dengan gemetar... Alya berucap, "apakah kamu mau menjadi imam ku?? " akhirnya kata kata itu pun keluar dari lisan Alya yg sejak tadi hanya berdiam membisu.
"hahhh!!! apa!!... kamu ngelamar saya? "ucap afnan kaget
sambil menunjuk jari telunjuknya ke mukanya sendiri.
dengan bibir yg ber gemetar, Alya menjawab" i ii-iya, saya ngelamar kamu, tapi terserah padamu, mau atau tidaknya dgn aku... aku melakukan ini juga terpaksa, nggak ada pilihan.... maaf kalo membuat mu sedikit syokk dgn hal ini"ucap Alya yg akhirnya tidak rerbata bata lagi.
dgn memberanikan diri, afnan menatap mata indah milik Alya, lalu menunduk kembali... karna ketidak kuasa annya memandang mata indah itu...
afnan terdiam sejenak, lalu berkata "tolong lepaskan masker mu, aku mau memandang wajahmu sekali saja"
apakah Alya akan melepaskan masker nya? apakah afnan akan menerima lamaran Alya? tanpa berlama-lama... langsung baca aja kelanjutan cerita nya🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ungkapan yg sangat rumit!!
Alya berdiri kaku di belakang Wilona. Pandangannya menatap lurus ke arah pria bersorban putih yang sedang duduk di bawah pohon rindang di taman.
Gus Afnan terlihat tenang, membalik halaman kitab yang ia baca. Di sampingnya, seorang pria lain—temannya mungkin—duduk dengan ekspresi serius. Wilona, yang sudah tak sabar, menoleh ke arah Alya.
"Let’s go, Alya! Itu dia sedang baca buku di taman!" seru Wilona dengan penuh semangat.
Namun, Alya menggelengkan kepala panik. "Nggak, nggak jadi! Aku takut, Kak Wilona. Kalau dia ngira aku cuma fans nekat yang mau... Aaaa!" Suaranya meninggi, dan Wilona buru-buru menutup mulut Alya dengan tangannya.
"Ssst! Berisik, Al! Ayo, maju. Kamu pasti bisa!" bisik Wilona, menatapnya dengan tegas.
"Aku nggak sanggup! Aku mau pulang aja. Kalau aku jantungan pas ngomong gimana?!" Alya mencoba berbalik, tetapi Wilona langsung menahan bahunya.
"Shhh... Alya, kamu udah berjuang sampai titik ini. Masa mau nyerah? Allah nggak akan biarin hambanya sia-sia kalau niatnya baik. Bismillah, Al. Kamu pasti bisa!"
Alya menarik napas panjang, menggenggam erat tali tasnya. Dia menunduk, memejamkan mata, lalu berbisik, "Bismillah... Ya Allah, mudahkanlah langkahku." Dengan langkah berat, Alya mulai berjalan mendekati Gus Afnan.
# # #
Alya melangkah pelan mendekati Afnan yang tengah asyik membaca buku di bawah rindangnya pepohonan. Tempat itu begitu tenang, dengan gemericik daun yang ditiup
angin dan gemericik air sungai di kejauhan.
Namun, hati Alya jauh dari kata tenang. Tangannya gemetar, bibirnya kering, dan napasnya terasa berat.
"Assalamu'alaikum... afwan, boleh saya minta waktunya sebentar?" ucap Alya, berusaha terdengar tegas, meski suaranya bergetar.
Afnan mengangkat pandangan dari bukunya, alisnya yang tebal kini bertaut, tampak bingung sekaligus terkejut melihat seorang perempuan asing berdiri di hadapannya. "waalaikum salam... Anda berbicara dengan saya?" tanyanya dengan nada lembut namun penuh kehati-hatian.
"I-iiya... Saya berbicara dengan Anda," jawab Alya terbata-bata, pandangannya menunduk, tidak sanggup menatap langsung wajah lelaki di depannya.
Afnan melirik Agam, teman sekaligus manajernya, memberi isyarat agar menjauh untuk memberi mereka ruang. Dengan sopan, ia menggeser sebuah kursi yang agak jauh darinya, menyuruh Alya untuk duduk.
"Baiklah, apa yang ingin kamu sampaikan, wahai ukhti?" tanyanya, suaranya terdengar tenang dan penuh wibawa.
Alya menghela napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian. Kata-kata yang selama ini hanya ia pikirkan kini harus keluar. "Aku... ingin bertanya. Apakah... apakah Anda mau menjadi imamku?"
Afnan terkejut. Matanya melebar, mulutnya sedikit terbuka. "Apa?!" tanyanya tak percaya, jarinya menunjuk ke dirinya sendiri. "Kamu... kamu melamar saya?"
Alya mengangguk pelan, berusaha menahan rasa malunya yang hampir meledak. "I-iya, saya melamar Anda. Tapi... terserah Anda. Saya tidak memaksa. Saya hanya... saya hanya tidak punya pilihan lain."
Afnan memejamkan matanya sesaat, berusaha memahami situasi. Dengan tenang, ia berkata, "Coba ceritakan, apa yang sebenarnya terjadi?"
Alya mulai bercerita, suaranya bergetar namun dipenuhi ketulusan. Ia menjelaskan semuanya dengan detail.
"Dan sekarang, hanya tersisa dua minggu lagi untuk menikah,dan 1 hari lagi untuk mencari pasangan..." ucap Alya lirih, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku tidak ingin menikah dengan seseorang yang aku tahu tidak akan membawaku menuju ridha Allah. Maka aku berpikir... mungkin Anda adalah jawabannya."
Afnan terdiam, memandangi Alya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia menghela napas panjang sebelum bertanya, "Dan jika aku setuju membantu membatalkan perjodohan itu, lalu apa yang terjadi selanjutnya?"
Alya menunduk semakin dalam, suaranya hampir tidak terdengar. "Setelah itu... terserah Anda. Jika Anda ingin pergi, saya tidak akan menahan. Saya hanya butuh bantuan Anda untuk menyelamatkan saya dari pernikahan ini."
Afnan mengerutkan keningnya, sorot matanya kini tajam. "Jadi, aku hanya alat untuk menyelesaikan masalahmu? Kamu tidak memikirkan bagaimana ini akan memengaruhi keluargamu? Apa kamu sadar bahwa mempermainkan perasaan orang tua adalah hal yang berat?"
Alya tersentak. Kata-kata Afnan menghujam hatinya. Ia mulai menyadari egoisnya permintaannya. "I-iya... Maaf, saya salah. Saya terlalu egois... Saya tidak memikirkan perasaan ibu saya. Seharusnya saya menerima saja, apa susahnya membahagiakan ibu?"
Alya berdiri, hendak pergi. "Afwan, saya mengganggu. Terima kasih atas waktunya. Assalamu'alaikum."
Namun, baru beberapa langkah ia berjalan, suara Afnan menghentikannya. "Tunggu. Jangan pergi. Silakan duduk kembali."
Alya berbalik, bingung namun menurut. Ia kembali duduk, kali ini kepalanya tertunduk lebih dalam, merasa malu atas permintaannya tadi.
"Buka maskermu," ucap Afnan tegas namun lembut. "Tatap aku."
Alya tertegun. Hatinya berdebar hebat. Ia tidak pernah menunjukkan wajahnya kepada lelaki asing, apalagi di situasi seperti ini. "Apakah harus?" tanyanya lirih.
"Silakan buka. Aku ingin tahu siapa dirimu sebelum aku membuat keputusan," jawab Afnan dengan nada yang penuh keyakinan.
Alya menggigit bibirnya, tangan gemetar saat perlahan membuka maskernya. Wajahnya yang memerah karena malu kini terlihat jelas, dengan lesung pipi yang samar dan mata yang mulai berkaca-kaca.
baper