Maya Elina Putri dan Mila Evana Putri adalah sepasang anak kembar yang meski lahir dari rahim yang sama, memiliki kepribadian yang sangat berbeda. Maya dengan kecerdasannya dan Mila dengan kenakalanya. Kedua orang tua mereka seringkali membedakan Mereka Berdua. Maya selalu mendapatkan pujian, sementara Mila lebih selalu mendapatkan teguran. Namun ikatan mereka sebagai saudara kembar tetap kuat. Mereka saling menyayangi dan selalu mendukung satu sama lain.
Arga, kapten tim basket di sekolah mereka, adalah sahabat dekat Mila. Mila secara diam-diam menyimpan perasaan lebih kepada Arga, tetapi ia tak pernah berani mengungkapkannya. Ketika Arga mulai menunjukkan ketertarikan pada Maya, hati Mila hancur. Arga memilih Maya, meyakini bahwa hubungannya dengan Mila hanyalah sebatas persahabatan. Hal ini membuat Mila merasa dikhianati oleh takdir, apalagi ketika Maya dan Arga resmi berpacaran. Luka di hati Mila semakin dalam, dan dia mulai menaik diri dari Maya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laura Putri Lestari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Larangan yang Menyakitkan
Beberapa hari setelah Mila sadar dari komanya, suasana rumah kembali normal—atau setidaknya, begitulah yang terlihat dari luar. Namun, di balik pintu kamar Mila, ada ketegangan yang terus menggunung. Luka fisik Mila mungkin sudah mulai sembuh, tetapi luka emosional yang tersembunyi semakin mendalam, terutama karena sikap kedua orang tua mereka.
Suatu sore, saat seluruh keluarga berkumpul di ruang tamu, papanya tiba-tiba membuka percakapan yang membuat suasana menjadi tegang.
"Mila," papanya memulai dengan nada serius, "Papa dan Mama sudah bicara. Mulai sekarang, kamu nggak boleh lagi naik motor, apalagi ke pantai."
Mila yang sedang duduk di sofa langsung menegang. Dia menatap papanya dengan mata yang membelalak tidak percaya. "Kenapa, Pa? Kenapa aku harus dilarang segala?"
"Mila, Ini tentang keselamatan kamu," kata mamanya mencoba meredakan ketegangan, meski suaranya terdengar tegas. "Kita nggak mau kejadian kemarin terulang lagi. Kamu itu gak berhati-hati membawa motor."
Mila merasakan amarahnya mulai mendidih. Dia merasa seperti semua yang dia sukai sedang diambil darinya, satu per satu. "Aku nggak bisa hidup tanpa motor, Ma! Kalian tau sendiri aku suka naik motor. Dan pantai... kenapa aku nggak boleh ke sana lagi?"
"Kamu bisa hidup tanpa itu semua, Mila," kata papanya tanpa memberikan ruang untuk berdebat. "Yang penting, kamu aman. kamu juga harus mikirkan masa depan kamu. kamu udah bikin kami semua khawatir kemarin, dan sekarang kami nggak mau ambil risiko lagi."
"Tapi Pa, Ma, kalian tuh nggak pernah ngerti perasaan aku!" Mila hampir berteriak, air matanya mulai mengalir deras. "kalian berdua itu cuma mikirin Maya terus, kalian cuma peduli sama dia. kalian nggak pernah ngertiin apa yang aku rasain! aku juga anak kalian berdua, bukan maya seorang!"
Suasana di ruang tamu mendadak sunyi. Kedua orang tua mereka terdiam, terkejut oleh ledakan emosi Mila. Sementara itu, Maya yang duduk di sudut ruangan merasa serba salah. Dia tahu betapa pentingnya motor dan pantai bagi Mila, dan dia juga tahu betapa sulitnya adiknya untuk mengekspresikan perasaannya.
"Mila..." Maya mencoba menenangkan, mendekat dan memegang tangan adiknya. "aku tau kamu marah, tapi mungkin kamu bisa mikirin apa yang Papa sama Mama katakan. Mereka cuma mau kamu itu aman."
Mila menarik tangannya dari genggaman Maya. "Lo itu nggak ngerti, May. Lo selalu dapet perhatian dari mereka, lo selalu dapet dukungan dari mereka. Sedangkan gue... gue cuma diatur, dilarang ini itu. bahkan sesuatu yang gua sukai aja gak pernah dapat dukungan dari mereka. Lo gak pernah ngerasain ini semua kerena lo nggak pernah ada di posisi gue!"
Maya terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Dia merasa hancur melihat adiknya yang begitu terluka, tetapi dia juga tahu bahwa apa yang dikatakan Mila ada benarnya. Selama ini, perhatian orang tua mereka memang lebih terfokus pada Maya, sedangkan Mila sering kali merasa terabaikan.
Papanya menghela napas panjang, berusaha meredakan ketegangan. "Mila, Papa minta maaf kalau kamu merasa begitu. Tapi kita semua cuma mau yang terbaik buat kamu. Kita nggak bisa kehilangan kamu, nggak bisa lagi." Mila tau jika kedua orangtuanya itu juga memerhatikanya, tapi sikap mereka membuat Mila kecewa.
Mila menggelengkan kepalanya, air matanya semakin deras mengalir. "Kalau kalian mau yang terbaik buat aku, kalian jua harus ngertiin aku. Bukan cuma membuat aturan yang bikin aku tertekan. dari kecil hingga sekarang kalian selalu seperti itu. Aku juga punya impian, Pa, Ma, dan aku butuh kebebasan buat ngejar impian aku!"
Mamanya mencoba mendekat, tetapi Mila bangkit dari tempat duduknya dan berlari ke kamarnya, membanting pintu dengan keras. Suasana di ruang tamu menjadi semakin tegang, dengan papanya yang hanya bisa menghela napas panjang dan mamanya yang terlihat sangat sedih.
Di dalam kamarnya, Mila menangis terisak-isak. Dia merasa sendirian, terjebak dalam situasi yang tidak adil. Dia tahu orang tuanya hanya peduli, tetapi cara mereka melarangnya terasa seperti pengkhianatan. Maya yang selalu menjadi pusat perhatian, membuatnya merasa semakin tenggelam dalam bayangan kembarannya sendiri.
dan Siapakah orang itu?