Bos Duda Kesayangan

Dathan melihat Neta yang keluar untuk mengambil gaun yang diberikan Loveta. Tadi dia hanya memesan gaun itu pada temannya. Kemudian memintanya untuk mengirimnya ke hotel. Dia meminta sang teman untuk menyiapkan semuanya sekalian.

Tadi saat melihat bra merah wanita yang menolong anaknya itu, dia benar-benar terkejut. Entah kenapa tiba-tiba jantungnya berdegup kencang. Padahal sebelum-sebelumnya dia tidak pernah seperti ini. Dathan sudah menduda selama lima tahun. Selama ini tak ada yang membuatnya tertarik, tetapi gadis yang tiba-tiba muncul di hadapannya itu membuatnya merasakan desiran aneh.

Dathan juga tidak mengerti kenapa tiba-tiba dia berusaha melindungi gadis itu, padahal dia sadar bagaimana sikapnya selama ini pada wanita. Sungguh semua di luar kendalinya. Reaksi tubuhnya benar-benar tak bisa dielakannya.

Pikir Dathan semua akan berakhir setelah dia berusaha menutup baju Neta dengan jasnya. Namun, ternyata dia kembali diusik dengan Neta yang tiba-tiba menyembul dari balik pintu. Dia melihat jelas leher jenjang Neta yang ditetesi air. Karena tak kuasa melihat hal itu, dia memilih untuk segera mengalihkan pandangan. Pura-pura melihat ke arah ponsel. Sebenarnya, tadi dia melihat jelas Neta yang menatapnya. Namun, dia tidak terpancing untuk mengalihkan pandangan.

Tepat saat Neta sudah masuk, akhirnya Dathan bisa bernapas lega. Paling tidak dia sudah tidak melihat pesona Neta yang mengusiknya.

Saat sedang menunggu Neta, ponsel Dathan berbunyi. Dia tahu jika itu adalah temannya. Dengan segera Dathan menerima sambungan telepon itu.

“Ada apa?” Dia mengangkat sambungan telepon dengan malas.

“Astaga, kasar sekali kamu. Padahal aku hanya mau bertanya apakah baju yang aku kirim sudah sampai?” Seorang teman Dathan menjawab dari seberang. Dia adalah seorang desainer yang tadi dihubungi Dathan untuk mengirim baju untuk Neta.

“Sudah.” Dathan menjawab singkat.

“Wah … sepertinya ada yang sudah buka puasa.” Suara tawa terdengar dari seberang sana.

“Bulan apa ini puasa?” tanya Dathan ketus.

“Bukan puasa itu maksudku. Puasa yang sudah lima tahun lalu.”

Dathan mencerna dengan baik. Hingga akhirnya dia tahu apa yang dimaksud oleh sang teman. “Jangan pikir macam-macam. Aku tidak melakukan apa-apa!” Dia segera memberikan peringatan penuh.

“Kamu pikir aku Lolo yang bisa dibohongi. Meminta baju wanita dari luar sampai dalam. Apa jika bukan kamu baru saja melakukan—”

“Sembarangan! Aku tidak melakukan itu.” Dathan segera memotong ucapan sang teman. “Lolo tadi menabrak seseorang dan bajunya basah semua. Karena itu aku menggantinya.”

“Oh … begitu. Aku pikir kamu sudah buka puasa.”

Dathan hanya mendengus kesal ketika temannya itu mengatakan hal itu. Tepat saat Dathan sedang asyik mengobrol lewat sambungan telepon, dia melihat Neta yang keluar dari kamar. Untuk sejenak Dathan terdiam. Dia merasa jika temannya salah mengirim gaun. Karena gaun itu terlihat begitu pendek sekali. Dengan kaki jenjang Neta, tentu saja kaki terekspos sempurna.

“Than,” panggil teman Dathan karena merasa Dathan diam saja.

Untuk sejenak Dathan tersadar. Dia segera kembali fokus pada temannya. “Kirimkan tagihan ke kantorku.” Dia memilih untuk mengakhiri sambungan telepon. Kemudian meletakkan ponselnya di atas meja.

“Aunty.” Loveta memanggil Neta.

“Hai, Cinta.” Neta melambaikan tangan. Dia segera bergabung duduk bersama dengan Dathan dan Loveta. Neta duduk tepat berada di depan Dathan. Gaun pendeknya itu membuatnya sedikit berusaha menutupi pahanya. Sungguh menyebalkan sekali ketika berada dekat dengan laki-laki.

Dathan yang melihat hal itu pun merasa risih. Dia sudah seperti anak SMA yang bergairah ketika melihat paha wanita. Padahal harusnya, seumurannya itu wanita bukan lagi pandangan hidup, tetapi pegangan hidup. Harus dipegang dulu baru on. Namun, kali ini justru baru melihat paha terbuka saja, sesuatu di bawah sana sudah meronta.

“Aku akan mengantarkan kamu pulang.” Dathan segera berdiri. Tak bisa jika dilanjutkan jika seperti ini. Yang ada dia akan semakin tersiksa jika seperti ini.

Neta membulatkan mata. Dia sungguh terkejut dengan permintaan Dathan. Bukan apa-apa. Dia belum sempat menanyakan apa-apa tentang Dathan. Akan tetapi, Dathan mengajaknya untuk pulang. Artinya, kesempatannya akan hilang. Sungguh ini adalah sesuatu yang berat untuknya.

Tanpa menunggu jawaban Neta, Dathan segera berdiri. Dia mengulurkan tangan pada anaknya. Mengajak anaknya untuk pulang.

Neta tak ada pilihan. Akhirnya, dia pun memilih ikut berdiri. Sungguh dia benar-benar kesal dengan situasi ini. Dia belum mendapatkan apa-apa, tetapi sudah disuruh pulang. Dengan langkah kesal, Neta mengekor di belakang Dathan. Sambil berjalan, dia memikirkan cara untuk bicara dengan Dathan. Semoga dia dapat celah lagi. Seperti tadi dapat celah untuk bertemu Dathan.

.

.

.

.

.