulah nama wanita tersebut. Siapa sangka, dia memiliki kisah kelam menyedihkan, yang membuat Jagat iba.
Dari sana, timbul niat Jagat untuk menikahi Jenna, meskipun belum mengenal baik wanita itu. Pernikahan tanpa dilandasi cinta akhirnya terjadi.
Akankah pernikahan yang berawal dari rasa kasihan, bisa menjadi surga dunia bagi Jenna dan Jagat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 25 : Wanita Menyedihkan
Malam itu, Haris dan Viviana bertandang ke kediaman Jagat untuk makan malam bersama, sekaligus berpamitan karena akan kembali ke Belanda.
Kedatangan pasangan suami-istri itu disambut hangat oleh Jagat. Namun, tidak oleh Jenna, yang jelas-jelas tak menyukai kehadiran mereka. Meskipun begitu, Jenna tetap memperlihatkan sikap baik dan ramah.
“Kami sudah menyiapkan menu makan malam istimewa,” ucap Jagat. Paras tampannya begitu berseri. Terlebih, setelah akhirnya bisa bercinta dengan Jenna.
“Kenapa harus repot-repot segala, Pak Jagat?” Seperti biasa, Viviana selalu terlihat anggun di depan orang lain, dengan memperlihatkan sikap yang elegan.
Namun, itu jadi cibiran bagi Jenna, yang mengetahui betapa menyebalkannya istri Haris tersebut.
“Tidak apa-apa, Bu Viviana. Anda dan Pak Haris adalah tamu istimewa kami. Lagi pula, saya dan Pak Haris akan menjalin kerja sama bisnis. Kami harus mulai mengakrabkan diri, agar tidak ada kecanggungan. Bukankah begitu, Pak?”
Haris yang diam-diam tengah memperhatikan Jenna, langsung tersadar ketika namanya disebut. Pengusaha tampan 43 tahun tersebut langsung menyambut ucapan Jagat dengan senyum kalem penuh wibawa. “Itu benar sekali, Pak Jagat. Sesuatu yang besar, pasti diawali dengan hal sederhana,” balasnya. “Omong-omong, di mana Sakha?”
Seketika, raut wajah Jenna berubah kian tak bersahabat, ketika nama sang putra disebut. “Sakha sudah tidur. Aku tidak mau mengganggunya. Lagi pula, bayi berusia dua bulan tidak harus diikutsertakan dalam acara seperti ini.”
Jawaban yang diberikan Jenna terdengar agak sinis. Itu membuat Jagat menoleh dan menatapnya keheranan. Jenna dinilai terlalu berlebihan, dalam menanggapi pertanyaan sederhana tadi.
“Sayang ….” Jagat menyentuh lembut punggung tangan Jenna, seakan memberi isyarat kepada wanita itu.
Jenna menoleh dan langsung tersenyum. “Aku ke dapur dulu untuk menyiapkan makanan,” ucapnya, kemudian menyentuh pipi Jagat penuh kasih. Dia seperti sengaja melakukan itu di hadapan Haris dan Viviana.
“Biar saya bantu, Bu Jenna.” Viviana berdiri, lalu mengikuti Jenna ke dapur.
“Aku tidak memintamu kemari,” ucap Jenna ketus, ketika sudah berada di dapur.
“Aku membantumu dengan senang hati,” ujar Viviana, menanggapi santai ucapan Jenna.
“Bantulah dirimu sendiri.” Jenna menatap tak suka. Nada bicaranya pun terdengar kian tak bersahabat.
Viviana tersenyum kecil. Dia masih menanggapi tenang ucapan Jenna. “Apa kamu sudah mengambil keputusan?” tanyanya. Dia yang mengatakan hendak membantu menyiapkan makan malam, ternyata hanya berdiri memperhatikan Jenna yang bolak-balik menata makanan di meja.
“Tidak ada yang harus kuputuskan. Aku sudah menegaskan, tak akan memberikan Sakha, meski kepada ayah kandungnya sekalipun!”
“Kita lihat seperti apa tanggapan suamimu\, bila mengetahui kenyataan ini. Dia pasti sangat terkejut dan mungkin _____”
“Kamu hanya akan mempermalukan diri sendiri. Suamimu berselingkuh hingga memiliki anak dari wanita lain. Betapa bobrok rumah tangga yang selama ini kamu perlihatkan sempurna di depan semua orang.”
“Tutup mulutmu, Ja.lang!” sergah Viviana.
“Kamu menyuruhku menutup mulut, tetapi justru kamu sendiri yang banyak bicara, Wanita tua!” balas Jenna tak mau kalah.
“Aku wanita tua yang memiliki harga diri. Tidak sepertimu yang rela telanjang di hadapan banyak pria, hanya demi uang tak seberapa.”
Jenna yang tengah menata meja makan, langsung menghampiri Viviana, lalu berdiri di hadapan wanita itu. Ditatapnya tajam istri Haris tersebut, tanpa rasa takut sama sekali. “Wanita yang memiliki harga diri, pasti tahu bagaimana cara bersikap dan bertutur kata dengan baik. Harga diri hanya jadi cangkang pelengkap dari penampilan palsumu. Kenyataannya, kamu sama saja denganku. Melacurkan diri dalam …..” Jenna tak melanjutkan kalimatnya, berhubung Yanti masuk ke dapur.
“Biar saya saja yang menyiapkan semuanya, Bu. Pekerjaan saya sudah selesai,” ucap Yanti sopan.
Jenna mengalihkan perhatian kepada Yanti, lalu tersenyum hangat. Sikap yang teramat berbeda, dibanding saat berhadapan dengan Viviana. “Tidak apa-apa. Istirahat saja. Tolong jaga Sakha sebentar.”
“Baik, Bu. Permisi.” Yanti mengangguk sopan, kemudian berlalu dari sana.
Sepeninggal Yanti, Jenna kembali berdua dengan Viviana. Namun, istri Jagat tersebut tak ingin melanjutkan perdebatan mereka. Jenna lebih memilih fokus menata makanan di meja.
Akan tetapi, Viviana tidak membiarkannya begitu saja. Dia kembali membahas masalah keinginannya untuk membawa Sakha. “Aku dan Mas Haris akan berangkat besok. Jadi, kuberikan waktu hingga tengah malam nanti. Ingat, Jenna. Aku tidak suka dan tak menerima penolakan.”
“Terserah apa pun yang kamu katakan. Sakha tidak akan pernah kuberikan kepada siapa pun!” tegas Jenna. “Kita tidak perlu membahas ini lagi. Jadi, sebaiknya kembalilah ke ruang tamu dan biarkan aku menyelesaikan pekerjaanku.”
“Kamu pikir akan semudah itu?” Viviana mendekat, lalu berdiri di sebelah Jenna sambil menghadapkan tubuh sepenuhnya kepada istri Jagat tersebut.
Jenna menghentikan pekerjaannya, lalu menoleh. “Tinggalkan aku sendiri. Daripada terus memaksaku untuk memberikan Sakha, lebih baik jaga suamimu agar tidak terus berkelana mencari wanita lain. Berikan dia perhatian lebih. Dengan begitu, suamimu akan merasa bahagia dan dihargai.”
“Kamu tidak kuizinkan mengomentari urusan rumah tanggaku.”
“Tetapi, itulah yang membuat suamimu mencari kesenangan di luar. Seharusnya, kamu lebih fokus pada rumah tangga sendiri, dibanding mengurusi kemalangan wanita lain. Kamu tahu kenapa? Sebenarnya, kamu juga membutuhkan bimbingan khusus ….”
Belum sempat Jenna melanjutkan kalimatnya, Viviana lebih dulu terpancing. Dia mengambil gelas kosong, lalu memukulkannya ke kepala Jenna. "Pela.cur sialan!"