"Kak Akesh, bisa nggak pura-pura aja nggak tahu? Biar kita bisa bersikap kaya biasanya."
"Nggak bisa. Gua jijik sama lo. Ngejauh lo, dasar kelainan!" Aku didorong hingga tersungkur ke tanah.
Duniaku, Nalaya seakan runtuh. Orang yang begitu aku cintai, yang selama ini menjadi tempat ‘terangku’ dari gelapnya dunia, kini menjauh. Mungkin menghilang.
Akesh Pranadipa, kenapa mencintaimu begitu sakit? Apakah karena kita kakak adik meski tak ada ikatan darah? Aku tak bisa menjauh.
Bagaimana bisa ada luka yang semakin membuatmu sakit malah membuatmu mabuk? Kak Akesh, mulai sekarang aku akan menimpa luka dengan luka lainnya. Aku pun ingin tahu sampai mana batasku. Siapa tahu dalam proses perjalanan ini, hatimu goyah. Ya, siapa tahu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mooty moo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 - Ingin Pergi tapi Ada Sesuatu yang Menahan
Malam ini akhirnya Nala akan bertemu dengan orang yang selalu dirindukannya. Seperti yang sudah dijanjikan, mereka akan bertemu di club pukul sembilan malam. Ia memakai celana pendek lima sentimeter di atas dengkul. Warna cokelat. Perempuan ini memang tomboy.
Setelah mengacak-acak isi lemari karena tak menemukan atasan yang cocok, dengan jengah ia meraih kaus putih polos. Kemudian memakai hoodie warna biru langit. Ia pun teringat Akesh yang selalu mengomelinya jika tak mengenakan pakaian tebal saat ke club. Orang itu khawatir karena Nala tak tahan berada di tempat dingin sehingga
terkena flu.
“La, lo udah siap belom?”
Seseorang mengetuk pintu asrama Nala. Itu adalah Agas. Oh Nala nyaris lupa kalau Agas juga akan bergabung malam ini. Ia terlalu bersemangat. Ia pun berjalan hendak membuka pintu, sambil manggut-manggut menikmati musik.
Saat pintu dibuka, Agas menaikkan alis kanannya, melihat temannya itu dari kaki sampai kepala. Ia merasa ada yang aneh.
“Lo dapet lotre?”
Agas menggeleng-gelengkan kepala melihat temannya bergoyang sambil bersenandung.
“I am unstoppable today…”
Nala menyanyikan lagu Sia berjudul Unstoppable. Tak tahan dengan tingkah laku konyol orang di depannya, Agas menarik lengan baju Nala. Akhirnya mereka berangkat menuju club, naik mobil Agas.
“La, Kak Bina orangnya kaya apa sih?”
“Di tongkrongan disebut Monster Es. Pelit omong, sekali ngomong savage. Tapi baik kok, peduli sama orang-orang di sekitar dia. Ya tapi—“
“Masih lebih oke Kak Akesh, kan? Gue tahu lo mau ngomong gitu.”
Nala terkekeh. Sementara Agas meliriknya dengan senyum licik. Meski tak pernah cerita, Agas tahu kalau orang di sampingnya ini naksir Akesh. Hanya saja, Nala tak tahu ini.
Agas berniat memberitahu Nala kalau orang yang selalu ngintilin Akesh ini juga jujur padanya. Seolah ia akan membuka tirai kalau tirai lawannya sudah tersingkap duluan. Atau bisa jadi, ia sedang memberi ruang privasi untuk temannya. Ia tak ingin menerobos masuk tanpa izin.
Setelah menempuh perjalanan 15 menit, akhirnya mereka sampai di club. Dua orang ini langsung menuju ke meja yang sudah dipesan.
“Semuanya, ini Agas. Udah pada tahu kan kalian?”
Agas berjabat tangan dengan Akesh, Bina, dan Ical. Posisi duduk mereka berseberangan, Nala duduk bersebelahan dengan Agas. Nala melihat ke arah Akesh, tapi pria itu sedari tadi selalu menghindar, enggan menatap ke arah Nala. Bohong kalau ia tak sedih dengan sikap Akesh.
“Sejak kapan lo nulis puisi, Kak?” Agas bertanya ke Bina.
“Semester ini.”
“Hah? Dan lo udah sejago itu? Gue kemarin minta file puisi juara satu sampai tiga ke panitia, dan gue nggak heran sih lo yang juara.”
Orang yang diajak bicara hanya diam. Bukan pemalu, Bina lebih ke enggan membalas, malas. Melihat reaksi itu, Agas menoleh ke arah Nala yang ternyata sedang menatap Akesh terang-terangan. Padahal biasanya cuma curi-curi pandang.
Ia pun menepuk-nepuk paha Nala sampai orang itu tergagap. Sadar terlihat canggung, ia pun mengusulkan bermain ToD atau true or dare. Semuanya setuju. Mereka menggunakan botol kosong untuk menunjuk dua orang yang bertanya.
Pada putaran pertama, botol menunjuk ke Bina dan Ical, Ical yang memegang kuasa.
“True or dare?”
“Dare.”
“Lo lihat cowok rambut cepak dari arah jam sembilan? Samperin dia, lo tepuk pundaknya, dan minta nomor teleponnya. Tapi nggak harus dapet nomornya juga.”
Tanpa protes, Bina langsung menjalankan misi, sementara Ical ketawa cekikikan. Tanpa diduga, Bina malah dengan gampang dapat nomor pria asing itu. Hal ini membuat sesuatu di badan Agas terpantik. Ical jadi kesal karena gagal mengerjai sahabatnya itu.
Pada putaran selanjutnya, acara cukup berjalan lancar. Hingga botol mengarah ke Nala dan Akesh. Sesuatu yang seru akan terjadi.
“True or dare?”
“True.”
“Pernah nggak suka sahabat sendiri?
Akesh tak langsung menjawab. Namun akhirnya ia menjawab ogah-ogahan. Semua orang di meja itu menatapnya, terutama Nala yang matanya berbinar penuh harap. Sangat terang hingga membuat lelaki itu tidak nyaman. Ia memang sengaja melempar pertanyaan yang serasa bom molotof ini.
“Nggak. Sahabat ya sahabat, pacar ya pacar. Kenapa harus disama-samain?”
Cahaya di mata Nala perlahan redup, kepalanya menunduk kemudian menggeleng pelan. Ia tersenyum tipis usai bom itu benar-benar meledak di hatinya.
“Eh santai dong, kenapa sensi sih? Hahaha.” Ical ikut menyahut. Orang ini nilai kepekaannya memang jeblok.
“Kalau gini terus, selamanya lo bakal jomblo,” timpal Bina.
“Kaya lo nggak jomblo aja!” Sungut Ical. Rasanya ia tak paham apa maksud perkataan sahabatnya itu.
“Lo aja yang nggak tahu,” Bina menjawab dengan santai.
Orang-orang sudah merasakan sedikit ketegangan. Tak biasanya dua orang itu bersitegang seperti ini. Maksudnya, ini jadi sedikit serius padahal biasanya mereka hanya berantem bercanda saja.
“Intinya gue nggak bisa pacaran sama sahabat gue sendiri,” ia menoleh sekilas ke arah Nala. Seolah pernyataan ini khusus untuk dirinya. Padahal ia tidak berkewajiban memberikan alasan karena poinnya sudah ia jawab tadi.
Mendengar pernyataan Akesh itu, Nala meremas pahanya. Bukankah Akesh juga menikmatinya malam itu? Ia jadi tersadar kalau Akesh bisa menjadi brengsek. Ternyata ia tak sesempurna itu.
Sementara itu, Ical dan Bina saling tatap, seolah merasakan sinyal yang sama: Akesh dan Nala belum baikan. Mereka akhirnya merelai keduanya, memesan lebih banyak minuman agar suasana tegang menguap. Begitu pula Agas yang dengan lembut menepuk pundaknya, seolah sedang menghiburnya.
Setelah tiga jam lebih di club, mereka memutuskan untuk pulang. Selain Akesh dan Agas, semuanya mabuk. Dua orang itu sengaja minum sedikit karena mereka menyetir. Namun di tempat parkir, terjadi sedikit keributan.
“Kak Akesh, aku numpang sama Kakak ya?”
Jelas jika tak mabuk, Nala tak akan berani mengajukan permintaan itu. Membuat Akesh nampak sekali kebingungan.
“Maaf Nala, gue sama Rachel—“ Kalimat itu belum usai namun sudah diinterupsi.
“Bodo amat Kakak mau ke mana setelah ini sama perempuan itu! Biasanya juga nggak kaya gini. Kakak kan bisa anter aku dulu ke asrama, setelah itu terserah mau ke mana.”
Akesh menarik napas panjang. Ia tak mampu menolak. Karena tak mau prahara cintanya terbongkar, ia pasrah. Akhirnya ia memapah Nala menuju mobilnya. Sementara itu, Agas menawarkan diri untuk mengantar Bina dan Ical pulang, keduanya setuju.
Sesampainya di mobil, Nala malah sangat tenang. Ia tak berbicara apapun. Tertidur. Meski kadang menggumamkan hal-hal yang tak jelas apa. Termasuk saat sampai di kamar, ia masuk dengan patuh dan langsung berbaring di kasur.
“Lo langsung tidur aja, gue mau nginep di apartemen Rachel.”
Lelaki itu menekankan kata ‘menginap’. Saat hendak membuka pintu, Nala memanggilnya.
“Kak…”
Perlahan, Nala bangkit dan duduk bersandar di dashboard kasur. Ia mengatur napasnya. Suaranya dapat didengar Akesh, meski sangat halus. Pasalnya asrama dalam keadaan sepi. Akesh menarik napas panjang, kemudian menoleh ke sumber suara. Kamar gelap namun Akesh bisa melihat bayangan wanita itu.
Nala turun dari kasur dan berjalan mendakat. Sementara Akesh yang tak tahu harus berbuat apa hanya mematung. Nala semakin mengikis jarak, kemudian… ia memeluk orang di depannya.
“Boleh nggak aku minta malam ini kita tidur bareng? Aku cuma pengen peluk kakak kaya waktu kecil.” Wakti kecil memang mereka sering tidur bersama.
Nala perlahan menggesek-gesekkan kepalanya di dada Akesh. Ia bisa merasakan jantung orang yang sedang ia peluk berdegub kencang. Karena tak mendapat jawaban, kepalanya mendongak, mengamati ekspresi dambaannya itu. Posisi mereka kini seperti sepasang kekasih, apalagi tinggi Nala hanya sepundak Akesh.
“Kak…”
Nala menarik-narik pelan lengan baju yang lebih tua.
Akesh tak langsung menjawab. Ia bimbang sejenak.
“Ya udah ayo.”
Setelah cuci muka dan gosok gigi, mereka menuju tempat tidur. Akesh tidur dengan posisi menyamping, sementara Nala memeluk dari belakang. Akesh akhirnya tertidur. Mendengkur halus. Hari ini ia benar-benar melelahkan.
“Aku suka sama Kakak itu jadi tanggung jawabku, bukan Kakak. Kakak cukup biarkan aku tetap di sekitar Kakak kaya biasanya. Kakak diam aja, aku yang akan tanggung jawab sama diriku sendiri.”
Ia berkata pelan, tak ingin mengganggu tidur orang yang ia peluk. Meski ternyata, orang itu mendengar semuanya. Ia hanya tak tahu harus membalas apa. Ia ingin pergi, tapi ada sesuatu yang menahannya.
gue aja udah dag dig dig