Yessi Tidak menduga ada seseorang yang diam-diam selalu memperhatikannya.
Pria yang datang di tengah malam. Pria yang berhasil membuat Yessi menyukainya dan jatuh cinta begitu dalam.
Tapi, bagaimana jika pacar dari masa lalu sang pria datang membawa gadis kecil hasil hubungan pria tersebut dengan wanita itu di saat Yessi sudah ternodai dan pria tersebut siap bertanggung jawab?
Manakah yang akan di pilih? Yessi atau Putrinya yang menginginkan keluarga utuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Baby Ara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Ketiganya kembali apartemen milik Mentari dan Arga. Duduk di ruang tamu dengan mata saling pandang. Menyiratkan sebuah kekhawatiran pada satu orang yang sama, Bima.
"Dek, coba periksa apa ada sesuatu yang mencurigakan dalam ponsel itu? Setidaknya kita harus mendapatkan petunjuk," ujar Arga dengan tangan saling bertaut di atas lutut.
"Dikunci, kak."
Yessi mencoba membuka layar kuncinya tadi. Tapi, tidak bisa.
Mentari tiba-tiba merebut ponsel di tangan Yessi. Mengetikan sesuatu. Dan benar, lock screen itu terbuka dengan mudah.
"Gimana lo bisa tahu, Tar?" heran Yessi sembari menerima ponsel Bima kembali di tangannya.
"Tanggal lahir lo. Gue cuma nebak. Gak tahunya, benar! Se-sayang itu dia sama lo, Yess."
Yessi mulai berkaca-kaca kembali. Dahulu, Bima pernah menembak Yessi. Dengan alasan teman, Yessi menolak Bima secara halus. Meski begitu, Bima tidak pernah berhenti menunjukan rasa cintanya.
Yessi meneliti riwayat panggilan Bima. Tidak ada yang mencurigakan lalu ia beralih ke galeri. Yessi menyipit, menemukan sebuah foto blur.
"Kak, coba lihat ini!"
Arga mengambil ponsel di atas meja yang terdorong ke arahnya. Spontan, dahi Arga mengkerut dalam. Foto seseorang memakai jaket hitam. Terlihat, diambil tergesa-gesa, kemungkinan oleh Bima.
"Ini foto siang tadi. Apa jamnya sama setelah Bima mengantar kalian pulang?"
Yessi dan Mentari serempak mengangguk. Mereka ingat, pulang sekitar jam setengah satu siang.
Arga mendesah panjang. Matanya menatap bergantian Yessi dan Mentari.
"Ini jelas penculikan. Kalian tolong hubungi orang tua Bima. Jika sampai 1×24 jam Bima tidak pulang, mereka bisa langsung lapor polisi."
Tangis Yessi pecah detik itu. Mentari segera berdiri sembari mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Bimo. Panggilan tersambung, Mentari berat hati menjelaskan semuanya.
"Tunggu, jaket hitam?"
Yessi teringat pada seseorang. Tanpa pikir panjang, Yessi berlari keluar.
"Yes! Lo mau kemana?" teriak Mentari.
"Kejar, dek!" usul Arga membuat Mentari mengangguk setelah menyimpan ponsel kembali dalam saku.
Ting tong!
Yessi memencet tombol bel berulang kali. Menciptakan kebisingan untuk orang yang berada di dalam apartemen tersebut.
"Ada apa?" Tubuh besar seseorang yang mengenakan singlet putih menjulang di depan Yessi.
"Mas Sean, jawab saya jujur. Mas Sean kan yang menculik Bima, teman saya?" tuduh Yessi blak-blakan dengan telunjuk teracung tegas pada Sean yang seketika melipat tangan di dada.
"Atas dasar apa kamu menuduh saya?"
Sean memandang tajam Yessi. Tidak ada rasa gentar di raut wajahnya ketika Yessi balas menatapnya menelisik.
"Mas Sean datang dengan tangan berdarah-darah--"
"Banyak omong!"
Sean menutup mulut Yessi menggunakan telapak tangan lalu mengangkat gadis mungil itu masuk dalam apartemennya. Jelas saja, Yessi memberontak minta di lepaskan pada Sean yang menutup pintu dengan tumit.
"Mas!"
Yessi tertarik mengikuti langkah kaki Sean karena pria itu menggenggam tangannya menuju suatu ruangan. Yessi di dudukan di kursi tinggi lalu Sean memberikan kapas dan alkohol di pangkuan Yessi.
"Obati pundak saya."
Sean membuka singlet dikenakannya, tanpa malu-malu dihadapan Yessi yang langsung memalingkan wajah.
"Tidak mau. Sebelum mas Sean jawab jujur pertanyaan saya!" tolak Yessi mentah-mentah lantas menghentakkan P3K di atas meja membuat Sean menyeringai penuh arti.
"Untuk apa saya menculik seorang pria? Saya bukan penyuka sesama jenis," cetus Sean terdengar kesal, tapi Yessi tidak mudah percaya.
"Untuk uang tebusan bisa jadi. Apalagi Saya jelas melihat Mas datang dengan jaket hitam berdarah-darah."
Sean berdecak karenanya. "Itu luka, Yessi. Saya gak sengaja jatuh dari motor. Terus pundak saya ke tusuk besi. Sekarang, bantu saya mengobatinya."
Yessi tertegun mendengar penjelasan Sean yang kebenarannya hanya Sean sendiri yang tahu. Luka yang Sean maksud memang mirip seperti luka tusukan. Punggung pria itu di penuhi tatto aneh.
"Maaf, mas. Saya tidak bisa. Tolong, buka pintunya. Saya ingin keluar," ucap Yessi sembari turun dari bangku.
Gadis itu tanpa terduga di sudutkan Sean di dinding. Salah satu tangan Yessi, Sean angkat di atas kepala. Wajah keduanya sangat dekat hingga Yessi ketakutan setengah mati.
"Mas, lepas! Mas, mau apa?!"
Sean menatap dalam kedua bola mata Yessi.
"Beautiful. Kecantikanmu ini malapetaka, Yessi."
"Maksud, mas?" tanya Yessi sungguh tidak mengerti.
"Berhati-hati saja. Semoga beruntung menemukan temanmu," bisik Sean di telinga Yessi.
Sean menjauhkan wajahnya lalu mengantar Yessi yang kebingungan kedepan pintu. Saat pintu di buka, ada sosok Regan berdiri menjulang disana dengan aura dingin yang kental.
"Mas Regan--"
Tanpa berucap sepatah kata, Regan menarik Yessi ke sisinya. Kedua pria itu saling menyorot tajam, layaknya musuh bebuyutan. Yessi semakin dibuat bingung perubahan sikap Regan.
Sean terkekeh sinis tiba-tiba.
"Tenang, dia aman," ucapnya ambigu lalu menutup keras pintu. Regan melepaskan tangan Yessi begitu saja lantas meninggalkannya.
"Mas, tunggu!" panggil Yessi mengejar. Regan menghiraukannya dengan terus berjalan.
Yessi yang kesal, menarik lengan Regan hingga pria itu berhenti dan meliriknya dari ujung mata.
"Kenapa mas ada di depan pintu apartemen mas Sean?"
"Kau memanggilnya mas?" Regan berdecak.
Yessi mengangkat kedua alisnya bingung.
Kenapa cara Regan berbicara kali ini berbeda?
"Jauhi dia," perintahnya pada Yessi.
"Kenapa saya harus menjauhi mas Sean?"
Yessi berjalan mundur karena Regan maju mendesak kearahnya. "Karena dia berbahaya. Apa yang terjadi pada temanmu itu baru sebuah peringatan," ucap Regan datar dengan penuh makna.
"Pe-peringatan, apa?"
Regan menatap Yessi dalam. Seakan laser yang bisa menembus kepala Yessi dalam sekali pancaran.
"Jauhi laki-laki," ucap Regan penuh penekanan.
Yessi menggeleng lalu mendorong dada Regan kasar agar menjauhinya.
"Mas, jangan bicara ngelantur. Mas nggak ada hak, melarang saya dekat dengan siapapun. Lagian, apa sangkut-pautnya hilangnya Bima dengan saya. Sebelumnya, terimakasih Mas sudah menemukan ponsel Bima. Saya permisi."
"Dasar keras kepala!" cibir Regan membuat Yessi naik pitam.
"Mas yang ngomongnya gak jelas. Sekarang kasi tahu, hubungan hilangnya Bima dengan saya, apa? Saya merasa gak musuhan dengan siapapun."
Regan mengedar sebentar lalu kembali melihat Yessi yang setinggi dadanya. Sungguh, Yessi benar-benar bingung dengan Regan. Keduanya hanya orang asing, tapi terkesan Regan mengetahui seluk-beluk Yessi.
"Menyentuh mu adalah sebuah kesalahan."
Yessi tertawa pelan. Mencemooh omongan Regan yang dirasa tidak masuk diakalnya.
"Terserah, mas! Tapi, saya tidak akan menjauhi Bima maupun pria manapun yang dekat dengan saya," putus Yessi. Lama-lama bersama Regan. Bisa-bisa, ia jambak rambut pria itu saking kesalnya.
"Saya tahu dimana Bima berada."
Deg!
Yessi spontan berhenti melangkah. Kembali ia mendekati Regan dengan mata penuh harap. Yessi menarik ujung baju abu-abu Regan.
"Dimana mas? Mas gak bohong kan?""
Regan menyugar rambutnya kebelakang. "Ikut saya. Tapi, jangan beritahu siapapun," ucap Regan sebagai ultimatum.
Yessi merasa bimbang. Bagaimana kalo Regan ternyata berbohong lalu berbuat jahat padanya? Siapa yang akan menolong Yessi nanti?
"Tidak ada penawaran dua kali. Tidak ikut maka saya akan pergi."
Yessi menarik buru-buru lengan Regan yang berniat meninggalkannya.
"Oke. Saya ikut, mas," putus Yessi dengan keraguan luar biasa.