Yang satu punya banyak problematik, yang satunya lagi bocah bebas semaunya. Lalu mereka dipertemukan semesta dengan cara tak terduga.
Untuk tetap bertahan di dunia yang tidak terlalu ramah bagi mereka, Indy dan Rio beriringan melengkapi satu sama lain. Sampai ada hari dimana Rio tidak mau lagi dianggap sebagai adik.
Mampukah mereka menyatukan perasaan yang entah kenapa lebih sulit dilakukan ketimbang menyingkirkan prahara yang ada?
Yuk kita simak selengkapnya kisah Indy si wanita karir yang memiliki ibu tiri sahabatnya sendiri. Serta Rio anak SMA yang harus ditanggung jawabkan oleh Indy.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Kantor Starqueen.
"Ven, semalam anak itu mengatakan jika di kamar ku ada.. ada drakor." Habis mengatakan itu dia lantas tergelak. Begitupun Vena yang ikutan senyam-senyum. Indy tidak yakin dengan kata drakor yang diucapkannya sama dengan yang diucapkan Rio. Wanita itu ingat-ingat lupa.
"Apakah Rio telah mendengar Nona menonton drama di dalam kamar?"
"Tidak, bukan drama maksudnya. Dia bilang semacam nama racun tapi aku lupa."
"Racun?"
"Iya Ven, bocah itu bilang di kamar ku udaranya tersebar racun... entahlah aku lupa namanya. Memang tidak membunuh dalam sekejap tetapi bisa menjadi penyakit mematikan jika aku menghirupnya terlalu lama. Bahkan tadi pagi sebelum aku berangkat, dia mencegat dan mengatakan agar pintu kamar ku tidak dikunci karena dia mau menyemprot obat penawar racun." Indy senyam-senyum, sebab dia membayangkan Rio melakukan fogging terhadap kamarnya.
Hening sebentar. Indy menyelami pikirannya, pun sama dengan Vena yang turut tenggelam dalam pikiran. Yang sedang dipikirkan mereka ternyata sama, seakan-akan mereka saling terhubung. Kemudian Vena memberi tanggapan lebih dulu.
"Apakah ada evidence yang disertakan Rio? jika tidak, sepertinya dia banyak menonton film dan cerita yang berkaitan."
"Nah itu dia, Rio hanya berasumsi dan tidak menyertakan bukti. Bisa jadi kemungkinan kamu benar, Rio sedang berhalusinasi. Kasihan sekali dia." Indy menanggapi.
Keduanya lalu sibuk pada agenda selanjutnya yang sudah menunggu.
...****...
Rio memasak menu umum untuk makan malam. Tidak ada yang memintanya untuk itu. Dia berinisiatif sendiri karena dia berfikir menyiapkan makan malam untuk Indy termasuk pekerjaan mengurus rumah tangga.
Selesai masak dan beres-beres dapur, suara pintu depan terbuka telah terdengar. Artinya Indy sudah pulang dan harus disambut kedatangannya.
Rio berdiri tak jauh dari posisi Indy, "Kak, saya telah menyiapkan makan malam."
Di makan syukur, tidak yasudah. Itulah pedoman yang Rio terapkan. Porsi makan malam tidak banyak, jadi seandainya Indy menolak memakannya, Rio bisa menghabiskan itu semua.
Indy tidak menjawab apa-apa, tetapi dia melangkah menuju meja makan. Dia duduk di sana. Mengerti situasi, Rio yang melihat Indy sudah duduk langsung menata makanan hasil masakannya.
"Duduklah, kau juga harus ikut makan. Tubuhmu kurus sekali."
Rio ikut duduk makan malam bersama Indy. Mereka menyantap dalam keheningan, hanya ada suara peralatan makan yang saling berirama. Capcay yang dibuat Rio rasanya cocok di lidah Indy. Semua masakan Rio yang terhidang di meja terasa enak, kecuali ayam kecap bombay sedikit keasinan.
"Saya tidak menyangka kalau kamu bisa masak. Sejak kapan kamu belajar ini?"
"Sejak bapak sibuk diluar mencari uang dan saya harus bisa mengurusi rasa lapar sendiri. Daripada membuat bapak lelah berlipat ganda karena harus mengurusi perut saya, lebih baik saya belajar masak biar bisa menghidangkan untuk bapak juga."
Indy mengerti. Dia salut kepada pemikiran Rio, namun tidak dia ungkapkan.
"Masakan kamu enak. Yang ini, garamnya kurangi sedikit ya."
"Oh iya ini sebenernya awal sudah dimarinasi bumbu mau di buat ciken, tapi-" Indy tiba-tiba tersedak, memutus penjelasan Rio.
"Uhuk.. uhuk.." Indy kemudian meminum air putih yang disodorkan Rio.
Mendengar kata 'ciken' membuat Indy teringat Ryuga, mendiang adiknya yang ingin makan ciken bersama ayah ibu saat dirinya ulang tahun sebelum kejadian nahas. Indy terguncang kembali lalu pergi meninggalkan meja makan dengan bibir yang bergetar.
Di dalam kamar,
Indy menangis, mencengkram kuat rambutnya sambil meraung-raung. Tubuhnya melorot ke lantai meratapi kepedihan yang masih begitu terasa.
Sementara di luar kamar ada Rio diam terpaku mendengar rintihan isak tangis Indy. Pintunya dibiarkan terbuka karena memang Indy tidak terlalu memperhatikan hal tersebut. Rio menyaksikan keadaan Indy sampai perempuan itu bergerak serabutan mencari-cari obatnya. Tas kerja yang Indy pakai sudah menumpahkan segala isinya.
Obat ketemu, yang jadi masalah sekarang tidak ada airnya. Sebelum Indy terseok-seok pergi mencari air, Rio sudah lebih dulu berlari kencang ke dapur mengambil segelas air minum.
Rio kembali sampai di kamar Indy, bertepatan perempuan itu hampir tiba di ambang pintu. Tanpa sepatah kata--karena Rio melihat keadaan Indy rapuh--Rio langsung membantu Indy meminumkan obatnya. Setelah itu, dia biarkan Indy mengatur dirinya sendiri hingga perempuan itu perlahan-lahan memejamkan mata.
Saat nafas Indy sudah teratur, Rio membaringkan tubuh wanita itu diatas kasur. Ia menyelimuti, kemudian pergi dari sana membiarkan Indy beristirahat. Dengan apa yang baru saja ia lihat, Rio menyimpulkan bahwa Indy memiliki trauma. Dia berkata dalam hatinya semoga Indy baik-baik saja setelah ini, setelah ia mengerti ada kata-kata yang tidak boleh diucapkan di depan wanita itu. Rio juga bertekad di dalam hatinya, dia akan melindungi Indy yang sudah ia anggap sebagai malaikat penolong disaat kehilangan arah.
Bagi Rio Indy adalah cahaya baru yang ia lihat, di tengah dunianya yang sempat gelap.
.
.
.
Bersambung.
Heh, jd keinget gaya helikopter nya Gea sm Babang Satria🤣