Ini tentang Naomi si gadis cantik ber-hoodie merah yang dibenci ibu dan kakaknya karena dianggap sebagai penyebab kematian sang ayah.
Sejak bertemu dengan Yudistira hidupnya berubah. Tanpa sadar Naomi jatuh cinta dengan Yudistira. Pria yang selalu ada untuknya.
Namun sayangnya mereka dipisahkan oleh satu garis keyanikan. Terlebih lagi tiba-tiba Naomi divonis mengidap kanker leukimia.
Apakah semesta memberikan Naomi kesempatan untuk memperjuangkan cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gulla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Tidak ada hidup yang tidak adil tapi yang ada kita yang kurang bersyukur.
****
Naomi mencari buku-buku kelas 7 dan 8 di gudang. Hari ini ia berencana ingin mengulas beberapa materi pelajaran untuk ujian Nasional. Ia memiliki misi menduduki peringkat 1 kabupaten. Karena kemarin kakak kelasnya menerima uang yang cukup lumayan banyak ketika berhasil meriah peringkat
10 besar kabupaten.
Masih ada tiga jam lagi sebelum pergi ke cafe. Meski hari Minggu, Naomi tetap ingin mencari penghasilan tambahan. Ternyata biaya SMA lumayan mahal, belum lagi buku-buku dan seragamnya. Jadi Naomi tidak ingin
menyia-nyiakan satu rupiah pun.
Sudah lebih dari tiga puluh menit Naomi mencari kesana kemari. Namun ia tidak menemukan satupun buku paket atau catatan miliknya. Naomi menggigit bibir, buku itu satu-satunya harapannya. Karena ia tidak mampu membeli
buku-buku latihan ujian Nasional yang harganya diatas ratusan ribu. Ia memang memiliki uang, tapi itu tidak cukup. Beberapa hari ini ia mengeluarkan biaya cukup banyak untuk sekolah. Ada beberapa pekerjaan praktik senirupa ataupun tata boga yang memakan banyak uang. Kebetulan sekali muatan lokal di sekolahnya adalah tata boga.
"Ma, buku-buku Naomi di gudang mana ma?" Tanya Naomi pada Sisca yang sedang menonton televisi.
"Sudah mama kiloin daripada jadi sarang tikus di gudang."
Deg!
Mata Naomi terasa berkaca-kaca. Ia ingin menangis namun ia tahan. Percuma saja melawan, ia tidak akan menang. Lebih baik ia pergi dari sini. Ia akan bersiap langsung ke cafe. Dari pada harus menahan emosi.
"Kenapa emangnya?"
"Mau Naomi pake belajar."
"Nggak usah perlu repot-repot belajar, lagian kamu percuma rangking satu nggak bisa bikin kamu kaya. Mending kamu kerja aja bantu mama cari uang. Kalau bukan karena kamu ayah masih akan disini dan restoran ayah kamu
nggak akan bangkrut."
Naomi melangkah pergi tanpa mau membalas. Ia benci jika Sisca sudah mengungkap hal tersebut. Semua kesalahan akan dilimpahkan padanya. Ia hanyalah anak pembawa sial bagi keluarga Lee. Itulah yang membuat ibu
dan kakak membencinya. Dulu mereka orang kaya namun bangkrut. Lebih buruknya lagi sang tulang punggung telah tiada. Tidak ada yang bisa diandalkan untuk mencari uang. Sedangkan Sisca hanya bekerja sebagai
admin di salah satu kantor.
"Naomi mau kemana lo?" Teriak Casandra yang tak sengaja berpapasan dengan sang adik.
"Belajar ke rumah temen." Naomi menutup kepalanya dengan jaket hoodie merahnya. Jaket ini adalah pemberian terakhir ayahnya saat ia ulang tahun. Naomi selalu mengenakan jaket ini karena ia merasa berada di pelukan sang ayah. Naomi kembali merindukan saat-saat bersama sang ayah. Dulu jika hari minggu mereka akan memasak bersama atau pergi jalan-jalan.
Dari kecil Naomi memang sangat dekat dengan Jonathan dibanding Sisca. Entahlah ibunya seperti tak menerimanya. Dulu ia memiliki penyakit leukimia, namun berhasil disembuhkan berkat sumsum tulang belakang sang ayah. Sejak saat itu restoran juga mengalami kebangkrutan karena membiayai penyakitnya. Jonathan sering pulang malam untuk membangun kembali usahanya namun sebaliknya Jonathan meninggal. Waktu itu ayahnya
kecelakaan.
Naomiselalu menjadi bulan-bulanan ibu dan kakaknya karena itu. Bukan mau Naomi jika dirinya sakit? Naomi juga tidak ingin disembuhkan, tapi
Jonathan sendiri yang menginginkan putrinya untuk sembuh. Lagipula orang
tua mana yang tega melihat anaknya sakit dan mengabaikannya? Salahkah
Naomi jika ia menerima kebaikan dari ayahnya sendiri?
Naomi memberhentikan bis kemudian duduk di dekat jendela. Ia memasang earphone di telinganya sambil mendengarkan lagu di ponsel. Semua ini adalah pemberian Yudistira, Naomi bersyukur akan hal itu. Harapan yang
dulu pernah hilang seakan muncul kembali.
Air mata Naomi tanpa sadar turun mendengar lagu Ayah yang dibawakan Seventeen. Ia sangat merindukan ayahnya. Andai Jonathan masih ada pasti ia memiliki tempat berlindung. Sekarang tidak ada satupun yang bisa ia
peluk disaat ia sedih seperti ini.
Naomi menghapus airmatanya kemudian menggerakkan tangannya di jendela membentuk sebuah tulisan dari tetesan air hujan. Hujan datang tanpa ia minta, seakan tahu akan rasa sakitnya. Naomi menulis nama sang ayah
di sana.
"Ayah Naomi kangen..." Gumam Naomi dengan suara bergetar. Ia menahan isak tangisnya. Ia tidak boleh cengeng. Ia harus kuat. Ia harus mengumpulkan banyak uang agar bisa sekolah lalu ia akan pergi ke Amerika hidup bebas di sana.
Bis berhenti di tempat tujuan. Naomi turun kemudian berjalan menuju cafe. Untung hujan sudah berhenti hanya gerimis yang tersisa. Ia masuk ke dalam cafe, seperti dugaannya banyak yang heran karena dia datang
terlalu cepat.
"Bukannya masih dua jam lagi jadwal masuk kamu?" Tanya Elen.
"Pengen kesini cepet bosan di rumah, kak." Jawab Naomi.
"Oh bagus itu jadi ada yang bantuin rame banget nih hari ini."
"Naomi..Naomi aturan tuh anak seusia kamu kalau weekend gini liburan. Kamu malah kerja."
"Aku suka kerja kok kak." Ujar Naomi dengan ceria.
Yudistira yang kebetulan keluar dari kantor terkejut melihat Naomi. Semalam ia tertidur di cafe. Ia malas pulang, terlalu lelah mengurus beberapa bisnisnya yang mulai berkembang.
"Kamu sudah sampai?" Tanya Yudistira.
"Iya nih Pak bos."
"Buatkan aku makan." Dia belum makan dari tadi pagi. Padahal sudah jam sepuluh sekarang. Dua jam lagi akan masuk jam makan siang.
"Pak bos mau di buatkan apa?"
"Spaghetti bolognese sama susu coklat hangat." Naomi menganggukkan kepala lalu ke dapur membuatkan pesanan Yudistira. Penghuni dapur juga sudah hapal kebiasaan bos yang suka makan masakan Naomi. Bahkan mereka mengira Yudistira menyukai Naomi tapi pria itu belum menyadarinya.
Setelah selesai membuatkan makanan Naomi masuk ke ruang kerja Yudistira. Baru ia sadari banyak sekali buku-buku di ruangan pria itu. Dulu ia terlalu gugup untuk mengamati sekitar. Andai saja ia akrab dengan Yudistira ia
ingin meminjamnya untuk membaca. Ia sangat suka sekali buku.
"Ini pak makanannya."
"Terimakasih."
"Gimana sekolah kamu?" Tanya Yudistira tiba-tiba.
Naomi terkejut mendapat pertanyaan. Ini kali pertama Naomi berbicara intens dengan Yudistira. "Baik."
"Uang dari saya cukup untuk membeli perlengkapan sekolah kamu?" Yudistira
merubah ucapannya dengan formal. Agar Naomi tidak mengira ia ikut campur dengan masalah pribadi gadis itu.
"Cukup." Yudistira menghela napas lega.
"Kalau butuh sesuatu bilang saja. Saya akan membantu kamu." Naomi adalah anak
yatim, itulah sebabnya Yudistira ekstra perhatian dengan gadis itu. Bukan maksud lain. Meskipun hati kecilnya tak yakin, karena di luar sanabanyak anak yatim tapi kenapa hanya Naomi yang ia bantu.
"Iya, Pak bos." Naomi cukup tahu diri untuk tidak merepotkan bosnya lagi. Yudistira terlalu baik dan ia tidak ingin memanfaatkan kebaikan pria tersebut. Masalah buku mungkin ia akan meminjam di perpustakaan besok.
"Kalau begitu kamu bisa keluar." Naomi kemudian keluar dari ruangan kembali memasak. Hanya di dapur ia merasa bahagia. Kesedihannya seakan lenyap begitu saja. Untung saja ia mudah menyembunyikan perasaannya, sehingga Yudistira tidak menyangka jika ia habis menangis selama perjalanan di bis tadi. Bagaimanapun ia tidak ingin Yudistira ikut campur masalahnya lebih jauh. Ia tidak ingin pria itu bernasib sial seperti sang ayah karena berusaha menjaganya.
***
Naomi berniat ingin pulang, namun lagi-lagi hujan. Ia mendesah, takut pulang malam. Ia benci harus berdebat dengan Sisca. Pasti ia akan diceramahi. Apalagi ia belum masak makan malam.
"Pulang bareng saya."
"Tapi pak bos saya-"
"Cepat keburu hujannya deras." Naomi mengangguk kemudian ikut naik ke atas motor. Seperti dulu ia bersembunyi di balik jas hujan kalilawar Yudistira. Suara hujan dan mesin motor memenuhi Indra pendengarannya.
Beberapa menit kemudian motor berhenti. Naomi merasa aneh bukannya rumahnya masih jauh. Ia keluar dari jas hujan. Keningnya berkerut melihat dirinyadi parkiran kendaraan masjid.
"Saya sholat dulu nggak papa?" Mau tak mau Naomi mengangguk, ia menunggu di luar di atas motor pria itu. Melihat pria itu berlari ke dalam masjid menyadarkan Naomi tentang seberapa besar jarak diantara mereka.