NovelToon NovelToon
KEISHAKA : You'Re My Melody

KEISHAKA : You'Re My Melody

Status: tamat
Genre:Tamat / cintapertama / Anak Kembar / Murid Genius / Teen School/College / Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: Ziadaffi Ulhaq

Dia, lelaki dengan prestasi gemilang itu tidak sesempurna kelihatannya. Sayang sekali kenapa harus Nara yang menyaksikan rumitnya. Namanya Yesha, menyebalkan tapi tampan. Eh? Bukan begitu maksud Nara.

Dia, gadis ceroboh yang sulit diajak bicara itu sebenarnya agak lain. Tapi Yesha tidak tahu bahwa dia punya sisi kosong yang justru membuat Yesha penasaran tentang sosoknya. Namanya Nara, tapi menurut Yesha dia lebih cocok dipanggil Kei. Tidak, itu bukan panggilan sayang.

Jatuh cinta itu bukan salah siapa. Pada akhirnya semesta berkata bahwa rumitnya bisa dipeluk dengan hangat. Dan kosongnya bisa dipenuhi dengan rasa.

Oh, tenang saja. Ini hanya masalah waktu untuk kembali bersama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziadaffi Ulhaq, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

TUAN MUDA YESHA

BRAMASTA Yeshaka memarkir motor besarnya dipelataran rumah yang nyaris seukuran Gimnasium sekolah. Tidak perlu betulan memarkir, asal sampai dekat pintu saja. Nanti juga akan rapi sendiri, sudah ada petugas yang akan memasukkannya ke garasi, Yesha bahkan tidak perlu mencabut kunci motor. Ia melepas helm, seorang pria yang merupakan pelayan dirumah besar itu sudah menyodorkan tangan dengan sopan, bersiap menerima helm Yesha.

Ingat bahwa Yesha yang katanya kaya raya? Itu bukan bualan, apalagi hanya gurauan untuk melengkapi kesempurnaan seorang Yeshaka. Ayahnya adalah pemilik perusahaan real estate dan bisnis properti terbesar di negara ini. Tapi hidup dengan gelimang harta sejak kecil tidak menjadikan Yesha angkuh selayaknya dia dianggap Tuan Muda dirumah super besar ini. Siapa bilang Yesha sepenuhnya berbahagia atas hidupnya? Bukannya Yesha tidak bersyukur, hanya memang kadang dia masih mempertanyakan seperti apa kebahagiaan yang Yesha inginkan?

Lelaki yang masih dengan seragam sekolah itu melintasi teras. Dua daun pintu yang berukuran masing masing nyaris dua meter seolah menjelaskan akan sebesar apa isi dari rumah itu. Yesha mendorong pintu, dua pembantu wanita sudah menyambutnya, membungkuk sopan.

“Den Yesha mau dibuatkan minuman?”

Yesha mengangguk, melepas sepatunya asal. “Matcha aja kayak biasa, Bi.”

“Baik, Den, segera bibi siapkan.”

“Ayah ada?”

“Ada, Den, di ruang tengah, masih mengurus dokumen.”

Yesha ber-oh pendek. Melambaikan tangan santai, menyuruh dua pembantunya melanjutkan pekerjaan. Seorang terlihat bergegas ke dapur. Seorang lain bergegas merapikan sepatu sekolah Yesha.

Sementara Tuan Muda mereka melangkah melewati ruang tamu, bersenandung ria. Suasana hatinya sedang baik.

Rumah ini bergaya gabungan antara eropa klasik dan modern. Dengan lantai terbuat dari granite terbaik diseluruh negeri, sofa sofa mahal tertata rapi. Sepanjang mata memandang yang bisa dilihat didalam rumah ini adalah kemewahan. Barang barang mahal, material material terbaik, lukisan lukisan seniman ternama. Semuanya terlihat menakjubkan, memanjakan mata. Setidaknya ada sepuluh orang pembantu yang mengurus rumah, belum termasuk dua orang yang menjaga gerbang, dan satu orang yang mengurus garasi serta tiga mobil dan satu motor didalamnya.

Yesha melintasi ruang tengah, tempat Edwin—ayahnya—sedang berkutat dengan dokumen dokumen penting diatas meja. Yesha hanya melirik sekilas, tidak tertarik.

“Ayah dengar kamu menang lagi kompetisi main piano itu.”

Langkah Yesha terhenti, Edwin menatapnya. “Iya, maaf kemarin Yesha nggak sempat ngasih tahu ayah soal kompetisinya.”

Edwin tersenyum, mengangguk, menatap putra sulungnya penuh penghargaan. “Kamu selalu bisa buat ayah bangga Yesha. Makasih banyak, Nak.”

Yesha tersenyum samar.

“Kamu sudah besar Yesha, sudah mau lulus, seharusnya sudah mulai belajar untuk melanjutkan bisnis ayah. Zara bahkan sudah mulai belajar bisnis dari SMP, kapan kamu mau menyusul untuk belajar bisnis?”

Percakapan yang sudah bisa Yesha tebak arahnya kemana. Karena itulah sejak awal ia tidak tertarik menyapa ayahnya. Apalagi kalau Edwin sedang berhadapan dengan dokumen dokumen bisnis itu. Baiklah, obrolan ini tidak akan berlangsung baik seperti biasanya.

Yesha menghela napas. “Yesha udah bilang kalau Yesha nggak tertarik buat belajar bisnis, Yah, harus berapa kali lagi Yesha bilang kalau Yesha mau jadi musisi?”

“Ayah nggak melarang kamu jadi musisi, cuma kamu harus tahu mana pekerjaan utama kamu dimasa depan nanti. Musisi itu bisa jadi pekerjaan sampingan.”

“Jadi musisi itu cita cita Yesha, Yah. Impian. Bukan hanya sekedar pekerjaan apalagi cuma sampingan. Itu tujuan hidup buat Yesha.” Yesha menggeleng. Astaga, ribuan kali mungkin Yesha mengatakan hal ini selama bertahun tahun.

“Ayah udah nurutin mau kamu buat sekolah di sekolah seni, Yesha. Dari dulu. Terus kapan kamu mau ngikutin kemauan ayah? Belajar bisnis. Cuma itu, bisnis ini bakal berguna buat hidup kamu nanti.” Suara Edwin terdengar lelah. Putra sulungnya begitu keras kepala.

Lagi lagi Yesha menggeleng, “Yesha nggak tertarik, Yah. Udah ada Zara yang mau nurutin kemauan ayah, yang mau belajar bisnis, biar Zara aja. Gak usah maksa Yesha.”

“Yeshaka—”

“Yesha pamit ke kamar dulu, mau istirahat.” Yesha tersenyum yang terkesan dipaksakan, lalu melangkah pergi dari ruang tengah, menuju tangga besar yang mengarah ke lantai dua, tempat kamarnya berada.

Edwin menghela napas. Betapa putranya itu keras kepala. Susah diatur.

Siapa Zara? Itu pertanyaannya, kan? Zara adalah seorang gadis yang berada di salah satu potret yang menggantung di kamar Yesha. Bianca Yezhara. Adik kembar Yesha. Ya, kalian tidak salah baca. Yesha memang terlahir kembar, selisih sepuluh menit dengan Zara. Mereka memang kembar. Wajah mereka nyaris sama persis. Tapi sifat, sikap, dan kemauan mereka kontras. Yesha yang ramah, tidak menganggap dirinya Tuan dirumah ini, menyukai semua hal berbau seni dan musik, berbanding terbalik dengan Zara yang jutek, hidup layaknya Tuan Putri, dan lebih tertarik berbisnis, membicarakan tentang uang. Saat ini Zara masih menyelesaikan sekolahnya sekalian belajar bisnis di Australia, sejak lima tahun lalu. Tapi soal Zara bisa dibahas nanti nanti. Lagipula dia tidak ada disini sekarang.

Siapa yang tahu bahwa Yesha memiliki adik kembar? Tidak seorang pun yang tahu. Bahkan tiga sahabat dekat Yesha. Sebab kalau Yesha beri tahu pun Yesha yakin mereka tidak akan percaya.

Yesha menatap pantulan dirinya didalam cermin. Lihatlah seorang Yeshaka ini. Bahkan pahatan wajah dan postur tubuhnya terlihat seperti sebuah seni dari tuhan. Yang diciptakan dan diukir sedemikian rupa indah. Matanya yang hitam selalu penuh dengan kepercayadirian, hidung mancung, rahang tegas, dan untuk seukuran anak laki laki, Yesha terlihat lebih putih, tangannya yang hanya berkutat dengan tuts piano atau microphone terasa halus. Proporsi badannya sempurna, tinggi tegap dan berwibawa. Begitulah bagaimana gadis gadis tergila gila pada sosok tampannya.

Yesha pindah dari depan cermin, sudah cukup mengagumi dirinya sendiri. Ia menaruh tasnya asal, merebahkan tubuh diatas kasur king size nya yang dingin dan nyaman. Sejenak ia memejamkan mata. Siapa nama murid baru itu? Ah, Nara. Ya ampun, bagaimana bisa Yesha membiarkan dirinya dimanfaatkan oleh Nara? Pintar sekali dia menyuruh Yesha mengerjakan tugasnya dan gadis itu hanya diam mengawasi. Walaupun tidak sulit bagi Yesha untuk mengerjakan dua tugas sekaligus. Ah sudahlah, itu bukan sesuatu yang harus terus dipikirkan.

Tok…tok…tok…

“Den, minumannya siap.”

“Masuk.” Tapi Yesha tetap bergeming, masih di posisi nyamannya. “Simpen dimeja aja, Bi.”

“Baik, Den.”

“Bi, tolong pesenin itu…ehm, apa ya? Pizza atau pasta gitu, yang porsi empat orang, temen temen Yesha mau dateng. Terus rapiin di paviliun.” Ucap Yesha masih dengan mata terpejam.

“Baik, Den. Segera bibi pesankan.”

“Makasih, Bi.”

“Sama sama, Den.”

Sepeninggal pembantunya, Yesha mengeluarkan ponsel, menghubungi teman temannya, menyuruh mereka datang segera. Yesha bosan sekarang.

...***...

“Pizza mulu Sha, sekali kali yang lain gitu.” Seorang lelaki dengan hoodie hitam mengempaskan tubuh ke sofa tepat disamping Yesha, membuat melesak.

Yesha yang sibuk dengan iPad nya hanya menoleh sekilas, tidak peduli. “Syukur syukur lo gue kasih makan.”

“Bagi cola, Nan.” Seorang lain yang sudah duduk di sofa seberangnya menyodorkan gelas, menyuruh orang disamping Yesha mengisinya dengan cola.

“Nyalain, Yan, PS-nya, lanjutin FIFA yang kemarin cuy!”

“Yoi, gaskeun!”

Yesha hanya melirik sekilas, geleng geleng kepala. Paviliun ini memang sudah seperti markas untuk Yesha dan tiga sahabat baiknya sejak SMP. Yang duduk disamping Yesha, sedang melahap sepotong besar pizza—padahal tadi protes—itu adalah Fizra Hananta, si paling otaknya nggak normal diantara yang lain. Sementara yang duduk diseberangnya, sibuk meminum cola dan mengunyah pasta, adalah Jeano Abidzar, apapun keadaannya, makan adalah solusi baginya. Dan yang sibuk menyalakan PlayStation adalah Ryandra Stefano, ketua kelas XI 3, sejauh ini dia yang otaknya paling normal, paling realistis. Sementara Yesha sendiri, dia tentu menjadi sarana prasana di tim, netral, normal, tidak segila Hananta.

“Sha, kita anggap rumah sendiri ya.” Kata Hananta songong.

“Emang dari dulu akhlak lo gak pernah dibawa kesini, kan.” Balas Yesha santai.

Hananta tertawa, mengangguk. “Sempit.”

“Otak lo.”

“Pesen yang lain lah, Sha.” Jean mengusulkan. “Apa kek.”

“Seblak gak sih?”

Jean mengacungkan jempol ke udara. “Nice.” Ia tertawa penuh kemenangan, “HP lo mana, Sha?”

Yesha mengeluarkan ponselnya dari saku celana jeans, menyodorkannya asal dan segera diambil Hananta.

“Yan, lo mau seblak gak?” Seru Hananta yang sudah sibuk membuka aplikasi delivery makanan.

“Gue maunya bakso anjir, enak kali sore sore gini.”

“Jadi mau seblak atau bakso? Yang sepakat dong!” Hananta menatap Ryan dan Jean bergantian.

“Dua duanya aja.” Sahut Jean enteng.

“Cireng juga enak kayaknya.” Ryan menambahkan.

Hananta justru menoleh pada Yesha, meminta persetujuan, “Gimana nih Tuan Muda? Mereka mau ngerampok isi pasar kuliner se-Indonesia, harga diri dompet Tuan Muda sedang dipertaruhkan saat ini!”

Yesha mendengus, “Gue bilang nggak juga pasti lo tetep pesen, kan?”

Hananta nyengir. Tebakan yang tepat. “Lo emang mengenal gue dengan sangat baik Tuan Muda. Sahabat sejati.” Ia menepuk nepuk bahu Yesha bangga.

“Kampret lo.” Yesha mengumpat.

Tanpa perlu berpikir dua kali, Hananta segera memesan semua makanan yang disebutkan Jean dan Ryan. Juga yang terlintas dibenaknya.

“Lo lagi ngapain sih, Sha? Sibuk amat.”

“Nyari referensi lukisan.” Jawab Yesha singkat.

“Lah dari jauh jauh hari? Biasanya lo ngerjain H-3, keteteran sendiri, terlalu santuy.” Ryan menyahut, kedua tangannya sudah sibuk dengan stick PS, mulai masuk game di layar besar televisi.

“Bukan buat gue aja, besok Nara udah pengen ngerjain, gue harus udah mulai nyari referensi lukisan dia.”

Semua mata spontan menatap Yesha. Ryan bahkan rela mem-pause game-nya. Gerakan menyuap Jean terhenti di udara. Hananta hampir menjatuhkan ponsel Yesha dari tangannya.

Hening.

Yesha menatap teman temannya. “Apa?”

“Nara saha?”

“Anak baru itu, kan?” Tanya Ryan.

“Anak baru?” Hananta menatap Ryan dan Yesha bergantian.

Ryan mengangguk, “Anak baru di kelas gue. Ya emang dia sekelompok sama Yesha sih, gak aneh.” Ia kembali melanjutkan permainan.

“Oh.”

Semua kegiatan kembali berlanjut.

Yesha mengacak rambutnya frustasi, tidak juga menemukan lukisan yang tepat. Ia menaruh iPad-nya, merebut ponsel dari tangan Hananta yang masih sibuk melihat lihat makanan.

“Eh, belum selesai anjir!” Hananta protes.

Yesha mengecek pesanan, “Buset, lo pada mau obesitas bersama? Ini kolestrol semua anjir. Gila kali.”

“Sejak kapan lo peduli kita mau obesitas kek, mau kurus kerempeng sisa kentut sama kulit doang kek, lo kan tim iya.”

Yesha manggut manggut. Benar juga. “Iya sih.”

“Mana siniin lagi.” Tagih Hananta.

“Lah goblok? Hape, hape gue,” Yesha tertawa. Ia beralih membuka aplikasi Instagram. “Bentaran gue ada perlu.”

Ibu jari Yesha bergerak menggeser layar, membuka DM. Sementara Hananta masih mengintip apa yang dilakukan lelaki itu. Yesha menekan salah satu roomchat dengan nama Keinarra Allea. Dan Hananta sedikit kaget saat Yesha tiba tiba menekan telepon.

Yesha mengambil sepotong pizza, merapatkan ponsel ke sisi telinga.

“Halo?” Suara seorang gadis terdengar dari seberang telepon.

“Bagi nomer lo.”

“Hah?” Bukan. Itu bukan Nara, melainkan Hananta, menatap tidak percaya pada Yesha. Seumur umur, Yesha yang dia kenal tidak pernah sekalipun meminta nomor seorang gadis lebih dulu.

Catat.

Tidak pernah.

Sekalipun.

Bahkan guru saja harus meminta nomor Yesha lebih dulu. Karena Yesha tidak pernah mau minta duluan. Tidak pernah mau.

“Lo siapa anjir?” Tanya Hananta, menatap Yesha dengan kening terlipat.

Yesha menoleh, ‘apa sih?’, demikian maksudnya.

“Buat apa?” Nara bertanya.

“Ya buat apa aja, emang lo nggak akan butuh nomer gue?”

“Kan, ini masih ada Instagram?”

Yesha menghela napas, menelan pizza di mulutnya setengah jengkel. “Tinggal kasih apa susahnya sih, Ra? Gue juga bukan orang jahat lagian. Maksudnya biar gue gampang ngehubungin lo nya, ngerti nggak sih?”

“Emang di IG susah?”

Astaga. Yesha menepuk dahi, memang bicara dengan gadis ini tidak pernah mudah sejak awal. “Yaudah terserah. Jangan salahin gue kalau lo susah ngehubungin gue lewat IG.”

Masalahnya DM Instagram Yesha selalu ramai. Pesan Nara lama lama akan tenggelam kalau gadis itu enggan pindah roomchat ke WhatsApp.

Nara berdecak diseberang telepon. “Iya, yaudah tunggu. Gue matiin dulu teleponnya.”

Yes! Yesha mengepalkan tangan dengan geregetan. Susah bicara dengan Nara. “Nanti gue telepon lagi kalau udah gue save.”

“Iya.”

Telepon ditutup.

Tak lama Nara mengirimkan nomornya. Dengan cepat Yesha pindah ke WhatsApp, menyimpan nomor gadis itu.

Tanpa sepengetahuan Yesha, tiga temannya saat ini sibuk melancarkan aksi stalking akun Nara lewat ponsel Jean. Hananta bahkan sudah pindah duduk, Ryan sudah menghentikan permainan dan ikut fokus pada ponsel Jean ditangan sang pemilik, menggulir layar berisi akun Instagram Nara.

“Cantik anjir.” Kata Jean. "Gue liat dia kemarin sekali di kantin."

Aneh mendengar percakapan Yesha di telepon dengan Nara, juga aksi Yesha sampai harus melakukan ‘Yes!’ seperti itu saat mendapat nomor Nara membuat mereka menempatkan Yesha dalam posisi tersangka utama. Bukan tersangka kasus kejahatan, tapi tersangka kasus jatuh cinta.

“Sha.”

“Hm.”

“Lo lagi jatuh cinta?”

Yesha melotot, ekspresi wajahnya memprotes ucapan Jean. “Seandainya lo semua tahu apa yang terjadi sama hidup gue. Seandainya lo semua tahu sesusah apa ngomong sama Nara. Seandainya lo semua ada di posisi gue.” Kata Yesha dramatis.

Hananta menghela napas. “Lo lagi jatuh cinta?”

“Nggak sialan!” Yesha melemparkan bantal ke arah tiga orang itu dengan gemas. Sok tahu sekali mereka bertiga ini.

Hananta dan Ryan kompak berkelit ke kanan dan ke kiri. Tapi Jean yang duduk ditengah mana sempat melakukannya, apalagi sambil sibuk menggulir layar ponsel. Tepat saat kepala Jean mendongak, bantal itu telak menghantam wajahnya. Ponsel lelaki itu jatuh, Jean kaget. “WOY BANGSAT!”

Hananta dan Ryan terbahak. Sementara Yesha kembali pada ponselnya. Tidak peduli.

Hananta mengambil ponsel Jean yang jatuh, “Lo tahu IG nya Nara darimana, Yan?”

“Dari Laudy, gue sempet liat dia follow akun Nara.”

“PDKT-an lo itu?”

Ryan mengangguk.

“Lo yakin nggak suka cewek secantik ini, Sha? Belum masuk ke tipe ideal lo juga nih cewek? Kalau gue jadi lo bosen sih lama lama jomblo. Dia boleh juga.” Hananta membalik ponsel Jean, menunjukkan sebuah postingan Nara pada Yesha.

“Bacot lo.” Yesha menyahut tidak peduli. “Tipe ideal gue susah.”

Kembali Yesha menghubungi Nara, kali ini lewat WhatsApp. Ia menegak minumannya sesaat sebelum sambungan terhubung dan suara Nara terdengar. Butuh kesabaran ekstra bicara dengan gadis ini.

“Halo?”

“Udah di save?”

“Belum.”

“Nanti save ya.”

“Iya ish. Eh, by the way gue boleh request buat lukisannya gak?”

Yesha menyandarkan kepalanya pada sofa. “Boleh, mau request apa? Asal yang masuk akal aja.”

Nara bergumam diseberang telepon. “Gue mau lukisan yang ada kupu kupunya.”

Hanya kupu kupu? Yesha kira Nara akan me-request sesuatu yang lebih tidak masuk akal seperti naga berkepala badak atau apalah. Ternyata yang susah hanya bicara padanya, kemauan gadis itu sederhana.

“Cuma kupu kupu aja?”

“Emang harusnya apa? Dinosaurus? Emang dinosaurus ada filosofinya?”

“Ada lah.” Jawab Yesha yakin. “Semua hal pasti ada filosofinya, lo nya aja nggak tahu.”

“Emang lo tahu?”

“Nggak.” Yesha nyengir, sementara Nara mendengus di seberang sana. “Udah sih, gue sebenernya nelpon lo cuma mau nanya lo maunya lukisan kayak gimana, jadi yaudah, cuma kupu kupu. Gue tutup teleponnya—”

“Besok jangan lupa ya, Yesha.”

“Iya, tapi besok gue gak bisa lama ya.”

“Kenapa?”

“Mau banget sama gue lama lama.”

“Freak lo!”

Telepon ditutup.

Eh? Yesha menatap layar ponsel. Sambungan sudah terputus. Dasar. Cewek aneh. Yesha geleng geleng kepala, tersenyum samar tanpa sadar.

Sementara ketiga temannya menatap Yesha dengan tatapan aneh. Jean bahkan sudah melupakan rasa kesalnya karena dilempari bantal oleh Yesha. Mereka bersumpah baru saja melihat Yesha tersenyum setelah sambungan telepon terputus. Yesha tersenyum, tidak salah lagi.

“Apa sih?” Yesha menatap mereka ngeri.

“Sha…”

“Apa?”

“Lo lagi jatuh cinta?”

“BACOT ANJIR!”

...***...

1
NurAzizah504
Hai, ceritanya keren
Beatrix
Serius thor, kamu mesti lebih cepat update. Agar aku nggak kehabisan tisu ☹️
Ludmila Zonis
Mengharukan
Devan Wijaya
Hahahaha aku baca dari tadi sampe malam, mana next chapter nya thor?!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!