Prolog:
Dulu, aku selalu menganggapnya pria biasa miskin, sederhana, bahkan sedikit pemalu. Setelah putus, aku melanjutkan hidup, menganggapnya hanya bagian dari masa lalu. Tapi lima tahun kemudian, aku bertemu dengannya lagi di sebuah acara gala mewah, mengenakan jas rapi dan memimpin perusahaan besar. Ternyata, mantan pacarku yang dulu pura-pura miskin, kini adalah CEO dari perusahaan teknologi ternama. Semua yang aku tahu tentang dia ternyata hanya kebohongan. Dan kini, dia kembali, membawa rahasia besar yang bisa mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1 Bagian 11 Pesan Tak Terduga
Cahaya matahari mulai mengintip dari balik tirai jendela kamar Nadia. Alarm di ponselnya berbunyi nyaring, memaksa Nadia membuka matanya perlahan. Dia meraih ponsel di meja samping tempat tidur dan mematikannya. Menghela napas panjang, Nadia duduk di tepi tempat tidur sambil mengumpulkan kesadaran.
“Pagi ini harus lebih baik,” gumamnya pada dirinya sendiri, mencoba membangkitkan semangat.
Nadia mulai merapikan tempat tidurnya, melipat selimut dengan rapi dan merapikan bantal yang berserakan. Kebiasaan kecil ini selalu ia lakukan sebagai tanda untuk memulai hari dengan lebih teratur.
Setelah selesai, Nadia berjalan menuju kamar mandi. Ia menyalakan air hangat, membiarkan pancuran air mengalir, menghapus rasa kantuk yang masih menempel. Nadia memejamkan mata di bawah pancuran, mencoba mengosongkan pikirannya dari segala hal yang membebaninya semalam.
Beberapa saat kemudian, ia selesai mandi dan membalut tubuhnya dengan handuk. Nadia berjalan menuju lemari pakaiannya dan memilih stelan kerja—blus putih sederhana dengan blazer abu-abu dan celana panjang hitam. Setelah mengenakannya, ia berdiri di depan cermin, menyisir rambutnya dengan rapi.
“Cukup profesional,” katanya sambil tersenyum tipis, meski rasa lelah masih terlihat di matanya.
Setelah berpakaian, Nadia menuju dapur. Ia membuka lemari dan mengambil beberapa bahan sederhana untuk sarapan sebutir telur, roti tawar, dan secangkir kopi hitam.
Ia menggoreng telur dengan cepat, aroma harum mulai memenuhi ruangan. Sambil menunggu rotinya matang di pemanggang, Nadia meraih ponselnya untuk mengecek jadwal hari ini. Beberapa notifikasi pekerjaan muncul, tetapi tidak ada hal yang mendesak.
Ketika sarapannya sudah siap, Nadia duduk di meja makan kecil di dapurnya. Ia menikmati makanannya sambil sesekali melirik keluar jendela, melihat jalanan yang mulai ramai dengan aktivitas pagi.
“Aku harus tetap fokus,” pikirnya. “Hari ini banyak yang harus kuselesaikan.”
Setelah selesai makan, Nadia mencuci piringnya dengan cepat. Ia meraih tas kerjanya yang sudah dipersiapkan sejak malam sebelumnya, mengenakan sepatu hak rendah, dan memastikan dirinya siap.
Dengan napas panjang, Nadia menatap dirinya di cermin sekali lagi sebelum keluar dari apartemennya. “Hari baru, kesempatan baru,” katanya, mencoba memotivasi dirinya sendiri.
Pintu apartemennya tertutup, dan langkah kakinya membawa Nadia menuju rutinitas kerja yang telah menantinya.
Nadia keluar dari lobi apartemennya dengan langkah mantap. Udara pagi terasa segar meski sedikit dingin. Di kejauhan, sebuah taksi melaju pelan. Nadia mengangkat tangan, memberi isyarat. Tak lama, taksi itu berhenti tepat di depannya.
"Selamat pagi, Mbak. Mau ke mana?" tanya sopir taksi, seorang pria paruh baya dengan senyum ramah.
"Pagi, Pak. Ke Jalan Sudirman, gedung Menara Citra, ya," jawab Nadia sambil masuk dan menutup pintu.
Taksi melaju perlahan di tengah lalu lintas pagi yang mulai padat. Nadia membuka tasnya, memastikan dokumen penting yang akan ia butuhkan di kantor sudah tersimpan dengan rapi.
"Kerja di gedung sana, Mbak?" tanya sopir, memecah keheningan.
"Iya, Pak," jawab Nadia singkat sambil tersenyum tipis.
"Setiap hari naik taksi begini?" tanya sopir lagi, mencoba berbasa-basi.
"Biasanya, kalau lagi buru-buru. Kalau tidak, kadang naik bus atau ojek," jawab Nadia, matanya sesekali melirik ke luar jendela.
Sopir itu mengangguk. "Lalu lintas pagi ini lumayan lancar, ya, Mbak. Biasanya di daerah sini macet banget."
Nadia tersenyum kecil. "Iya, Pak. Syukurlah hari ini tidak terlalu macet. Bisa lebih cepat sampai kantor."
Mereka melanjutkan perjalanan dalam keheningan sejenak. Nadia melihat ke luar jendela, memperhatikan gedung-gedung tinggi yang berjajar rapi. Pikirannya melayang sejenak, tetapi dia segera menarik napas panjang, mengingatkan dirinya untuk tetap fokus pada hari ini.
Taksi akhirnya berhenti di depan gedung Menara Citra. Nadia merogoh dompetnya dan membayar ongkos taksi. "Terima kasih, Pak," katanya sambil memberikan uang dan tersenyum ramah.
"Sama-sama, Mbak. Semoga harinya lancar," balas sopir itu sebelum Nadia keluar dari taksi.
Nadia melangkah masuk ke lobi gedung dengan penuh percaya diri, siap menghadapi hari kerja yang sibuk di depannya.
Nadia menyesap kopi hitamnya sekali lagi, lalu kembali menatap layar laptopnya. Jari-jarinya dengan cekatan mengetik, memastikan laporan klien tersusun rapi dan tidak ada kesalahan data. Ia tahu betapa pentingnya laporan ini untuk presentasi sore nanti, terutama karena klien mereka kali ini adalah salah satu yang paling berpengaruh.
Setelah selesai memeriksa data keuangan yang cukup rumit, Nadia memindahkan hasil analisisnya ke dalam slide presentasi. Ia memilih warna dan tata letak yang profesional, memastikan setiap poin terlihat jelas dan mudah dipahami.
“Grafik ini kurang pas. Mungkin perlu ditambahkan catatan kecil di bawahnya,” gumamnya sendiri sambil menggeser-geser elemen di layar.
Sesekali, Nadia melirik jam di sudut layar laptopnya. Waktu terasa berjalan begitu cepat. Saat ia menyelesaikan satu tugas, tugas lain sudah menunggu di daftar pekerjaannya.
Tiba-tiba, ponsel kantornya berdering. Nadia meraih gagang telepon dan menjawabnya.
“Nadia di sini,” katanya profesional.
“Nad, ini Lina. Tolong kirimkan draf laporan untuk kuperiksa sebelum makan siang. Pastikan semua angka sesuai dengan yang kita bahas kemarin,” ujar Lina dengan nada tegas.
“Baik, Mbak Lina. Saya selesaikan dan kirimkan segera,” jawab Nadia sambil mencatat instruksi tambahan dari Lina.
Setelah panggilan berakhir, Nadia kembali memeriksa dokumen yang sudah hampir selesai. Ia memastikan semua angka sesuai dengan data asli, bahkan menghitung ulang beberapa poin untuk memastikan tidak ada yang terlewat.
Sekitar satu jam kemudian, Nadia selesai menyusun laporan tersebut. Ia mengirimkan email kepada Lina dengan subjek “Laporan Klien – Final Draf” dan menambahkan catatan bahwa ia sudah mencocokkan semua data.
Tak lama, email balasan dari Lina masuk.
“Bagus, Nadia. Tinggal persiapkan poin presentasimu. Jangan lupa cek proyektor ruang rapat nanti,” tulis Lina singkat.
Nadia menghela napas lega. Setidaknya pekerjaan besar pagi ini sudah selesai, dan ia bisa fokus mempersiapkan dirinya untuk presentasi di sore hari.
Saat ia hendak mengambil dokumen lain, Dinda kembali menghampirinya.
“Nad, nanti makan siang di kantin bareng?” tanya Dinda.
“Boleh. Tapi aku harus cek ruang rapat dulu sebentar,” jawab Nadia sambil tersenyum kecil.
Waktu terasa begitu cepat berlalu. Saat Nadia melirik jam dinding, jarum pendek sudah mendekati angka empat. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum presentasi dimulai.
"Baik, saatnya," gumamnya sambil meraih laptop dan dokumen pendukungnya. Ia melangkah menuju ruang rapat dengan penuh percaya diri meskipun sedikit gugup.
Di ruang rapat, Lina dan beberapa kolega sudah berkumpul. Klien utama mereka juga telah duduk di salah satu kursi, memeriksa sesuatu di tablet pribadinya. Nadia menyalakan proyektor dan menghubungkannya dengan laptopnya. Ia memastikan semua file presentasinya berjalan lancar sebelum memulai.
“Selamat sore, Bapak dan Ibu. Terima kasih atas waktu dan kehadirannya hari ini,” Nadia membuka presentasi dengan senyum ramah.
Ia mulai memaparkan hasil analisis dan rekomendasi timnya dengan jelas dan terstruktur. Slide demi slide berjalan lancar, grafik-grafik yang ditampilkan membuat klien mengangguk, menunjukkan minat dan persetujuan mereka.
“Tentunya, dengan strategi yang kami usulkan, Bapak dan Ibu dapat melihat potensi pertumbuhan yang signifikan dalam kuartal berikutnya,” ucap Nadia dengan penuh keyakinan sambil menunjuk grafik di layar.
Sesi tanya jawab berlangsung cukup intens, tetapi Nadia berhasil menjawab setiap pertanyaan dengan baik. Lina pun tersenyum tipis dari sudut ruangan, memberi tanda bahwa semuanya berjalan sesuai harapan.
Setelah sekitar satu jam, presentasi akhirnya selesai. Klien tampak puas dengan hasil yang disampaikan.
“Terima kasih atas presentasinya, Nadia. Sangat informatif dan mudah dipahami,” kata salah satu klien sambil menjabat tangan Nadia sebelum meninggalkan ruang rapat.
“Terima kasih banyak, Pak,” balas Nadia dengan sopan.
Setelah klien pergi, Lina menghampiri Nadia. “Good job, Nad. Presentasinya bagus sekali. Pastikan dokumen finalnya dikirim ke email mereka besok pagi, ya.”
“Baik, Mbak Lina. Akan saya siapkan,” jawab Nadia sambil mengangguk.
Nadia membereskan laptop dan dokumen di ruang rapat, lalu kembali ke meja kerjanya. Ia meletakkan laptopnya di meja dan duduk, merasa lega sekaligus lelah setelah presentasi yang cukup menguras energi.
Dengan secangkir kopi yang masih hangat di meja, Nadia membuka email untuk mencatat beberapa poin tambahan yang ia dapatkan selama diskusi tadi. Meski hari sudah hampir selesai, ia tetap ingin memastikan semuanya sudah rapi sebelum pulang.
Saat Nadia menyandarkan punggung ke kursi dan menarik napas panjang, ia tersenyum kecil. Satu tugas besar telah ia selesaikan dengan baik hari ini.
“Siap, aku tunggu di sana,” balas Dinda sebelum kembali ke mejanya.
Nadia menutup laptopnya sejenak, berdiri, dan merapikan tumpukan dokumen di meja. Ia tahu bahwa bekerja dengan detail seperti ini adalah bagian dari tanggung jawabnya. Meski lelah, Nadia merasa puas setiap kali pekerjaannya selesai dengan baik.
Saat Nadia sedang merapikan dokumen terakhir dan bersiap untuk menyelesaikan pekerjaannya hari itu, ponselnya yang berada di atas meja bergetar. Ia melirik layar, mengira itu pesan dari Lina atau rekan kerja lainnya. Namun, saat melihat nama pengirimnya, tubuh Nadia langsung menegang.
Reza.
Jari-jarinya ragu saat hendak membuka pesan itu. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia mendengar kabar darinya, apalagi melihat namanya muncul di layar ponselnya. Dengan napas yang sedikit tertahan, Nadia mengetuk pesan tersebut dan mulai membaca.
"Nadia, aku tahu aku orang terakhir yang ingin kau dengar sekarang. Tapi, aku perlu bicara denganmu. Ada sesuatu yang harus kau ketahui. Bisa kita bertemu? Besok malam, di Café Merah, pukul 7?"
Nadia terdiam, matanya menatap layar ponsel tanpa berkedip. Seperti ada badai kecil yang berputar di dalam pikirannya. Kenapa sekarang? Kenapa dia tiba-tiba menghubungiku?
Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menenangkan diri. Sebagian dari dirinya ingin mengabaikan pesan itu, pura-pura tidak pernah melihatnya. Namun, ada rasa penasaran yang tak bisa ia tahan—tentang alasan mengapa Reza pergi dulu dan mengapa dia kembali sekarang.
Jari-jarinya mulai mengetik balasan, lalu berhenti. Ia menghapus kata-katanya, menulis ulang, dan menghapus lagi. Akhirnya, dengan hati yang berdebar, ia memutuskan untuk memberikan jawaban singkat.
"Aku akan pikir-pikir dulu."
Setelah mengirim balasan itu, Nadia memejamkan mata sejenak dan menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Hatinya berkecamuk, penuh dengan rasa penasaran, kemarahan, dan keraguan.
Saat dia membuka matanya kembali, ponselnya kembali bergetar. Pesan dari Reza muncul lagi.
"Terima kasih. Aku akan menunggu."
Nadia menatap pesan itu lama, mencoba mencari arti di balik kata-kata singkat tersebut. Hatinya ingin menemukan jawaban, tetapi pikirannya memohon untuk berhati-hati.
"Apa maksudmu, Reza? Kenapa sekarang?" gumam Nadia, suaranya nyaris seperti bisikan.