Adisti sudah mengabdikan hidupnya pada sang suami. Namun, ternyata semua sia-sia. Kesetiaan yang selalu dia pegang teguh akhirnya dikhianati. Janji yang terucap begitu manis dari bibir Bryan—suaminya, ternyata hanya kepalsuan.
Yang lebih membuatnya terluka, orang-orang yang selama ini dia sayangi justru ikut dalam kebohongan sang suami.
Mampukah Adisti menjalani kehidupan rumah tangganya yang sudah tidak sehat dan penuh kepalsuan?
Ataukah memilih berpisah dan memulai hidupnya yang baru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Ingin perhatian
"Ada apa, Bang? Kamu mau nambahin? Nggak pa-pa juga kalau kamu mau nambahin. Aku sangat berterima kasih kalau gitu," ujar Adisti sebelum sang suami menyelesaikan kalimatnya.
Bryan semakin bingung harus berkata apa, hingga akhirnya dia hanya diam saja. Nanti akan pria itu pikirkan bagaimana caranya agar bisa mendapatkan uang itu. Bryan tidak ingin Adisti curiga dan menimbulkan masalah nantinya. Lebih baik mencari pinjaman saja.
Setelah acara makan malam selesai, Arsylla pamit pulang. Tadinya Adisti menawarkan untuk menginap saja karena memang hari sudah sangat larut, tidak baik jika wanita ada di luar. Namun, temannya itu menolak karena merasa tidak enak mengganggu pasangan suami istri. Adisti pun tidak memaksa.
Dirinya sendiri juga tidak suka saat berada di tengah-tengah pasangan orang lain. Adisti pun tidak memaksa. Bryan sendiri pamit untuk ke kamar membersihkan diri. Namun, ternyata laki-laki itu membawa ponselnya ke sana. Dia ingin menghubungi seseorang agar mengirimkannya uang.
Tanpa diketahui oleh Bryan, ternyata Adisti mengikutinya dan menguping pembicaraan sang suami dengan seseorang di balik telepon. Dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan dan ini pasti berhubungan dengan wanita di rumah itu.
"Tolonglah? Untuk kali ini saja, kirimkan aku uang seratus juta. Lagi pula itu 'kan uangku yang aku transfer ke kamu. Nanti kalau Adisti mengembalikannya, aku akan transfer ke kamu lagi. Tolonglah mengerti keadaanku, kalau Adisti sampai mengetahui rahasia kita, semuanya akan hancur jadi, aku mohon kirim uang kepadaku."
" .... "
"Iya, aku tahu itu memang tidak sedikit, tapi demi sesuatu yang lebih besar seharusnya uang itu tidak ada apa-apanya."
" .... "
"Iya, aku akan mengembalikannya dua kali lipat."
Setelah itu hanya terdengar gumaman saja, tidak jelas apa yang dibicarakan Bryan. Namun, Adisti cukup tahu dari mana sang suami akan mendapatkan uangnya. Yang penting dia mendapatkannya meski jumlahnya tidak seberapa. Berikutnya wanita itu akan membuat sang suami membayar lebih.
Saat Bryan keluar dari kamar mandi, dia terkejut mendapati sang istri ternyata sudah ada di kamar. Pria itu pikir Adisti masih di dapur membereskan sisa acara tadi. Bryan pun mencoba untuk menetralkan ekspresinya, berjalan menuju sang istri yang saat ini sedang bersandar di kepala ranjang dengan memainkan ponsel. Adisti sejak tadi sudah sadar dengan keberadaan sang suami. Namun, wanita itu berpura-pura tidak melihatnya. Itu lebih baik daripada melihat ekspresi Bryan yang terlihat begitu menjijikkan di matanya.
"Kamu sudah pulang masih sibuk terus saja, Sayang," ucap Bryan saat melihat apa yang dikerjakan oleh sang istri.
"Iya, sebenarnya 'kan memang pekerjaanku belum selesai, Bang. Hanya saja kemarin aku ingin memberi kejutan padamu, makanya aku pulang cepat dan menyerahkan semua pekerjaan pada asistenku. Sekarang mumpung ingat, aku harus menyelesaikan semuanya," sahut Adisti tanpa melihat ke arah sang suami yang saat ini terlihat kesal.
Bryan tidak mau mengalah dan mencoba untuk terus merayu istrinya. "Seharusnya sekarang kita bermesraan, sudah satu bulan kita nggak ketemu."
"Oh ya! Lama juga ternyata."
"Iya, memang lama, Sayang. Kamu saja yang terlalu sibuk sampai nggak sadar."
Mendengar apa yang dikatakan sang suami membuat hati Adisti sedikit terluka. Wanita itu menatap tajam ke arah sang suami. Bisa-bisanya Bryan berkata tanpa memikirkannya dulu, padahal sudah jelas jika dirinya yang salah, kini malah melemparkan kesalahan pada dirinya.
"Aku yang sibuk atau kamu yang sibuk? Setiap hari aku selalu kirim pesan ke ponsel kamu, tapi kamu jarang sekali membalasnya. Bahkan saat melakukan panggilan pun harus aku dulu yang nelpon kamu. Kalau seandainya saja aku nggak nelpon kamu mungkin kamu nggak akan pernah menghubungiku dulu," ucap Adisti dengan penuh emosi, seakan dia ingin menumpahkan kekesalannya pada sang suami.
Sebenarnya wanita itu tidak masalah jika harus menghubungi suaminya lebih dulu. Namun, apa yang dia lihat kenyataannya justru sangat menyakitkan. Itulah yang membuat Adisti menumpahkan emosinya dan beralasan seperti itu. Berpura-pura memang melelahkan, tetapi memang itu yang harus dilakukannya.
"Sayang, maafkan aku. Bukan seperti itu maksudku, aku hanya ...."
"Sudahlah, Bang, nggak usah terlalu banyak alasan. Sudah terlalu sering kamu seperti itu, sebelumnya aku tidak masalah, tapi semakin ke sini justru kamu tidak menganggapnya begitu penting lalu, aku ini kamu anggap apa selama ini?"
"Kamu kenapa tiba-tiba marah-marah seperti ini hanya gara-gara masalah pesan dan telepon? Biasanya juga seperti itu," sahut Bryan yang sudah mulai terpancing emosinya.
"Seharusnya kamu bisa berpikir dong, Bang. Seharusnya kamu tahu bagaimana perasaanku, aku sebagai wanita juga ingin ada yang perhatian, ada yang nanyain bagaimana keadaan aku saat ini. Apakah aku lelah atau tidak, kamu justru sangat-sangat cuek. Aku bahkan selalu bertanya-tanya apakah mungkin aku sudah tidak menarik lagi, hingga kamu enggan untuk bertanya padaku dan lebih memilih menyibukkan diri di kantor? Atau di kantor memang ada sesuatu yang menarik, hingga membuatmu lupa padaku?"
Bryan melebarkan matanya tidak menyangka jika sang istri bisa sampai berpikiran seperti itu. Di perusahaan mana berani dia berbuat macam-macam, pria itu sangat tahu siapa yang saat ini menjadi atasannya. Orang yang selama ini dipanggil om oleh sang istri dan menganggap seperti keluarga sendiri.
"Kamu ini bicara apa sih, Sayang? Kenapa kamu bicara makin ngelantur."
"Buktinya aku minta transfer uang seratus juta saja kamu nggak ngasih, terlihat pelit sekali padaku. Padahal selama ini uang kamu juga tidak terpakai. Bagaimana nanti kalau aku meminta uang satu miliar? Padahal selama ini aku nggak pernah minta uang kamu sama sekali."
Bryan membuang napas berkali-kali, dia tidak habis pikir dengan cara berpikir istrinya. "Hanya karena uang seratus juta saja kamu sampai seperti ini! Oke segera aku akan transfer. Bahkan aku kasih lebih."
Bryan pun menyalakan ponselnya dan tidak lama dia mengirim uang ke rekening Adisti. Terlihat wanita itu masih diam tanpa melihat sang suami. Dalam hati wanita itu masih kesal, tidak karena ulah pria itu. Namun, Adisti senang karena rencananya akan berjalan lancar.
"Aku sudah mengirimnya. Aku kirim seratus lima puluh juta, kamu tidak usah berpikiran yang macam-macam lagi. Jangan lupa juga mengembalikannya saat usaha kamu berjalan lancar dan menghasilkan banyak uang."
"Hmm," gumam Adisti tanpa berniat menjawab ucapan sang suami.
Dalam hati dia berkata tidak akan pernah mengembalikan uang itu sepeser pun. Itu adalah hak miliknya selama ini yang tidak pernah pria itu berikan. Bahkan nilainya tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan apa yang dilakukan Adisti selama ini.
Sebenarnya ini juga tidak ada apa-apanya. Namun, Adisti punya cara lain untuk mengambilnya. Dia harus mendapatkan haknya kembali jika memang Bryan benar-benar terbukti telah menghianatinya.