NovelToon NovelToon
Embun Di Balik Kain Sutra

Embun Di Balik Kain Sutra

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Cinta Terlarang / Romansa pedesaan
Popularitas:563
Nilai: 5
Nama Author: S. N. Aida

Di Desa Awan Jingga—desa terpencil yang menyimpan legenda tentang “Pengikat Takdir”—tinggal seorang gadis penenun bernama Mei Lan. Ia dikenal lembut, tapi menyimpan luka masa lalu dan tekanan adat untuk segera menikah.

Suatu hari, desa kedatangan pria asing bernama Rho Jian, mantan pengawal istana yang melarikan diri dari kehidupan lamanya. Jian tinggal di rumah bekas gudang padi di dekat hutan bambu—tempat orang-orang jarang berani mendekat.

Sejak pertemuan pertama yang tidak disengaja di sungai berembun, Mei Lan dan Jian terhubung oleh rasa sunyi yang sama.
Namun kedekatan mereka dianggap tabu—terlebih karena Jian menyimpan rahasia gelap: ia membawa tanda “Pengkhianat Istana”.

Hubungan mereka berkembang dari saling menjaga… hingga saling mendambakan.
Tetapi ketika desa diguncang serangkaian kejadian misterius, masa lalu Jian kembali menghantui, dan Mei Lan harus memilih: mengikuti adat atau mengikuti hatinya yang berdegup untuk pria terlarang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21 — Malam yang Membakar Diam-Diam

​Setelah ciuman pengakuan yang menyatukan mereka di tengah reruntuhan, Rho Jian dan Mei Lan tidak segera melepaskan diri. Mereka tetap berpelukan di dalam celah batu tersembunyi, jauh di dalam hutan, di mana satu-satunya saksi mereka adalah pohon-pohon besar yang menjulang dan fajar yang perlahan merayap. Tubuh mereka saling bersandar, kelelahan fisik karena pelarian bercampur dengan kelegaan emosional yang melimpah.

​Lumpur, keringat, dan debu kotoran dari terowongan air kini menjadi jubah kehormatan bagi mereka, simbol bahwa mereka telah melewati api dan masih berdiri.

​Mei Lan membenamkan wajahnya di leher Jian, menghirup aroma Jian yang keras—aroma Bayangan Singa—yang kini menjadi satu-satunya wewangian yang memberinya rasa aman. Ia merasakan otot-otot di lengan Jian yang kuat mengikatnya erat, pelukan yang seolah berjanji untuk tidak pernah lagi membiarkannya pergi. Ia merasakan detak jantung Jian yang kuat, irama yang kini menjadi penentu hidupnya.

​Jian meletakkan dagunya di atas kepala Mei Lan, matanya terpejam. Rasa sakit karena luka di rusuknya terasa seperti remasan yang menyiksa, tetapi sentuhan Mei Lan meredakannya. Ia merasa seperti baru saja kembali dari ujung dunia, dan pelukan Mei Lan adalah satu-satunya pelabuhan. Ia tidak pernah tahu bahwa seorang pria yang hidup dalam kegelapan bisa mendambakan cahaya sejati seperti ini.

​Mereka berpelukan untuk waktu yang sangat lama, membiarkan keheningan berbicara tentang semua yang tidak bisa mereka ucapkan selama berminggu-minggu: kerinduan yang tersembunyi, rasa takut yang dibagikan, dan janji cinta tanpa syarat.

​Saat matahari mulai naik tinggi, menembus celah-celah daun dan memandikan mereka dengan cahaya keemasan yang hangat, kebutuhan akan kehati-hatian kembali menyeruak. Namun, hasrat yang selama ini tertahan, yang kini telah diakui, menolak untuk pergi.

​Jian perlahan melepaskan pelukan itu, tetapi ia tidak menjauh. Ia menahan wajah Mei Lan di antara kedua telapak tangannya. Jempolnya mengusap perlahan pipi Mei Lan yang kini bersih dari lumpur, tetapi memerah karena emosi.

​Mata Jian yang tajam, mata seorang Jenderal yang telah melihat neraka, kini hanya dipenuhi oleh kelembutan yang memabukkan. Ia mencondongkan tubuhnya, dan memberikan ciuman lembut di dahi Mei Lan—sebuah ciuman janji dan rasa hormat yang mendalam.

​Jian menurunkan tangannya, tetapi jari-jari mereka tersangkut. Jian dengan lembut membelai punggung tangan Mei Lan, tempat ia bisa merasakan denyut nadinya yang berdebar kencang. Mei Lan balas membelai tangan Jian yang kasar, merasakan jaringan parut kecil di buku-buku jarinya—bekas pertempuran yang tak terhitung jumlahnya.

​Napas mereka berdekatan, udara yang keluar dari paru-paru mereka bercampur. Mei Lan menutup mata. Ia merasakan kehangatan yang memabukkan dari tubuh Jian. Dalam suasana hutan yang sunyi dan terlindung ini, dengan Tuan Yu dan Nyonya Liu telah tertinggal jauh di belakang, segalanya terasa mungkin. Ada momen singkat, yang terasa seperti keabadian, di mana Mei Lan membiarkan kepalanya condong ke bahu Jian, mencari perlindungan dan penyatuan.

​Jian merasakan getaran di tubuh Mei Lan. Hasratnya sendiri membakar di bawah kulitnya. Ia telah menahan diri selama berminggu-minggu, membangun tembok, dan kini Mei Lan sendiri yang telah menghancurkannya. Ia ingin menyerah pada gairah itu, untuk menegaskan kepemilikannya setelah pengakuan yang begitu mendalam.

​Namun, Bayangan Singa itu tidak sepenuhnya mati. Nuraninya, kode kehormatan prajuritnya, berteriak padanya.

​Kau membawanya ke dalam kehancuran.

​Ia harus memastikan kehormatan Mei Lan. Mereka berada dalam pelarian. Mereka kotor, terluka, dan masa depan mereka masih terancam oleh Istana. Jika ia menyerah pada hasratnya sekarang, ia akan mengambil kemurniannya dalam kondisi yang tidak layak, menjadikannya wanita yang dicintai seorang buronan. Jika mereka tertangkap, Mei Lan harus memiliki kehormatan untuk hidup tanpa penyesalan.

​Jian menarik napas yang sangat panjang dan berat. Ia harus menahan diri. Kali ini, pengekangan diri adalah puncak dari cintanya, bukan ketakutannya.

​Jian dengan lembut memutus kontak jari mereka, bergerak menjauh hanya beberapa inci. Ia menatap mata Mei Lan, matanya penuh dengan permintaan maaf yang tulus dan rasa hormat yang mendalam.

​“Mei Lan,” bisik Jian, suaranya parau karena emosi yang ia tahan. “Tidak… tidak sekarang. Kita… kita adalah benang yang teranyam, dan kita adalah satu. Tapi aku ingin mengambilmu… di tempat yang pantas. Di tempat di mana kita bisa tidur tanpa takut Tuan Yu akan menemukan kita di pagi hari.”

​Mei Lan, yang telah menanti penyatuan itu dengan setiap serat hatinya, merasakan sedikit rasa sakit, tetapi rasa sakit itu segera mereda digantikan oleh pemahaman yang manis. Ia melihat ketulusan di mata Jian. Ia mengerti. Jian tidak menolaknya. Jian menghormatinya.

​Ia mengangguk, senyum tipis terukir di bibirnya yang masih terasa perih karena ciuman Jian. “Saya mengerti, Jenderal. Kehormatan… di atas hasrat.”

​Keputusan dan Kembali ke Desa

​Ketenangan emosional yang mereka temukan memungkinkan Jian untuk berpikir jernih secara taktis. Mereka tidak bisa langsung menuju Pegunungan Giok. Mereka kelelahan, dan luka-luka Jian membutuhkan pengobatan yang layak.

​“Kita tidak bisa pergi sekarang,” kata Jian. “Tuan Yu akan melacak kita. Dia akan tahu kita menuju barat laut. Dan aku harus memastikan Nona Yuhe dan… keluargamu aman.”

​Jian telah menggunakan kode Bayangan Singa untuk mengirim sinyal di Kota Bayangan, memberi tahu kontak lamanya untuk memantau keselamatan keluarga Mei Lan. Namun, ia harus memastikan sendiri.

​“Kita kembali ke desa,” putus Jian. “Ini adalah langkah yang paling bodoh dan paling cerdas. Tuan Yu tidak akan percaya kita kembali ke tempat yang ia anggap sudah disisir bersih. Kita akan mengambil perbekalan, obat-obatan, dan kita akan memastikan keluarga Yuhe dan keluargamu tidak dalam bahaya. Kita akan bersembunyi di gudang padi selama beberapa hari.”

​Mei Lan merasakan gelombang ketakutan. Kembali ke desa berarti kembali ke Shan Bo, Kepala Desa Liang, dan gosip yang mematikan. Tetapi kembali berarti melihat keluarganya.

​“Baiklah,” kata Mei Lan. “Kita kembali. Tapi jangan pergi dari sisiku.”

​Jian mengangguk. “Aku adalah bayanganmu, Gadis Manis. Aku tidak akan pergi.”

​Mereka membersihkan diri dengan air sungai yang dingin, menutupi kotoran dengan penampilan yang sedikit lebih rapi, dan memulai perjalanan kembali ke desa. Mereka berjalan di bawah naungan hutan, menjauh dari jalan utama.

​Mereka baru mencapai batas desa saat matahari mulai terbenam, menyembunyikan siluet mereka di tengah hutan bambu.

​“Aku akan pergi ke gudang padi. Kau pergi ke rumah Yuhe. Jangan bicara, jangan katakan apa-apa tentang Tuan Yu atau Nyonya Liu,” perintah Jian. “Jika ada yang bertanya, katakan kau tersesat di hutan, atau kau pergi ke kota untuk mencari kain baru.”

​Perubahan yang Terlihat

​Mei Lan tiba di rumah Nona Yuhe saat senja. Ia membuka pintu dengan perlahan, berusaha menyembunyikan kelelahan dan lumpur di pakaiannya.

​Di dalam, Nona Yuhe sedang menyortir benang sutra dengan penerangan lentera minyak. Yuhe menoleh, dan matanya yang tajam dan berpengalaman langsung menyadari ada yang berbeda.

​Mei Lan berusaha bersikap normal. “Nona Yuhe, saya kembali. Saya… saya tersesat di hutan.”

​“Tersesat?” Yuhe mengulangi, alisnya terangkat. Ia menatap pakaian Mei Lan yang robek di beberapa tempat. “Kau tidak tersesat di hutan. Kau melewati api. Dan lumpur.”

​Yuhe meletakkan benangnya. Ia berjalan ke arah Mei Lan, memegang dagu gadis itu, dan memiringkan wajahnya ke arah cahaya lentera.

​Wajah Mei Lan, yang biasanya tenang dan damai, kini memancarkan sesuatu yang berbeda: ada kemerahan halus di pipinya yang tidak disebabkan oleh rasa malu, tetapi oleh gairah yang terpendam. Matanya, yang selalu melihat ke bawah, kini bersinar dengan kehangatan dan kepercayaan diri yang baru. Dan bibirnya… bibirnya sedikit bengkak dan merah, meskipun Mei Lan segera menutup mulutnya dengan tangannya.

​“Mei Lan,” bisik Yuhe, senyum tipis, tetapi penuh makna, terukir di wajahnya. “Kau tidak tersesat. Kau telah ditemukan.”

​Mei Lan, terkejut karena Nona Yuhe bisa melihat perubahan yang begitu mendalam, tidak bisa berkata-kata. Pipi Mei Lan menjadi semakin merah.

​“Saya… saya hanya kelelahan,” Mei Lan terbata-bata.

​Nona Yuhe tertawa kecil, suara tawa yang mengandung pengetahuan. “Kelelahan tidak membuat seorang wanita bersinar, Gadis Manis. Kelelahan membuat mata menjadi kusam. Matamu… matamu menyala. Aku melihatnya. Kalian berdua telah mengakui takdir kalian.”

​Yuhe tidak bertanya tentang detailnya, tidak bertanya di mana Jian, atau mengapa pakaian mereka kotor. Ia hanya memeluk Mei Lan dengan erat.

​“Cinta. Itu adalah obat terbaik. Pergi, mandi. Kita akan memikirkan sisanya besok. Katakan pada ibumu kau sudah tidur di sini, dan jangan biarkan gosip membunuh kebahagiaanmu,” bisik Yuhe, membelai punggung Mei Lan.

​Mei Lan, yang merasa dicintai dan diterima oleh Nona Yuhe, mengangguk. Ia tahu, meskipun mereka telah lolos dari Nyonya Liu dan Tuan Yu, tantangan terbesar mereka—masyarakat desa dan gosip yang mematikan—baru saja akan dimulai.

​Ia pergi mandi, meninggalkan Nona Yuhe dengan senyum penuh arti dan pemahaman mendalam bahwa hidup gadis penenun itu telah berubah total dalam satu hari.

1
Rustina Mulyawati
Bagus ceritanya... 👍 Saling suport yuk!
marmota_FEBB
Ga tahan nih, thor. Endingnya bikin kecut ati 😭.
Kyoya Hibari
Endingnya puas. 🎉
Curtis
Makin ngerti hidup. 🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!