~Karya Original~
[Kolaborasi dari dua Author/BigMan and BaldMan]
[Update setiap hari]
Sebuah ramalan kuno mulai berbisik di antara mereka yang masih berani berharap. Ramalan yang menyebutkan bahwa di masa depan, akan lahir seorang pendekar dengan kekuatan yang tak pernah ada sebelumnya—seseorang yang mampu melampaui batas ketiga klan, menyatukan kekuatan mereka, dan mengakhiri kekuasaan Anzai Sang Tirani.
Anzai, yang tidak mengabaikan firasat buruk sekecil apa pun, mengerahkan pasukannya untuk memburu setiap anak berbakat, memastikan ramalan itu tak pernah menjadi kenyataan. Desa-desa terbakar, keluarga-keluarga hancur, dan darah terus mengalir di tanah yang telah lama ternodai oleh peperangan.
Di tengah kekacauan itu, seorang anak lelaki terlahir dengan kemampuan yang unik. Ia tumbuh dalam bayang-bayang kehancuran, tanpa mengetahui takdir besar yang menantinya. Namun, saat dunia menjerumuskan dirinya ke dalam jurang keputusasaan, ia harus memilih: tetap bersembunyi/melawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BigMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 26 - Kegaduhan di Kedai: Bagian 2
...----------------...
Malam semakin larut. Udara dingin mulai menusuk, dan desa yang tadinya sunyi perlahan dipenuhi suara kegaduhan. Dari arah kedai kecil di ujung jalan utama, terdengar teriakan keras, diikuti suara benda pecah yang menghantam lantai kayu.
Sora yang sudah berbaring di tikar tipisnya segera terduduk. Ia menajamkan pendengarannya, memastikan bahwa ia tidak salah dengar. Namun suara gaduh itu semakin menjadi-jadi. Terdengar suara orang berteriak marah, diiringi tawa kasar yang tak mengenal rasa hormat.
Di ruangan sebelah, Abirama yang sejak tadi duduk bersila dengan mata terpejam pun membuka matanya. Tatapannya tajam, seperti seorang prajurit yang segera membaca tanda-tanda bahaya. Ia bangkit tanpa suara, melangkah keluar tanpa ragu.
Sora segera menyusul, tetapi begitu ia hendak keluar rumah, suara ibunya, Kimiko, menghentikannya.
"Jangan ikut."
Sora menoleh, melihat ibunya yang berdiri di ambang pintu. Raut wajahnya dingin, tetapi ada ketegangan di dalam matanya.
"Tapi, ibu—"
"Biarkan ayahmu yang menangani ini."
Sora mengepalkan tangan. Ia tahu ibunya tidak akan mengubah keputusannya, tetapi ia tidak bisa mengabaikan firasat buruk yang menyelimutinya.
Di kedai, keadaan semakin memanas.
Meja dan kursi terguling, pecahan gelas berserakan di lantai. Sang pemilik kedai, seorang pria tua dengan wajah pucat, berdiri dengan tangan gemetar.
"Tuan-tuan… aku sudah melayani kalian dengan baik, tapi minuman dan makanan tetap harus dibayar," katanya, suaranya bergetar.
Pria dengan bekas luka di pipinya tertawa kasar. Ia menyandarkan dirinya ke meja dengan sikap arogan, sementara tangan kasarnya meraih botol sake terakhir dan meneguknya tanpa peduli.
"Kau pikir kami tak mampu membayar?" katanya dengan nada mengejek. "Kami hanya tak mau membayar!"
Tawa meledak dari kelompoknya. Beberapa warga desa yang berkumpul di depan kedai hanya bisa menonton dengan ekspresi gelisah. Dari penampilannya, mereka bisa menebak siapa orang-orang ini—para pendekar bayaran yang tidak segan-segan menghunuskan pedang hanya karena hal sepele.
Kepala desa akhirnya maju, mencoba menenangkan keadaan. Ia adalah pria tua dengan jubah cokelat sederhana, wajahnya penuh keriput, tetapi sorot matanya masih membawa wibawa.
"Saudara-saudara sekalian," katanya dengan suara tenang. "Kami menerima tamu di desa ini dengan tangan terbuka. Tapi aturan tetaplah aturan. Kami tak bisa membiarkan seseorang makan dan minum tanpa membayar."
Pria bermata sipit yang sejak tadi diam mulai berbicara.
"Aturan? Di tempat seperti ini?" Ia menyeringai tipis, tatapannya merendahkan. "Kami hanya minum sedikit, dan kami harus membayar?"
"Apa karena kami orang luar?" sahut pria dengan bekas luka, suaranya semakin meninggi. "Atau kau ingin menyinggung kami?" Pria bermata sipit ini meraih kursi di dekatnya dan kembali duduk malas.
"Seharusnya kalian berterimakasih," lanjutnya. "Dengan hadirnya kami di sini, desa ini menjadi aman."
Para warga semakin gelisah. Kepala desa tetap berusaha tenang, tetapi tubuhnya sedikit tegang. Ia tahu, jika ia salah bicara sedikit saja, darah mungkin akan tertumpah malam ini.
Saat itulah langkah berat terdengar.
Kouji, salah satu pengawal keluarga Liliane, muncul dari kerumunan. Pria bertubuh tegap itu berdiri tegak dengan tangan di gagang pedangnya. Matanya yang tajam menyapu seluruh ruangan, sebelum berhenti pada kelompok pendekar itu.
"Kalian sudah membuat cukup banyak keributan," kata Kouji dengan suara rendah tetapi penuh tekanan. "Bayar dan pergilah."
Suasana mendadak sunyi.
Para pendekar itu menatapnya dengan berbagai ekspresi. Beberapa dari mereka langsung bersiap, tangan mereka bergerak ke senjata masing-masing.
Tetapi sebelum ada yang sempat bergerak, suara langkah lain terdengar.
Abirama muncul di ambang pintu.
Tatapannya tenang, tetapi penuh wibawa. Ia hanya berdiri di sana, tanpa mengucapkan satu kata pun. Tetapi dalam sekejap, suasana di dalam kedai berubah.
Para pendekar itu menatapnya, dan beberapa dari mereka tanpa sadar menegang. Bahkan pria dengan bekas luka di pipinya terlihat sedikit lebih berhati-hati.
Pria bermata sipit yang sejak tadi santai, kini sedikit mengangkat alisnya. Ia mengamati Abirama dari atas ke bawah, lalu tersenyum kecil.
"Menarik," katanya pelan. "Kau tidak seperti orang-orang desa biasa."
Abirama tetap diam.
Kouji melangkah maju, kali ini lebih tegas. "Ini peringatan terakhir," katanya. "Bayar, atau kami akan memaksamu keluar."
Pria dengan bekas luka itu menatap Kouji dengan marah, lalu mendengus.
"Tsk." Ia menjentikkan lidahnya, lalu melemparkan sekeping koin emas ke meja. "Baiklah, baiklah. Kami tidak ingin masalah... malam ini."
Ia lalu berdiri, diikuti oleh rekan-rekannya. Namun sebelum pergi, pria bermata sipit itu berhenti di depan Abirama, menatapnya dengan senyum penuh arti.
"Aku harap kita bisa bertemu lagi," katanya, lalu berjalan keluar bersama kelompoknya.
Malam kembali sunyi. Tetapi bagi Abirama dan Kouji, mereka tahu—masalah belum berakhir.
1. Disiplin >> Lulus.
2. .... ?
Lanjut thoorr!!! /Determined//Determined/